Zara turun dari gojek yang mengantar nya ke tempat tinggal yang sudah di huni nya selama sepuluh tahun terakhir.
" Wah, banyak sekali ini Kak,"
Zara memberikan dua lembar uang seratus.Zara tersenyum. Kang gojek nya masih muda. Mungkin masih menjadi mahasiswa.
" Nggak papa. Ambil saja!"
" Makasih banyak loh Kak. Rezeki ini mah. Nggak boleh di sia siakan,"
Zara mengangguk. " Terima kasih ya!"
" Sama-sama, Kak."
Zara membuka gerbang besi yang sudah berumur puluhan tahun sehingga ketika di dorong berbunyi keras.
Zara membuka pintu rumah dan melangkah masuk ke dalam. Zara menghidupkan lampu karena waktu sudah hampir menjelang malam.
Zara mendudukkan diri nya di sofa. Kepalanya mendongak di sandarkan di punggung kursi. Zara memejamkan mata.
Ia tidak pamit kepada Sedjati saat hendak berangkat tadi. Ia hanya menyampaikan pesan kepada Bibi kalau ia harus pulang kampung.
Lagian Sedjati juga tahu kalau ia akan pulang. Jadi, rasanya tidak masalah kalau tidak pamit.
Zara membuka mata dan langsung berhadapan dengan langit-langit ruang tamu di rumah kecil nya ini.
Ia kembali mengulang kejadian tiga hari lalu dimana ia mendapat telpon kalau Zidan masuk rumah sakit karena kecelakaan mobil.
Saat itu tanpa pikir panjang Zara segera memesan tiket penerbangan ke Surabaya.
Ia langsung menuju alamat rumah sakit yang sudah di kirimkan kepada nya.
Di sini lah detik-detik kehidupan Zara seperti tertarik ke belakang saat dirinya berhadapan dengan seluruh keluarga nya.
Ia sampai lupa jika akan bertemu dengan keluarga nya mengingat ia yang terlalu panik dan cemas dengan keadaan Zidan.
Di antara seluruh keluarga nya. Hanyalah Zidan yang selalu berkomunikasi dengan Zara. Itu pun juga karena pertemuan yang tidak sengaja dan kebetulan saat lima tahun ia di usir dari rumah Marganda.
Langkah Kaki Zara terasa berat saat mendekat. Namun ia kembali mempunyai kekuatan saat Zidan menatap dan memanggil nya lewat lambaian tangan yang sudah sangat lemah.
Ia tidak menatap keluarga nya barang sejenak pun. Ia fokus kepada Zidan yang sudah terbaring lemah dengan banyak peralatan medis yang terpasang di badan nya.
" Za.....ra," suara Zidan mengalun pelan dan sangat susah bernafas.
Zara mendekat. Ia berusaha menahan air mata yang sudah siap tumpah ruah.
"Ya," jawab Zara tercekat. Ia tidak sanggup menatap tubuh Zidan yang terbaring di atas ranjang pesakitan.
Zidan mengambil tangan Zara. Zara masih bisa melihat senyum yang tersemat di bibir abang nya.
" Ssstt..., Abang jangan banyak bicara dulu. Abang harus sembuh. Abang harus kuat, oke. Abang harus sehat lagi." bisik suara Zara terdengar mulai parau.
Zidan menggeleng. Zara merasakan perasaan tidak enak.
" To...tooll ...long tu...ruuti per...min..taa.aan Aaa..bbbaang,"
Zara menggeleng panik saat Zidan tampak kesusahan menarik nafas. Suara tangisan di belakang tubuh nya makin terdengar. Zara berusaha bersikap tenang. Ia tidak boleh menangis. Ia harus kuat.
" Nggak. Nggak. Aku nggak mau. Abang harus sembuh. Aku nggak mau di tinggal sendiri di dunia ini. Aku mau abang sembuh. Abang sehat. Aku..aku haruss bagaimanaa?"
" Me..nikah lah."
Zara terdiam. Air mata yang sudah di tahan Zara akhirnya tumpah. Zara tertunduk. Bahu nya bergetar. Suara isakan nya terdengar menyayat hati. Tidak keras terdengar namun mampu membuat pendengar nya ikut merasakan kesedihan yang mendalam.
" Siapa? Siapa yang mau menikah denganku?" Zara menghapus air mata nya cepat. Ia tatap Zidan yang sudah lemah.
" Saya akan menikahi kamu!"
Suara dalam ruangan terdengar hening saat kalimat yang keluar dari mulut seorang laki-laki yang berdiri di antara yang hadir dalam ruangan ini.
Zara mengangkat kepala. Mata nya bersirobok dengan mata hitam dan legam milik Sedjati Nusantara.
" Kita tidak punya waktu lagi. Saya sudah membawa penghulu dan saksi. Om Marganda juga sudah di sini sebagai wali,"
Telinga Zara terasa berdenging. Ia mematung. Tubuh nya tidak bisa di gerakkan sampai tangan nya di genggam oleh Zidan.
Zara menatap Zidan pelan dan lemah. Zidan mengangguk dan mengedipkan mata pelan.
Bunyi bip bip bip dalam ruangan seakan menakuti tubuh Zara.
" A..abang," suara Zara tercekat. Ia merasa ada yang tersangkut di tenggorokan.
" Bagaimana Anzara?" Suara Sedjati kembali mengalun.
" Mari segerakan!" celetuk Marganda cepat. Zara akhirnya menatap laki-laki yang akan menjadi wali nya.
Wajah nya tidak banyak berubah. Hanya semakin matang dan keras. Mungkin efek umur bisa jadi.
Suasana ruangan kemudian berubah. Zara bahkan masih berdiri di samping tubuh Zidan saat suara Sah itu menyentak pikiran nya.
Belum selesai ia mencerna semua ini. Tiba-tiba suara jeritan di belakang tubuh nya kembali mengaung.
Suara bip panjang dari monitor itu mengisi ruangan.
Zara bahkan terhuyung ke belakang saat badan nya terdorong.
Zara menatap kesedihan tersebut. Abang nya sudah menutup mata untuk selama nya. Ia belum mengucapkan salam perpisahan. Ia belum mengucapkan terima kasih. Ia belum mengucapkan maaf. Masih banyak yang belum di utarakan Zara. Tetapi, kenapa Abang nya sudah pergi dan meninggalkan diri nya.
Air mata Zara membasahi pipi. Namun suara tangisan nya tidak keluar.
Zara kehilangan. Kehilangan yang amat berarti. Sosok abang yang mengambil banyak peran dalam hidup nya.
Zara kembali merasa sendirian di atas dunia yang kejam ini. Zara mengutuk dirinya kenapa tidak diri nya saja yang pergi dari dunia ini. Kenapa tidak nyawa nya yang di ambil Tuhan. Kenapa harus saudara nya.
Sungguh kejam sekali takdir berbuat atas hidup nya. Tidak ada lagi rasa sakit karena kehilangan selama nya yang di rasakan Zara.
Detik ini juga. Semua roda hidup nya tidak akan pernah sama lagi.
Tbc!
24/10/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Goresan luka
RomanceAda seperti tak ada Tampak seperti tak nampak Nyata seperti tak nyata. Hidup namun seperti bayangan. Entah memang pernah diharapkan atau tidak. Hadirnya terasa hampa. Tak di pedulikan, tak di perhatikan. Lalu apa gunanya dirinya di lahirkan. Ia t...