15.

846 88 5
                                    

..



Kondisi ruang makan sedikit ramai. Berapa banyak saja total anggota keluarga yang mungkin saja jika ini pertama kalinya bagi Yvine akan membuatnya kebingungan.

Namun, ini sudah puluhan kalinya Dia berada di sini. Lantas apa yang bisa membuatnya pusing?

Okta masih pada pendiriannya. Mencuri pandang terhadap keberadaan Julian yang duduk di depannya.

Yvine di sini. Tapi mengapa mereka amat terasa jauh?

Apa?

Kenapa?

.... apa masalahnya?

Sesuatu yang terus mendorongnya keluar. Memberontak ingin berteriak dan mengatakan pada mereka bahwa Dia sudah muak.

Sebenarnya, apa maunya? Yvine menjadi makin tak paham apa keinginan hatinya.

Dia merasa sendirian di sini. Di saat semua orang bertukar kata. Yvine hanya bisa terdiam di tempat.

Memegang sendok dan garpu dengan tangan kecilnya. Menu yang seolah sengaja di sisihkan untuknya.

Siapa yang melakukan ini jika bukan para pelayan?

Yvine melirik Julian yang fokus pada ponselnya piringnya sendiri. Mengabaikannya.

Yvine bukannya ingin di manja atau sekadar di perhatikan. Dia hanya merasa terbebani.

Akhir-akhir ini, Julian bertindak dekat dengannya. Meskipun Jordan bertingkah seperti biasa. Setidaknya Julian sering mengajaknya berbicara.

Tapi sore ini, Laki-laki itu menghiraukannya. Bahkan Dia turun dengan bantuan penjaga yang membuatnya sedikit tak nyaman.

Padahal sedari awal di bangkitkannya kembali. Yvine bertekad ingin menjauhi mereka.

Lantas akibat ini, Yvine menjadi merasa memiliki ketergantungan pada Julian. Yang harusnya Yvine sadari, sedari awal. Bahwa itu menakutkan.

Kini Dia harus menjilat ludahnya sendiri. Kembali mengemis perhatian dari mereka, yang bahkan tak mau meliriknya.

Kurang apa Yvine? Hingga di perlakukan sejauh ini?

Yvine takut ... Dia takut sekarang.

Ketika semuanya sudah selesai, Julian bangkit dan meninggalkan meja bersama Jordan dan Jesse.

Mata Yvine tak ingin menatapnya, tapi apa daya jika sudah terlanjur.

Mereka mengabaikannya, meliriknya bahkan tidak. Hatinya nyeri, Yvine merasa sakit hati.

Dia memutar kendali rodanya mundur dan meminta bantuan pada penjaga untuk membawanya juga pergi dari sana.

Ketika melewati jendela, Yvine melihat serpihan putih turun dari langit.

Dia mendongak, dan menatap penjaga. "Saya mau di sini dulu, Bapak bisa kembali ke tempat."

Ketika penjaga akan menolaknya. Yvine segera melengos dan mendorong kembali kendali roda kursinya dan lebih dekat ke arah jendela.

Jadi dari pada begitu, penjaga itu benar-benar meninggalkan Yvine di sana sendirian.

Di batasi jendela. Yvine menatap keluar dengan rasa penasaran. Banyak sekali guguran butiran putih yang mendarat di lantai.

Yvine memutar knop pintu yang jauh darinya, dengan sedikit kesusahan.

Dia keluar dengan tanpa penjagaan, itu adalah hal yang mungkin akan membuatnya terkena amarah.

Tapi siapa peduli? Mereka bahkan tak ada yang meliriknya.

Dan ketika Dia sudah berada di luar. Kunci knop pintu berputar. Yvine yang mendengarnya menoleh.

Tapi tak ada siapa-siapa. Yvine menghela nafas, mungkin hanya perasaannya saja.

Tangannya menengadah saat Ia sampai di luar rumah. Di dekat pagar kecil yang mengelilingi panggung kecil. Halaman depan.

Menerima butiran salju yang meleleh saat mendarat di tangan hangatnya.

Yvine tak tersenyum atau merasa bahagia.

Dinginnya salju ... sama seperti jalan hidupnya yang seolah sudah di atur supaya tidak berjalan sesuai keinginannya.

Berakhir buruk, dan Dia akan di bangkitkan lagi untuk kesekian kali. Merasakan sakit yang sama tanpa bisa melakukan pemberontakan dengan hasil.

Mereka sama seperti Yvine yang perlahan runtuh ke tanah dan meleleh, menghilang tanpa jejak seolah tak pernah ada.

Memang udaranya dingin, apa lagi dengan Yvine yang hanya memakai baju lengan panjang yang tipis, dan celana pajama.

Kenapa rasa beku tak cukup membuatnya merasa lebih baik dari rasa sakit yang sebelumnya.

Rasa benci yang terus tumbuh seiring waktu. Rasa lelah yang tak pernah absen dari benaknya.

Yvine memejamkan matanya dan dengan tarikan nafas lelah, Yvine memutar kursi hendak kembali ke dalam Rumah.

Tapi, Yvine merasa ada yang aneh dengan knopnya. Pintunya, tak bisa terbuka.

Dengan kaki yang masih amat sakit. Yvine mencoba berdiri dari kursinya, mengulangnya membuka pintu.

Sedangkan di dalam Rumah sana. Di ruangan yang berbeda. Ibunya- Nova meliriknya sembari meminum anggurnya.

Dan Julian, yang tengah menikmti cigarette nya, pandangan yang tanpa sengaja tertuju pada Yvine itu menjadi seolah tak peduli. Pandangannya dingin dan menusuk.

Yvine kira, Julian setidaknya akan membantunya sedikit, atau mungkin jika Dia malas, siapa tahu Dia akan memanggil penjaga untuk memasukkannya ke dalam.

Dengan tangannya yang sibuk membuka pintu, Yvine entah kenapa segan untuk sekadar berteriak.

Karna jelas bahwa mereka tahu, lantas apa yang membuatnya harus teriak? Toh mungkin mereka akan mengabaikannya.

Rasa dingin menyerang ulu hatinya. Seluruh tubuh Yvine perlahan merasa beku, dan lama kelamaan, tubuhnya lemas.

Pandangannya kabur dan kakinya sudah tak kuat menopang beban. Yvine kesusahan dan tidak ada yang ingin membantunya.

Wajahnya sudah pucat. Tapi mereka tetap berada di posisi masing-masing tanpa bergerak sedikitpun.

Yvine, lagi-lagi menempatkan dirinya pada bahaya yang seharusnya tak Ia dekati.

Dia jatuh pingsan di sana. Dengan suhu dingin menyerang tubuh. Yvine jika terlambat di selamatkan, mungkin Dia akan mati sekarang- atau sudah?




..

Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang