4.

1.5K 148 11
                                    

..





Tidak ada anggota perempuan yang di lahirkan untuk menjadi terlihat di sini.

Tujuannya tentu saja untuk melancarkan bagaimana caranya bisnis bekerja dengan baik tanpa adanya hambatan seperti keluhan atau gangguan mood perempuan yang berubah-rubah.

Tentu saja. Hal itu sudah di lakukan secara turun temurun.

Pertanyaan yang mungkin sering terlintas di benak beberapa Orang, bagaimana jika pihak perempuan malah melahirkan bayi dengan gender yang sama dengan mereka.

Sejujurnya. Mereka masih membiarkan bayi itu lahir, meskipun pada akhirnya mereka tidak akan terlihat.

Misalnya di tunjukkan untuk menjadi perawat khusus adik atau Kakak laki-lakinya.

Cukup menggiurkan karna mereka tidak terlalu sesibuk para Anak lelaki.

Namun, karna hal itu. Banyaknya terjadi kelatarbelakangan pola pikir dan mental para Anak perempuan tentunya akan menjadi boomerang bagi para Ibu.

Mereka akan merasa tak becus sekaligus tak berguna dalam mengasuh Anak perempuannya.

Karna bagaimanapun- sedari awal para perempuan tak memiliki suara, sejak mereka di kenalkan pada dunia.

Yvine diam saja saat pelayan membasuh kakinya.

Dia tak merasa kasihan, karna pada akhirnya. Pelayannya ini. Atau sesuai namanya, Nina.

Akan memiliki penyelamat di masa depan.

Yah, itu adalah akhir yang klimaks.

Meski kedengarannya seperti Yvine-lah pemeran utama. Tapi, Dia sendiri berpikir bahwa Karakter utama yang sebenarnya adalah Nina.

Masa depannya yang sudah terjanjikan semenjak pertama kali regresi Yvine. Itu tidak pernah berubah sampai akhir.

Nina akan selalu terselamatkan, dan bahagia hingga akhir. Bersama pasangannya.

"Sudah selesai."

Yvine tak menjawab. Dia mengangkat kakinya dan mendorong tubuh Nina hingga perempuan itu terjatuh.

"Jangan dateng lagi, ini terakhir kalinya Kamu masuk ke kamar Saya."

Yvine menidurkan tubuhnya. Mulutnya lebih nyaman jika tidak menggunakan bahasa asalnya. Karna itu terdengar canggung.

Seperti pengucapan kata 'Aku atau Kamu' itu terdengar aneh baginya.

"U-uh ... kenapa?"

Nina dengan gurat kekhawatirannya membungkuk dan menggigil.

Khawatir cara kerjanya yang salah, atau khawatir para petua menyalahkannya akan ketidak puasan Yvine.

Yvine harusnya tahu, jika Dia tak memiliki kuasa untuk menyingkirkan siapapun di sini. Tapi siapa tau? Mungkin Chester akan dengan baik hati membiarkannya.

Atau seperti caranya memperlakukan Nina dengan sedikit kurang ajar, wanita itu tentu lebih tua darinya 8 tahun, bulan depan perempuan itu menginjak umurnya yang ke 19.

Di mana pebisnis lainnya akan menjemputnya untuk di madu.

Dan beberapa tahun kemudian, siapa tahu, Dia mungkin akan di singkirkan oleh nina karna dendam padanya.

Itu cukup membuat Yvine memikirkan bagaimana caranya nanti mati, tanpa perlu regresi lagi.

"Tolong ... Aku akan bekerja lebih keras lagi. Tolong biarkan Aku mengasuhmu."

Sejujurnya, Yvine bisa mengurusi dirinya sendiri, dan tak ingin siapapun terlibat dengan tumbuh kembangnya.

Dia ingin dewasa dengan dirinya sendiri dan mati sendiri.

"Saya keliatan kaya anjing? Saya ngga perlu pengasuh. Saya bisa sendiri." Ujaran ketusnya membuat Nina hampir menangis.

Pelupuk matanya membendung air bening.

"Tunggu apa lagi? Keluar!"

Tapi tak selang lama nafasnya berderu tenag. Pria yang tak Ia duga akan mendatanginya itu, berada di sana.

Pasca keluarnya Nina dengan sedikit ragu itu, secara kebetulan, Timothy berdiri di ambang pintu kamarnya.

Menatapnya lurus dengan mulut yang terkatup rapat.

Sejujurnya, Yvine mulai ragu sekarang. Apa benar Dia regresi di tempat dan kisah yang sama?

Sandal rumah yang Pria itu kenakan menimbulkan suara yang mengganggu. Hingga Yvine mau tak mau ikut memperhatikan Pria itu mendekat.

2 kaki dari ranjangnya, Timothy berhenti. Tangan yang tersimpan hangat di saku itu salah satunya perlahan keluar.

Menarik dagu Yvine untuk di dekatkan pada Timothy yang sekarang membungkuk.

Tatapan mereka bertemu dengan baik, menyalurkan rasa aneh dari Yvine.

Satu tangan Timothy terulur lagi, mengusap kantung mata Yvine yang sedikit menggelap.

"Your life ... is't too hard?"

Dalam pengulangannya terus terlahir kembali. Yvine baru kali ini mendengar suara Timothy yang secara langsung di tujukan padanya.

Hingga Dia tak tahu, apa yang harus di lakukannya kali ini. Yvine tak mengedip bahkan sekalipun.

Matanya yang coklat terang itu, bersinggungan dengan milik Timothy yang berwarna biru tua.

Dia lupa. Warna itu, hanya di miliki oleh Timothy, maka dari itu, Dia seolah terhipnotis.

Sentuhan pada wajahnya terlepas. Timothy duduk di tepi ranjang dengan kaki yang menyilang.

"Any problem?" Tanya Timothy lagi.

Yvine meliriknya setelah tadi menghindarinya. Matanya mengedip. Oh ... mungkin Dia bertanya tentang Nina.

"Ya ... I feel like, I wanna make it clear."

Yvine menaikkan selimutnya saat di rasa air conditioner makin turun.

"That, I dont need somebody else."

Wajah Timothy berhadapan dengannya secara lurus, itu sulit untuk menghindari sedikitnya topik yang tak ingin Ia ujarkan.

"Why?"

"Cause ... I dont need it, what else?."

Ujung bibir Timothy naik, Dia menatapnya rendah, entah hanya perasaannya saja, atau memang seperti itu kenyataannya.

"Except?"

"No ... one."

Timothy bangkit. Dia menatapnya dari atas. Alisnya yang hampir menyatu dan bibirnya yang naik itu, seolah tengah mengejeknya.

"We will see later on."

Timothy kembali melangkahkan kakinya. Meninggalkan kamar Yvine.

"Ah ... besok, Kamu mulai sekolah."

Dan saat itu juga, suaranya menjadi penutupan di malam hari. Setelah sekian lama Yvine menahan berat kelopak matanya.


..

Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang