Bab 4

548 84 9
                                        

Setelah menyelesaikan visitnya, Khandra pun memutuskan untuk pulang. Dan seperti biasa, ia akan terus berdoa agar hari ini dia tidak mendapatkan panggilan untuk operasi darurat. Karena ia sudah berencana untuk mengunci dirinya di kamar guna mempelajari beberapa jurnal mengenai teknik operasi baru, yang belum sempat ia sentuh beberapa waktu ini.

Begitu sampai di rumah dan masuk ke dalam, kening Khandra dibuat mengerut tatkala mendengar suara tawa yang menggelegar memenuhi gendang telinganya. Secara otomatis, Khandra menghela napas saat mengenali bahwa pemilik tawa itu adalah Azura.

"Heh, lo tu lagi bertamu. Bertamu tu yang sopan, jangan ketawa macam habis nelen toa begitu." ucap Khandra begitu dirinya sampai di depan Zura yang tengah bercengkrama dengan Adriana di dapur. Tentu saja Zura memilih untuk tak menghiraukan protesan yang dilontarkan oleh sahabatnya. Ia malah melanjutkan kegiatannya memotong-motong pudding requestan Adriana yang ia buat pagi tadi.

"Tumben pulangnya masih dalam keadaan rapi begitu, Mas? Biasanya udah lusuh bukan main." ujar Adriana setelah beberapa saat memperhatikan penampilan kakaknya.

"Jadwal operasi gue sudah dialihkan ke salah satu dokter senior. Makanya gue bisa santai." jawab Khandra kemudian yang dibalas oleh gumaman adiknya. Laki-laki itu lalu memanjangkan tangannya untuk meraih pudding yang kini sudah terpotong-potong dengan rapi. Namun, begitu tangannya sudah hendak menyentuh salah satu potongan, Azura memukul tangannya. "Makannya yang agak beradab sedikit napa sih? Bentar, gue ambilin ke piring." sungut perempuan itu kesal.

Tak ada yang dilakukan Khandra selain menurut. Laki-laki itu terdiam sembari menopangkan tubuhnya dengan sebelah tangan yang menekan ke meja. Matanya tanpa sadar terus saja mengikuti gerakan Azura yang terlihat begitu menyatu dengan rumahnya. Perempuan itu bahkan tahu dimana letak semua peralatan makan berada.

Tentu saja, pemandangan itu tak luput dari Adriana. Adik Khandra itu mengulum senyum sebelum berkata, "Zura nggak bakal kabur, Mas. Nggak usah lo perhatiin gitu banget kali. Punggungnya lama-lama bolong lo perhatiin terus."

"Apaan, gue cuma ngawasin aja, siapa tahu dia mecahin barang-barang pecah belah." balas Khandra langsung yang kini entah kenapa merasakan sedikit kegugupan karena terpergok oleh sang adik. Adriana sudah hendak melontarkan ejekannya lagi, namun Azura terlebih dahulu berkata, "Kalo gue sampe mecahin, kan udah ada lo di rumah."

"Terus?"

"Lo kan salah satu dokter bedah terbaik nih, jadi ngobatin lukanya orang gara-gara kena pecahan, bukan suatu masalah yang besar kan buat lo?" jelas Azura kemudian yang membuat Khandra mendengus tak suka. "Nggak mau. Gue nggak mau ngobatin lo. Jadi, sudah seharusnya lo menjaga kesehatan dan keselamatan lo sendiri dengan benar. Tolong lah, dikurang-kurangin itu kecerobohannya."

"Kalo emang nggak bisa, makanya gue suruh cari lo pacar kan? Biar ada seseorang yang menjaga lo dengan baik." itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Khandra sebelum dirinya memilih untuk pergi dari dapur dengan campuran rasa yang sama sekali tak ia mengerti.

~~~~~

Pukul sembilan malam, barulah Khandra keluar dari kamar dengan kaca mata yang masih membingkai kedua matanya. Setelah melahap habis jurnal yang ia bawa, barulah ia menyadari bahwa perutnya sama sekali belum dimasuki oleh makanan.

Dengan memijit pangkal hidungnya yang terasa mengencang, Khandra menuruni tangga untuk mencapai dapur yang ada di lantai satu. Suasana sepi langsung menyambutnya begitu kakinya menginjak anak tangga terakhir. Yah, tentu saja. Semua anggota keluarganya pasti sudah menyelesaikan sesi makan malamnya.

Setelah sampai di meja makan, Khandra pun membuka tudung saji. Keningnya lalu mengerut tatkala menemukan sebuah kotak bekal dengan tempelen sticky note berwarna kuning di atasnya.

Rasa Berbalut SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang