8.

1K 107 2
                                    







..

Harusnya Dia tidak perlu heran, ketika. Para murid yang melihatnya kemarin tumbang menatapnya terkejut.

Mana ada manusia gila seperti Anak itu? Tidak ada.

Perban itu bahkan terlihat kusut dan sedikit kotor, mereka berandai, apa Anak itu hanyalah Anak dari pembantu Timothy yang mereka kenal amat kaya.

Wajar saja bukan, penampilan Anak itu, seolah baru saja pulang dari perang, terkecuali seragam dan rambutnya yang rapi. Wajahnya berantakan, terima kasih pada luka yang terlukis indah di mata dan sudut bibirnya.

Siapa yang peduli. Bahkan saat supir melihatnya begitu, tak ada kilatan khawatir ataupun perduli dari matanya.

Bahkan semua Orang tidak menganggapnya ada.

Alih alih merasa marah, Yvine menemukan semuanya makin hambar. Perilaku yang selalu memutar bagai kaset rusak itu, membuatnya sadar.

Yang jahat bukan hanya mereka, tapi Dia sendiri yang membiarkan mereka mengambil alih kehidupannya dengan bebas.

Andai saja Dia lebih dari kuat. Mungkin Dia lebih memilih menyendiri sampai ujung umurnya berakhir dan mati tanpa ada yang melihat. Namun, apa semua itu berlaku untuk jiwa lemahnya?

Angan-angan Anak kecil memang terasa amat tinggi, hingga para Orang Tua selalu menyebutnya menjadi mimpi Anak-Anak mereka.

Tapi apa pernah terlintas di benaknya Ia ingin kuat? Tidak.

Yvine sama sekali tak ingin kuat, Dia ingin berada di batasnya dan hidup dengan nyaman.

Sederhananya, Dia ingin berada di ambang batasnya mati dan hidup.

..

Batang pensil yang meninggalkan jejak di lembaran bersih itu mengambil alih para murid yang tengah fokus pada pembelajarannya.

Keberisikannya membuat semuanya risih, padahal. Yvine memastikan gerakannya dengan amat pelan.

Dia mencatut nama dalam kepalanya, siswa yang terus memandanginya sedari awal Ia masuk ke dalam. Entah apa alasannya.

Sejujurnya, ketimbang mengikuti pembelajaran, yang sebenarnya terjadi seolah-olah hanya Yvine yang tengah menulis materi dan di jadikan tontonan di dalam kelasnya.

Mengapa ... seolah Dia amat begitu menarik untuk di tonton, sedangkan Dia sama seperti mereka.

Dia bukan binatang yang pintar menulis dan di pertontonkan di depan umum sebagai pertunjukkan. Dia juga sama-sama manusia.

Lama-lama, matanya berat. Kantuk menyerangnya begitu saja. Dengan amat mudah. Merobohkan segala kesiagaan yang biasa Ia kenakan saat pembelajaran berlangsung.

Genggaman pensil pada tangannya hampir terlepas jika saja ketukan spidol pada papan mengejutkannya.

"Tidur Kamu?"

Yvine menatap lurus ke depan. Pengajar yang tengah bertanya padanya dengan nada sinis.

Ketika pertanyaan itu mengambung dan membuat semua Orang kini secara terang-terangan menatapnya.

Dalam lingkaran itu, Yvine tidak bisa bisa bungkam kecuali mengiyakan pertanyaan sang Pengajar.

"Kenapa? Sakit alasannya?"

Meski ujaran itu terasa singkat. Namun ada makna lain dari raut wajahnya.

"Kalo sakit ngga usah berangkat! Nyusahin Orang aja!" Tambahnya dengan suara kesal.

Pengajar itu mengetukkan spidol pada papan dengan kencang hingga sedikit membuat Yvine menutup mata.

"Sana keluar!"

Meskipun begitu, Yvine menurutinya, menaati perintah pengajarnya untuk segera enyah dari hadapan beliau.

Sehingga mereka mungkin tak akan terganggu lagi dengan keberadaanya.

Dalam jalannya. Mati rasa. Andai mereka tahu. Anak kecil itu juga memiliki hati, mengapa Dia tidak menegurnya dengan pelan? Apa harus di bentak di depan banyak Orang?

Itu sekaligus menyakiti harga dirinya.

..

Dari pada itu. Jesse tak melihat Yvine. Kiranya ingin minta maaf untuk kejadian di mana Cyrus memukulnya karna Jesse membuat Cyrus salah paham.

Dia berkeliling mencari keberadaan Anak itu dengan gelisah. Suasana hatinya gundah. Andai saja pagi tadi Dia tak bangun kesiangan, mungkin saja Dia masih bisa melihatnya di Rumah.

Mata hitamnya tanpa sengaja menangkap keberadaan para Remaja yang kemarin mengusirnya di Rumah sakit.

Dia mendekat dengan tergesa. "Mana Cia?!" Desaknya.

Archer dan Zefiro yang melihat itu meliriknya sinis. "Apaan sih." Kesal Moses.

Jesse berdiri tak tumbang. Menatap mereka satu persatu dengan tajam. Mendesak mereka untuk mengatakan di mana Yvine berada, bahkan di saat mereka sendiri tidak tahu.

"Mana Cia?!" Desaknya lagi.

Loic mendorong bahunya. "Cia siapa anjir! Jangan cari gara-gara di sini deh." Balasnya.

Dorongan itu tentu saja membuatnya mundur. Namun, Jesse tetap memaksa mereka untuk menjawab.

"Ngga! Gue tau Dia ada sama kalian."

Zefiro mengernyitkan dahinya. "Cia siapa? Cabut kalo lu cuma mau bikin masalah."

Jesse mengalihkan pandangannya dari Loic ke arah Zefiro. "Dia ada sama kalian kemaren di Rumah sakit. Ngga usah sok amnesia." Kekehnya menambah geraman pada Loic.

Namun, Moses segera melirik Archer, di mana temannya itu hanya mengangjat bahunya acuh.

"Zyrecia Yvine! Dia sama kalian kemaren!"

"Hah~"

Archer bangkit dari duduknya. Dia yang tak suka di ganggu oleh Jesse itu mendekat ke arahnya dan mendaratkan pukulan di perutnya.

Membuat Jesse terdorong mundur dengan rasa sakit di dinding perutnya.

"Terus kenapa kalo Dia sama Gue?"

Wajahnya tak menunjukkan kesenangan. Archer membuat Jesse terlihat seperti debu yang tak terlihat.

"Dia Adek Gue, jadi ngga ada hak Lo ngalangin Gue."

Mendengar ucapan beraninya, mereka semua terbahak. Mereka semua mulai mundur.

"Cabut guys." Perintahnya pada mereka.

Membuat Jesse terpatung di tempatnya. Apa salahnya menyebutkan diri bahwa Yvine itu Adiknya.

Memang kenyataannya begitu, seolah mereka tengah menertawakan badut dalam sauna. Yang membuat Jesse menjadi panik dan tak nyaman secara bersamaan.







..





Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang