Bab 19

336 49 3
                                        

Ketika Khandra sudah merasa lebih tenang, ia mengajak Azura untuk kembali ke ruang tunggu di depan ruangan operasi guna menemani sang ayah. Azura pun mengiyakan namun ia mengajak sahabatnya mampir sebentar ke kantin untuk membeli minuman dan beberapa makanan ringan yang setidaknya bisa mengganjal perut.

"Tadi gue ke sini sama Ayah. Pasti Ayah lagi nemenin bokap lo." ujar Azura saat melihat kekhawatiran milik Khandra. Khandra langsung memunculkan senyum leganya. "Syukurlah. Paling enggak, Papa punya tempat buat berbagi."

Begitu Khandra sudah menyelesaikan pembayaran, ia pun menghela Azura untuk berjalan keluar dari minimarket yang berada di cafetaria rumah sakit. "Papa sama kacaunya kayak gue. Tapi Papa yang harus lebih kelihatan kuat karena beliau adalah kepala keluarga, apalagi di depan Mama yang kelihatan paling shock."

Azura kembali menggenggam tangan Khandra dan meremasnya lembut. "Operasinya belum selesai. Jadi, kita masih punya kesempatan untuk terus berdoa supaya Arka baik-baik saja."

Khandra menoleh ke perempuan di sampingnya dan terdiam sejenak sebelum menganggukan kepalanya. "Lo benar. Apa yang gue khawatirkan adalah kemungkinan terburuk. Belum tentu kejadian kan?"

"Ya, belum tentu. Arka pasti bisa sembuh." Khandra menghembuskan napasnya dan kali ini ia lah yang meremas tangan Azura yang sedang tertaut dengannya. "Makasih ya, Ra, sudah ke sini dan ada di samping gue."

"Ngapain sih, pake makasih. Kayak sama siapa aja." sahut Azura langsung yang membuat Khandra mendengus geli. Mereka lalu terdiam selama perjalanan menuju area operasi. Sampai akhirnya ketika sudah hendak sampai, Khandra barulah teringat akan sesuatu. "Ra, bukannya hari ini lo ada jadwal pergi ke NTT, survey peternakan?"

"Atlas sudah pergi duluan ke sana. Besok gue baru nyusul." balas Azura dengan senyum menenangkannya.

"Maaf, gue jadi mengganggu kerjaan lo." ucapan Khandra membuat Azura berdecak. "Apaan juga, pake maaf-maafan segala. Ya udah sih, toh tetep ada Atlas juga yang ke sana. Lo nggak mengganggu kerjaan gue sama sekali, Ndra. It's fine."

Kali ini Khandra memutuskan untuk tidak kembali membahas perihal pekerjaan Azura. Ia hanya bergumam lalu mengalihkan pandangannya ke arah ruang tunggu di area operasi. Dan benar apa kata Azura, sekarang papanya sudah bersama dengan ayah perempuan itu.

Khandra tanpa sadar menghentikan langkahnya saat melihat Dafa yang tengah menunduk dan Gala yang sedang menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Dada Khandra serasa teremas saat melihat bagaimana ayahnya yang sedari tadi terus memasang topeng kuat, akhirnya luruh juga.

Dengan suara tercekat menahan tangis, Khandra menunduk ke arah Azura. "Tunggu sebentar ya."

Azura menampakan senyum penuh pengertiannya dan mengangguk pelan. "Ya, kita tunggu sebentar."

~~~~~

Sudah dua hari terlewat semenjak kejadian kecelakaan Arka. Setelah satu hari penuh keadaannya dipantau di ruang ICU, kini ia sudah dipindah ke ruang rawat VVIP yang khusus disediakan bagi pemilik rumah sakit.

Berbeda dari para tamu VIP yang hanya mendapatkan kamar dengan fasilitas super mewah, keluarga Putra juga mendapatkan kamar penunggu di sebelah persis kamar pasien. Kamar mereka dihubungkan oleh connecting door yang membuat keluarga bisa menengok sang pasien kapan saja. Dan tentu, kamar itu bukanlah seperti kamar hotel biasa. Kamar itu lebih mirip seperti apartment yang menyediakan dua kamar tidur, dapur, dan satu set sofa beserta televisi layar 55 inch.

"Makan dulu, Tha." Dafa memberikan remasan lembut di pundak istrinya yang sedang menunggui Arka di kursi yang berada di sebelah kasur pasien. Aretha mendongak dan mendapati suaminya yang baru saja memasuki ruangan. "Gimana rapatnya?"

Rasa Berbalut SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang