Bab 17

270 42 7
                                    

 Khandra mengusap wajahnya dengan kasar setelah beberapa saat membaca chat di ponselnya. Ia lalu menghembuskan napas panjang dan bergerak menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku taman rumah sakit.

Sebuah seringai miris perlahan muncul menghias wajah Khandra. Ia merasakan sebuah dilema tatkala baru saja mendapat pesan dari Angga. Ya, sahabatnya sekaligus cinta pertama Azura itu baru saja mengiriminya pesan. Laki-laki itu memberi tahunya bahwa akan datang berkunjung ke Jakarta selama satu minggu dan mengajaknya serta Azura untuk bertemu.

Bukankah, seharusnya ia senang karena bertemu dengan sahabatnya yang lain? Tapi kenapa sekarang ia malah merasa ingin menyingkirkan Angga lagi?

Seringai Khandra semakin melebar tatkala sebuah pemikiran baru saja terlintas di benaknya. Bahwa Azura pasti senang bukan main dan tidak sabar untuk menemui pangerannya itu. Lihat saja, pasti sebentar lagi Azura akan menghubunginya lalu mengutarakan bagaimana senangnya ia akhirnya bisa bertemu lagi dengan sang pujaan hati.

Sial, apa ia harus menolak permintaan pertemuan ini? Ah tapi, kalau ia menolak itu berarti ia membiarkan Azura berdua saja dengan Angga. Tentu saja ia tidak boleh membuat lawannya mendapat keuntungan seperti itu. Akhirnya, Khandra pun mengiyakan ajakan dari Angga.

"Lagi banyak pikiran?" lamunan Khandra tiba-tiba saja buyar tatkala mendapati kedatangan Prita. Perempuan itu kini sudah duduk di sampingnya dengan sebelah tangan yang mengangsurkan gelas minuman ke arahnya.

Khandra memberikan senyumnya sembari menerima pemberian Prita. "Thanks. Dan buat pertanyaanmu baru saja, enggak kok. Cuma mikirin berbagai hal aja, sambil lalu tapi."

Prita mengangguk-angguk mengerti sebelum melontarkan pertanyaan yang sejujurnya membuatnya deg-degan setengah mati. "Ada aku nggak?"

"Hm?"

"Maksudnya, kegiatan kamu yang baru saja memikirkan berbagai hal, apa salah satu halnya itu adalah aku?" Khandra dibuat speechless. Pria itu membutuhkan waktu beberapa saat sebelum akhirnya bisa memberikan jawaban yang seharusnya tidak menyakiti hati perempuan di sampingnya.

Khandra memberikan senyum santainya lalu berkata, "Hm, mungkin aja. Karena seperti yang aku bilang tadi, semuanya aku pikirkan hanya sambil lalu, sekelibat. Jadinya, aku nggak ingat pasti apa ada kamu atau enggak."

Prita mengangguk-angguk lagi. Meskipun ia merasa tidak puas dengan jawaban dari Khandra tapi ia pun tidak bisa memaksa pria itu untuk memberikan jawaban yang diinginkannya. "Jadwal kamu masih padet banget?"

Kepala Khandra menggeleng. "Sudah nggak terlalu. Kamu?"

Prita menghela napas. "Sepertinya, gantian aku yang punya jadwal padat. Penuh satu minggu ini. Semoga aja nggak ada operasi darurat lain. Seharusnya, dokter lain masih bisa buat nanganin."

Khandra melirik ke arah Prita dan memberikan wanita itu beberapa tepukan di bahu. "Bisa lah pasti. Kan kamu sekarang sudah ada di jejeran dokter neurology terbaik di sini. You see, semua dokter pasti ingin menjadi yang terbaik. Tapi kadang mereka lupa kalau seandainya mereka mendapatkan titel itu, kesibukan mereka pun pasti akan memadat luar biasa."

"Aku bisa pulang ke rumah secara rutin saja sudah syukur. Kadang kangen juga pengen makan atau pun hanya sekedar ngumpul sama keluarga." selama Khandra mengucapkan rentetan kalimat itu, ia tidak menyadari kalau Prita sedang menatapnya dengan seksama.

Pandangan Prita lalu perlahan beralih ke arah air mancur yang terletak agak jauh di depan mereka. "Kamu beruntung punya keluarga yang benar-benar bisa kamu jadikan rumah." senyum Prita berubah miris tatkala berkata, "Karena, berbanding terbalik dengan kamu, aku malah suka sekali seandainya jadwal operasiku padat luar biasa. Karena itu artinya, aku punya alasan buat nggak pulang ke rumah."

Rasa Berbalut SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang