Bab 8

509 78 7
                                        

Khandra dan Azura kini sudah berada di dalam sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari tempat mereka sebelumnya. Selesai memilih pesanan, Khandra pun bangkit berdiri untuk memesan sekaligus membayar pesanan mereka di kasir.

Azura yang sekarang sedang duduk sendirian tanpa sadar mengikuti kepergian Khandra dengan kedua matanya. Hm, sejak kapan memangnya Khandra terlihat semenarik itu?

Dengan tubuh tegap dan tinggi yang menjulang ditambah pakaian resmi yang sangat jarang dikenakannya, penampilan laki-laki itu sukses besar membuat Azura kacau. Bagaimana ini? Bahkan sekarang, matanya pun turut berkhianat sampai-sampai menampilkan visual Khandra dengan versi yang lebih menyilaukan. Padahal biasanya, mau seapik apapun penampilan Khandra, hati Azura sama sekali tidak pernah goyah. Mungkin, melontarkan pujian pernah, tapi jarang sekali sampai membuat hatinya terganggu.

Azura mendesah lelah sembari menutupi wajah dengan kedua tangannya. Sepertinya, waktu satu bulan sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun. Karena nyatanya, perasaan itu malah makin nampak begitu jelas.

"Belum ngopi lo?" Azura dibuat berjengat tatkala mendengar suara yang begitu dekat dengan telinganya. Ia langsung menoleh ke samping dan meski kini jantungnya berdebar-debar karena jarak yang begitu dekat dengan Khandra, ia tetap menampilkan wajahnya yang galak. "Bisa nggak sih, nggak ngagetin gitu?!"

Khandra pun terkekeh. "Suka aja lihat wajah lo kalo lagi kesel gini, gemesin."

Kedua mata Azura langsung melotot. "Bisa-bisanya, wajah galak gini lo bilang gemesin-" dengan wajah yang masih terhias senyum geli, Khandra langsung mendekatkan gelas plastik berisikan es kopi ke mulut Azura untuk mencegah perempuan itu melanjutkan omelannya. "Ngopi dulu. Lo resek banget kalo belum ngopi."

Azura memutuskan untuk tidak menanggapi ucapan Khandra dan langsung mengambil alih gelas yang disodorkan oleh laki-laki itu. Begitu kopi yang semula berada di dalam gelas sudah berpindah tempat ke mulutnya, Azura langsung mendesah nikmat. "Gimana bisa ada minuman seenak ini."

"Inget ya, sehari satu gelas aja." sahut Khandra setelah menyesap sedikit minumannya. Sembari meletakan gelasnya ke meja, Azura menoleh dengan eskpresi yang sudah ia buat menjadi memelas. "Dua ya?"

Khandra menggeleng. "Masih mending satu per hari dari pada gue minta lo buat minum seminggu sekali. Inget ya, lambung lo udah mulai kena, Ra. Kudu dikurang-kurangin kalo bisa stop konsumsi malah."

Azura mencebik dan membuang muka. "Temen gue galaknya ngelebihin ortu."

"Galak juga kan demi kebaikan lo. Gue nggak mau ya, lihat lo di UGD lagi kayak waktu itu."

"Ya udah, gue tinggal ke rumah sakit lain."

Khandra berdecak sembari menyentil pelan kening sahabatnya. "Bukan gitu konsepnya, bego. Intinya, jangan sampe lo sakit lagi."

Meski tidak keras, secara spontan Azura mengangkat tangan untuk mengusap keningnya yang baru saja terkena sentilan laki-laki di sebelahnya. Ia terdiam sejenak sebelum menghadapkan kembali wajahnya ke Khandra dengan menunjukan ekspresi jahilnya. "Bilang aja sih, lo lagi ngekhawatirin sahabat lo yang cantik ini."

Lalu tanpa terduga-duga, Khandara mengucapkan kalimat balasan yang langsung membuat ekspresi jahil di wajah Azura lenyap seketika. "Always, Ra. Kalo lo mau tahu, gue selalu mengkhawatirkan lo."

"Dan karena pekerjaan yang membuat gue sama lo sibuk setengah mati, tolong kerja samanya ya. Untuk jaga kesehatan dan keselamatan diri lo." ekspresi Khandra kini benar-benar berubah serius. "Listen, gue pasti akan berlari kalo denger lo kenapa-napa. Tapi lo juga tahu kan, gue juga bisa tertahan dengan pekerjaan dan akhirnya ngebuat gue nggak bisa lari cepat. So please, take care of yourself, Azura."

Rasa Berbalut SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang