Bab 10

497 76 10
                                        

"Laper ya anak Ayah?" pertanyaan itu terlontar saat Gala mendapati sang putri terus saja terdiam dengan wajah yang sedikit pucat. Ia mendapati anaknya seperti itu semenjak dirinya selesai melakukan check up sampai sekarang mereka sudah ada di mobil.

Lamunan Azura pun langsung terpecah. Ia menolehkan kepalanya ke arah sang Ayah yang sedang menyetir dengan kening yang mengerut. "Kenapa Ayah bisa nyimpulin kalo aku laper?"

"Habisnya dari tadi diem aja sama wajah kamu keliatan pucet. Itu kan tanda-tanda kalo kamu lagi kekurangan vitamin M."

Kening Azura semakin mengerut dalam. "Memangnya ada vitamin M ya, Yah?"

"Ada dong. Vitamin Makanan."

Azura langsung mencebik dan melengos ke arah jendela. "Nyesel banget ngeluarin waktu buat dengerin Ayah."

Gala terkekeh. "Lagian, kamu udah kenal ayah 29 tahun. Kenapa juga dengerin ucapan ayah serius begitu."

"Nah itu lo, Yah, kenapa setiap aku serius dengerin Ayah, Ayah selalu bercanda. Tapi giliran aku nggak begitu dengerin ternyata omongan Ayah serius. Masih jadi sebuah misteri."

Gala kembali terkekeh dengan sebelah tangan yang bergerak mengusap kepala putrinya. "Namanya juga hidup, Ra. Pasti banyak misterinya. Misalnya kayak perasaan kamu dan Khandra mungkin."

"Ayah ih! Kenapa sih, suka banget ledekin Zura sama Khandra?"

Gala mengedikan bahunya. "Siapa tahu kalo diledekin terus bisa jadi beneran kan?"

"Pengetahuan dari mana itu, Yah? Sesat banget."

"Sesat nama buah bukan ya?"

"Sirsak, Yah, sirsak!"

~~~~~

"Anakmu yang satu itu beneran nggak mau ikut ngurusin Putra Grup?" Ega – salah satu kolega Dafa sejak tadi telah melontarkan pertanyaan yang sama. Hal itu membuat Dafa mendengus. "Kenapa emang sih? Mau Bapak apakan anak aku yang satu itu, Pak? Kalau Bapak mau kasih satu anak perusahaan ke dia, aku bisa bantu negokan."

Ega mendengus sembari memukul bola golfnya. "Masih kesengsem aja sama pemikirannya dia waktu ngobrol tadi. Sayang aja, anakmu yang punya pemikiran seperti itu memilih buat tidak campur tangan."

"Mau bagaimana lagi, sudah aku bujuk beberapa kali pun, dia tetap nggak mau. Lagian, ya sudah lah. Kalau dia nggak memilih buat jadi dokter, kasihan juga Ibuku. Jadi nggak ada penerus."

"Terus, kapan rencananya dia mau ambil alih manajemen rumah sakit?"

"Katanya sih, setelah dia jadi professor." jawab Dafa setelah memukul bola golfnya. Jawaban itu membuat kening Ega mengerut. "Masih harus tunggu beberapa tahun lagi dong ya."

"Memang. Tapi pemikirannya betul juga, dia sudah berkecimpung di dunia kedokteran. Dan dia ingin buat jadi yang terbaik di bidangnya. Jadi, semisal nanti dia jadi direktur rumah sakit, Khandra juga berharap dia tetap jadi seorang dokter yang benar-benar berkemampuan. Agar orang-orang nggak menganggapnya sebelah mata, berpikir bahwa apa yang didapatnya itu hanya karena sokongan keluarganya."

Ega terdiam sejenak sebelum mengeluarkan kekehan pelannya. "Ternyata pemikirannya yang seperti itu nurun dari kamu ya, Daf. Baguslah, kamu bisa mendidik anakmu dengan baik."

Laki-laki berusia sepuluh tahun lebih tua dari Dafa itu pun lalu berucap setelah menghela napas panjang. "Nggak kayak aku. Anak-anakku pada manja semua. Salahku karena terlalu manjain mereka. Aku cuma khawatir, nanti perusahaan yang didirikan bapakku bakal hancur dengan tabiat, perilaku, dan pemikiran seperti mereka."

Dafa turut menghembuskan napasnya lalu bergerak menepuk-nepuk pundak Ega. "Nggak ada kata terlambat, Pak Ega. Sekarang pun, kalau bapak mau, bapak bisa mendidik mereka dengan cara yang benar."

Rasa Berbalut SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang