Bab 16

299 40 11
                                        

Khandra tidak bisa tidur. Di saat dirinya akhirnya bisa pulang ke rumah setelah rentetan operasinya dua minggu ini, dia malah tidak bisa beristirahat dengan benar. Khandra pikir, tidur bisa membantu dalam usahanya menghilangkan rasa resah tak mengenakan yang terus dirasanya setelah ia mendengar ucapan ayah Azura beberapa waktu lalu.

Tapi nyatanya, kesibukannya yang luar biasa ternyata lebih bisa membantu. Karena pikirannya mengenai perasaannya kepada Azura terus saja menghantui di saat otaknya tak dipakai untuk melakukan keahliannya dalam mengoperasi orang.

Akhirnya, setelah melaksanakan kewajiban beribadahnya di waktu subuh, pria itu memutuskan untuk bangun dan lari pagi di lapangan kompleks perumahannya. Keadaan masih sangat sepi saat ia sampai di lapangan dengan mengenakan celana pendek dan jaket parasut berwarna hitam serta topi putih sebagai pelengkap.

Khandra melakukan pemanasan singkat sebelum akhirnya berlari pelan memutari lapangan. Ia tidak tahu sudah berapa kali memutari lapangan itu, yang jelas kini rasa resahnya perlahan menghilang dan itu membuatnya tanpa sadar semakin menikmati rasa lelah yang mulai menyapa.

"Lagi butek?" langkah Khandra memelan spontan karena terkejut akibat mendengar sebuah suara dari sampingnya. Wajah terkejutnya semakin terlihat jelas tatkala mendapati seorang perempuan yang sedari kemarin terus saja memenuhi otaknya. "Sejak kapan lo di sini?"

"Gue sudah lari dua putaran. Gue nungguin lo nyadar tapi karena lonya nggak sadar-sadar, akhirnya gue ampirin." penjelasan Azura membuat Khandra menghela napas. Sepertinya, ia tadi benar-benar berkonsentrasi menghilangkan rasa resahnya. Sampai ia tidak menyadari sumber keresahannya datang mendekat.

"Lagi butek apa? Pasien?" Azura kembali melontarkan pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban dari pria di sampingnya. Khandra kini menyamakan pace larinya dengan milik Azura. "Bukan."

"Terus?"

"Mikirin lo." jawaban tak terduga dari Khandra membuat detak jantung Azura yang semula masih tenang-tenang saja perlahan berubah menjadi rusuh. Maksudnya apa coba?

"Gue tahu, gue itu orangnya ngangenin tapi nggak usah dipikiran terus kali. Bikin butek kan jadinya." Khandra tahu kalau ucapan Azura hanyalah sebuah candaan tapi tetap saja, kalimat itu berhasil mengundang senyum kecutnya. Karena nyatanya, perkataan itu sangatlah benar. Selama tidak menemui perempuan di sampingnya ini dari beberapa waktu lalu, ia mulai merasakan rindu. Dan karena terus saja memikirkan Azura, pikirannya jadi butek tak karuan begini.

"Ra, seandainya gue..." Khandra benar-benar dilanda keraguan saat hendak menyampaikan perasaannya yang telah berubah kepada Azura. Aneh tidak, kalau tiba-tiba saja dia mengatakan kepada Azura kalau dia menyukai perempuan itu?

"Apa sih?!" tanya Azura greget karena Khandra tak kunjung juga melanjutkan perkataannya.

Bukannya menjawab, Khandra malah mendesah. Merasa kesal dengan dirinya sendiri karena tidak mendapati keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Azura. Sial, ia takut sekali apabila hubungannya dengan Azura akan berubah setelah ia menyatakan perasaannya.

"Seandainya gue meminta lo untuk menghapus semua rasa yang lo punya buat Angga, apa lo akan melakukannya?" pertanyaan itulah yang akhirnya Khandra lontarkan. Setidaknya, ia ingin memastikan bahwa perempuan di sampingnya ini tidak lagi memiliki sisa rasa yang tertinggal kepada cinta pertamanya.

Kening Azura nampak mengerut sebelum kemudian mengajak Khandra untuk berhenti berlari. "Maksudnya?"

Khandra terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Karena sepertinya, gue nggak bisa ngelakuin apa yang gue janjikan ke lo waktu dulu, membantu lo untuk bisa bersama Angga."

Rasa Berbalut SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang