🌹41🌹

5.5K 498 20
                                    

Hallo gaess. Selamat tahun baru semuaaa🎉🎉

" Jadi, kalian kapan mau adakan resepsi?" Sendi menatap anak dan menantu nya.

Mereka sedang bersantai di ruang keluarga. Ada Praja dan Irene.

Irene sudah minta maaf dan berkenalan sama Zara. Ia beralasan kemaren hanya bercanda. Zara pun memaklumi.

" Kita serahkan aja sama Mama gimana bagus nya. Nanti menyesuaikan aja sama jadwal kerja Mas. Gimana sayang?"

" Aku nurut aja."

Sendi menghela nafas. " Kalau begitu nanti mama bisa menghubungi orang tua nya Zara untuk merundingkan masalah ini,"

Djati menatap Zara. Ia menggenggam tangan Zara. " Lebih cepat lebih baik, Ma!"

Sendi mengangguk. " Kita pakai jasa WO aja biar nggak ribet. Nanti kita diskusikan lagi masalah ini lebih detail nya."

Djati mengangguk sedangkan Zara hanya tersenyum menanggapi.

" Mama dengar Mama kamu masuk rumah sakit. Sekarang gimana keadaan nya? Mama belum sempat jenguk."

Zara terdiam. Ia tidak tahu mau menjawab apa karena ia memang sama sekali tidak tahu mengenai Mama nya sejak terakhir kali bertemu.

" Sudah pulang Ma. Kemungkinan nanti  malam kami nginap di sana." Sahut Djati. Zara beralih cepat menatap Djati yang tidak merundingkan dulu masalah ini dengan nya. Namun ia akan bertanya nanti saja.

Sendi mengangguk. " Mama nitip salam ya. Mama akan cari waktu untuk bertemu dengan Reana dan Marganda."

Zara dan Djati saling berpandangan.

****

" Abang kok memutuskan sendiri mau nginap di rumah Marganda. Kok nggak nanya aku dulu?" Zara langsung protes saat mereka sudah berada di mobil jalan pulang.

Djati menoleh menatap raut wajah serius istri nya.

" Sebelum kita berangkat tadi, Mama Reana nelpon Abang. Beliau minta kita ke rumah. Mama kangen sama kamu kata nya. Mau makan bareng sama kamu. Sekalian aja Abang bilang makan malam aja. Mama senang. Terus beliau juga berharap kalau kita mau nginap di sana. Suara nya seperti sarat akan harapan. Abang nggak tega nolak sayang."

Djati memasukkan gigi. Ia berbelok ke kanan. " Kalau Abang tanya sama kamu dulu. Pasti jawaban nya nggak. Kalau begitu kapan mau damai nya. Mama udah meminta maaf dan mencoba dan berusaha buat ambil hati dan menarik kamu ke keluarga lagi. Kalau kamu nya nggak sama aja jalan di tempat dong usaha nya. Kata nya mau coba dan berusaha untuk berdamai?"

Anzara terdiam mendengar penjelasan panjang Djati. Ia memang akan menolak jika di suruh lagi ke sana. Tapi perkataan Djati memang benar.

Kalau ia stuck di tempat kapan hati nya akan bebj.as. Kapan ia akan merasakan kelegaan dan kedamaian serta keikhlasan yang di cari nya. Zara mengerjap kan mata nya.

" Benarkan?"

Zara berdehem.  Djati mengambil tangan Zara. Sedangkan tangan kanan nya menyetir.

" Sayang nggak marah kan?"

Zara menggeleng. "Nggak. Benar apa yang Abang bilqng. Ternyata aku yang terlalu takut untuk maju ke depan."

" Ada Abang. Sayang nggak sendiri. Jadi, jangan takut!"

Zara menatap Djati yang tersenyum meyakinkan.

" Aku ikut Abang aja."

Akhirnya Djati tersenyum. Ia berharap hubungan istri dan mertua nya akan segera membaik.

****

" Mama senang sekali akhirnya kalian di sini sekarang. Mama sempat putus harapan kalian datang kesini!"

" Kami pasti datang. Iya kan sayang?"

Zara mengangguk namun tidak menatap Reana.

" Yaudah kita makan aja ya. Keburu dingin!"

Marganda dan Zia diam menyimak pembicaraan yang di dominasi oleh Reana dan Djati.

" Zia ayo makan. Kamu mikirin apa sih? Kok sering melamun gitu?"

Zara menatap Zia. Tatapan mereka bertemu. Zara segera mengalihkan mata nya.

" Iya, Ma." Zia bersuara pelan. Zara kembali melirik Zia sebelum mengisi piring Djati.

" Makasih sayang!"

" Sama-sama."

Reana tersenyum hangat menatap pasangan anak dan menantu nya. Ia sangat bersyukur sekali malam ini bisa berkumpul dengan Anzara berada di rumah ini.

Reana yakin lambat laun Zara akan kembali kepada nya. Ia hanya perlu menunggu dan terus berusaha.

Marganda melirik anak dan mantu nya. Tidak berani menatap terang-terangan. Dirinya masih belum selepas itu untuk bicara dengan Anzara. Mereka masih bisa di sebut dengan perang dingin.

Zia menatap Mama nya yang tampak bahagia sekali dengan kehadiran Zara di rumah ini. Bahkan Mama nya tampak sehat padahal baru saja sembuh.

Zia melirik Zara yang fokus dengan makanan nya. Zia sedikit takut kalau Zara membicarakan dan memberitahu Mama Papa nya tentang kejadian di mall kemaren. Tapi seperti nya Zara tidak akan menyinggung hal tersebut.

" Zara mau nambah? Ini masih banyak loh. Mas Djati juga tambah nasi nya."

" Segini aja udah Ma. Takut kekenyangan nggak bisa gerak benas nanti. Susah."

Reana tertawa pelan.

" Papa mau nambah?"
Marganda menggeleng. " Nggak. Udah kenyang."

Reana mengangguk. Zia menatap Mama nya sedih. Entah kenapa hati nya mendadak sentimentil. Kenapa Mama nya tidak menanyakan dirinya. Mama akan selalu begitu jika sudah ada Anzara di tengah mereka. Mama akan lupa dengan dirinya.

Zia mencengkram sendok nya. Ia tiba-tiba marah dan kesal. Zara melepas sendk dan garpu nya sehingga piring terdengar berdenting.

" Aku selesai. Pamit ke kamar dulu!"

Semua orang menatap Zia dengan heran. Zia bangkit berdiri dan meninggalkan meja makan.

Zara seakan mengerti ia hanya diam saja meneruskan makan nya.

" Seperti nya Zia lagi nggak mood. Mama nggak tau dia ada masalah apa. Biasanya mau cerita. Sekarang entah kenapa kayak tiba-tiba murung gitu. Di tanya juga jawab nya nggak papa."

" Nggak usah di pikirkan. Nanti juga baik lagi." Sahut Marganda.

Djati dan Zara saling berpandangan. Namun mereka tidak bersuara.

" Jadi, nginap di sini kan?"

" Jadi, Ma!" Sahut Djati. Senyum Reana terkembang.

" Tadi Mama udah suruh si Mbok buat bersihin kamar nya Anzara. "

Zara tetap diam tidak bersuara.

Reana menatap Zara. Ia sedikit sedih sebenarnya Zara masih belum bisa membuka hati untuk mereka.

Namun ia tetap bersyukur ia ri berikan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Reana menatap Marganda yang hanya diam menyimak. Ia juga tahu kalau suami nya juga tidak bisa memulai dari mana.

Terlalu banyak kesalahan uang mereka perbuat di masa lalu. Terlalu banyak luka yang mereka ciptakan untuk Zara di masa lalu sehingga mereka tidak tahu harus mulai dari mana selain meminta maaf.

Namun marganda sangat sulit untuk bisa bicara baik-baik dengan Zara. Mereka seperti pinang di belah dua. Sama-sama mempunyai sifat yang keras. Harus ada yang mengalah salah satu di antara mereka. Dan Reana selalu berdoa semoga hari itu akan tiba dimana ia bisa berkumpul dengan Anzara lagi tanpa mengenang segala yang terjadi di masa lalu.

Tbc!

01/01/24

Vote dan koment yaahh

Goresan lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang