Lanjuttt extra part 11 di karyakarsaa yaaa
" Mereka siapa?" Marganda melemparkan pertanyaan kepada Djati dan Zara.
Reana menatap dua orang asing tersebut yang masih berdiri di tempat nya untuk di suruh masuk.
" Um. Begini Pa, Ma. Ini orang suruhan saya. Mereka datang kesini untuk mengambil barang -barang Zara yang akan di pindahkan ke rumah kami. Saya harap Papa dan Mama mengizinkan nya."
Reana menatap bingung kepada Anzara. " Barang? Barang apa? Baju? Kenapa harus di pindahkan?"
Zara enggan menatap Reana. Ia hanya diam. Djati yang mewakilkan.
" Ada barang-barang Zara yang saya rasa sangat sayang kalau untuk di simpan dan biarkan saja."
" Memang barang apa sih? Mama penasaran ini?"
Reana tidak bisa lagi menutupi rasa penasaran nya.
" Segala yang ada di dalam rumah ini harus izin dulu kalau untuk di bawa keluar. Papa mau lihat kalian mau bawa barang apa dari rumah ini. Papa tidak percaya kalau hanya sekedar pakaian. Kalian bisa membawa nya sendiri. Kenapa harus pakai jasa orang lain."
Zara tertegun. Ia menatap Marganda.
" Barang ini milik saya. Tidak ada campur tangan Tuan di dalam nya."
Deg
Marganda menatap Zara yang baru saja menjawab. Suara Zar sangat dingin sekali. Marganda berusaha untuk menekan emosi nya.
Reana memegang lengan Zara namun Zara cepat menepis. " Kita bicarakan baik-baik ya, Nak. Mama seperti merasa kalian tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini dengan memindahkan barang kamu."
Zara tertegun.
" Silahkan suruh orang tersebut mengambil barang kamu. Saya mau lihat apakah benar tidak ada campur tangan saya di dalam nya dalam artian di sini uang saya yang kamu gunakan untuk membeli semua barang yang kamu punya."
Zara tersenyum sinis. Perang itu masih ada. Belum berubah sedikit pun.
" Terima kasih," sahut Zara cepat.
Djati menyuruh dua orang suruhan nya naik ke lantai atas. Djati dan Zara juga naik.
" Pa, ayo kita lihat! Mama penasaran." Reana menarik tangan Marganda.
" Tidak usah. Mereka nanti juga turun. Lihat dari sini saja."
" Nggak. Mama mau lihat!" Reana tetap teguh dengan keinginan nya. Ia naik ke atas. Marganda menghela nafas berat. Ia memijit pelipis nya. Akhirnya Marganda naik juga ke atas.
Sedangkan di kamar. Zara dan Djati menyuruh dua orang tersebut memindahkan semua penghargaan ke dalam boks besar yang mereka bawa.
" Saya baru lihat penghargaan sebanyak ini di simpan dalam lemari saja!" Gumam salah satu di antara mereka.
" Kenapa tidak di pajang Pak?"
" Oh ya. Karena sesuatu nggk bisa di pajang di sini. Maka nya saya minta kalian untuk pindahkan biar semua ini bisa di pajang dengan baik."
Reana sudah sampai di pintu kamar Zara. Ia menatap orang-orang yang sedang menghadap lemari.
Bunyi suara langkah kaki membuat mereka membalik badan.
" Mama kesini cuma mau lihat saja,"
Zara menatap Djati mengangguk. Djati menarik pinggang Zara sehingga terpampang lah yang di sembunyikan Zara selama ini di mata Reana.
Reana menutup mulut nya dengan bola mata yang hampir keluar saking kaget nya. Bahkan ia sampai mundur ke belakang karena sangat terkejut. Tubuh nya bergetar.
Tidak ada yang berani bersuara. Zara menatap ekspresi Ibunya yang terkejut. Zara sama sekali tidak merasa senang saat orang tua nya mengetahui perihal ini.
Marganda masuk ke dalam kamar. Ia juga mendekat. Tidak jauh berbeda dengan ekspresi Reana. Marganda diam mematung. Mata nya tidak lepas memandang isi lemari.
" Silahkan di pindahkan Mas!" ucap Zara cepat.
Reana tersadar. Ia tercekat lalu menatap Zara. Reana mendekat. Mata nya berkaca-kaca. Ia mengambil salah satu penghargaan yang di dapat Zara dan membaca nya. Tidak puas hanya satu Reana mengambil lagi dan membaca. Isak tangis nya mulai mengisi kamar Zara. Tubuh Reana bergetar.
Ia terduduk menangis terisak. Sedangkan Marganda hanya diam. Wajah nya mengeras. Namun tidak bersuara.
" Ini apa Zara? Kamu menyembunyikan nya? Ya Tuhan! kenapa Nak?" Reana menjerit. Dua orang pekerja tadi berhenti memasukkan ke dalam box.
Zara menyembunyikan wajah nya di balik bahu Djati. Ia tidak sanggup melihat Reana.
Djati memegang tangan Zara. " Nggak Papa sayang!"
Zara memegang lengan Djati dengan erat.
Reana menengadah menatap Zara dengan tatapan pili dan rasa bersalah yang sangat besar. Ia sudah salah terhadap anak nya sendiri. Darah daging nya. Anak yang lahir dari rahim nya. Ia benar-benar telah gagal menjadi seorang Ibu.
Reana merasa sakit. Dada nya sesak. Anak nya pintar. Anak nya hebat. Anak nya berprestasi tidak seperti yang di pikirkan nya selama ini. Kenapa sekarang ia baru tahu dan sadar. Kemana saja ia selama ini.
Reana tergugu.
" Mama memang bukan Ibu yang pantas untuk kamu. Mama tidak tahu apa-apa tentang kamu selama ini. Penilaian Mama telah salah. Mama benar-benar Ibu yang buruk." Reana mencengkram dada nya. Tidak ada yang berani bersuara. Zia terpaku di ambang pintu menyaksikan drama keluarga nya pagi ini.
Marganda mengepalkan tangan nya. Ia marah. Ia menyesal. Dada nya sesak. Marganda segera berbalik keluar dari kamar Zara. Ia tidak sanggup berada di dalam. Nafas nya sesak. Apalagi setelah mendengar ungkapan istri nya. Jika istri gagal menjadi seorang Ibu untuk Zara bukankah ia lah di sini yang paling gagal sebagai Ayah. Sama saja dirinya Ayah yang buruk. Zia menatap mata Papa nya yang memerah. Zara hanya memandang punggung Marganda dengan perasaan sedih.
Sudah terungkap pun Marganda masih tidak bersuara. Zara memandang sedih punggung Marganda yang menghilang. Dalam hati nya Marganda tetap tidak menaruh kebanggaan terhadap nya.
Zara luruh di hadapan Ibu nya. Ia pun menangis tanpa suara.
" Tidak perlu menangis. Semua sudah berlalu. Menangis pun tidak ada guna nya." Zara menghapus air mata nya.
Reana memeluk tubuh Zara. Ia menangis dalam pelukan anak nya. Penyesalan nya sangat besar. Ia tidak tahu harus menebus nya bagaimana.
Ya Tuhan! Rasa nya sangat sesak sekali.
Kesalahan nya sangat besar. Ia tidak mampu memikirkan seberapa besar luka anak nya selama ini.
" Maafkan Mama. Maafkan Mama, Nak!" Lirih Reana pilu.
Tolong maafkan Mama!
Tbc!
02/01/24
Aahh akhirnyaa kita sampai juga di siji ya gaes yaa...
Penuh dramaa sekaliii. Huhhhhh
KAMU SEDANG MEMBACA
Goresan luka
RomanceAda seperti tak ada Tampak seperti tak nampak Nyata seperti tak nyata. Hidup namun seperti bayangan. Entah memang pernah diharapkan atau tidak. Hadirnya terasa hampa. Tak di pedulikan, tak di perhatikan. Lalu apa gunanya dirinya di lahirkan. Ia t...