14.

805 94 22
                                    


..

Lily melirik Suaminya. Keduanya duduk di antara para kerabat yang tengah brrkumpul. Dengan alasan berduka atas meninggalnya Cyrus.

Yvine duduk di lantai 2 dekat balkon, menatap mereka, para remaja yang berkumpul di taman.

Lucunya, tidak ada siapapun di sini yang sadar akan kehadirannya.

Atau memang sengaja tak mau. Meskipun sudah jelas bahwa kehadirannya tidak di lihat.

Jadi Dia menyendiri di sini. Tanpa terganggu kehadiran mereka.

Yvine terlihat lesu. Dan tidak bersemangat.

"Hei."

Speak of the devil. Julian berjalan ke arahnya dengan tenang dan senyum yang terpasang di wajah tampannya.

"Ngapain?"

Kepalanya menghadap Julian, dan Dia hanya diam tanpa mau menjawab, Julian tak keberatan.

Bahkan jika mungkin Anak itu bisu untuk selamanya.

"Kakak ngga bareng mereka?"

Ah, Julian rupanya harus mengurungkan niatnya. Untuk membuat si kecil bisu.

Mana bisa Dia hidup melewatkan suara manis dari kucing di depannya ini? Sungguh Dia sangat lemah.

Julian berjongkok di depan Yvine yang kini mengikuti arah pandangnya. Menatap jemari Yvine yany saling bertaut.

"Mau jalan-jalan?" Tawar Julian.

Yvine, menolaknya. Dia memainkan jarinya tanpa terlihat bosan di mata Julian.

"Besok ... Gimana Cia sekolahnya?"

Pertanyaa Yvine membuat Julian mengangkat alisnya. Dia memiringkan kepalanya sekedar mengamati Yvine.

"Kamu mau sekolah?" Ulang Julian.

Yvine mengerjap. Mata nya terlihat sayu, sepertinya Dia mengantuk.

"Iya? ... sekolah."

"I don't even intend to let you disappear from my sight."

Julian berbicara pelan sembari menghindari tatapannya.

Yvine berdengung. "Apa Kak?"

Julian menggeleng. Dia berdiri menepuk kedua lututnya. Mengambil alih pegangan kursi roda di balik punggung Yvine.

"Yaudah, kita tidur siang aja dulu ya." Kata Julian.

Yvine hanya diam saja, tanpa menjawab. Dengan gampang menuruti kemauan Julian.

Kepalanya terkantuk turun saking rendahnya daya sadar Yvine.

Julian meliriknya. Sembari mengangkatnya naik ke atas ranjang bersama dirinya sekalian.

Tidur, menghabiskan waktu siangnya.

Julian padahal tahu kalau mereka amat tertarik akan dirinya. Tapi apa Julian memikirkannya dengan jangka panjang?

Yah, Julian bukan pribadi yang seperti itu, Dia hanya ingin Yvine, Dia hanya tertarik pada kucing kesayangannya itu. Jadi biarkan saja mereka menunggunya dengan hasil yang percuma.

..

"Mana Julian?"

Salah satu perempuan yang ada di sana bertanya dengan penasaran, pandangannya meliar ke arah manapun Dia bisa.

Sean menghela nafas jengah. Oktafia, Anak dari Adik Ayahnya itu memang cukup populer di silsilah keluarga mereka.

Akibat Ayah Oktafia, Mr, Redd yang sedikit kaya. Meski begitu, karna Chester memiliki banyak Anak. 3 di antaranya laki-laki dan 1 perempuan.

Maka status Cucu yang di miliki sudah tidak sedikit lagi. Dan mengapa di kediamannya hanya terdapat Robbert dan Timothy, hanyalah karna mereka yang pantas.

Jika beberapa dari mereka ingin tinggal di tempat megah itu, mereka harus melampaui Timothy dan Robbert, jika tidak. Mereka akan hidup dengan kaki mereka sendiri.

"Lucius? Kemana Kakak Kamu?"

Okta tak kunjung menyerah. Dia terus berusaha mencari tahu di mana keberadaan Julian.

Sedangkan Lucius sendiri tahu, bahwa Okta menyukai Julian, sepupunya sendiri.

Dia bukannya tak sudi, Dia hanya tak mau ada masalah di antaranya dan Julian, jadi Dia tidak ingin ikut campur di dalamnya.

"Kenapa?" Meski begitu juga, Lucius mau tak mau pura-pura bodoh.

Wajah Okta memerah, merona hingga ke daun telinga. Para anggota lain meliriknya tak nyaman.

"Engga ... kalo kita kumpul masa Julian ngga ikut?" Jawabnya malu-malu.

Hargan, Anak dari Adik Redd menyugar helaian rambutya. Dan pergi berlalu meninggalkan percakapan yang baginya hanyalah omong kosong.

"Okta." Nina menepuk bahunya. Adik dari Hargan itu menerbitkan senyum miringnya pada Okta.

"Sadar diri." Bisiknya.

Menghiraukan mereka, Sean ikut pergi bersama Hargan, di susul Lucius dan anggota lainnya.

Okta menunduk dalam diam, wajahnya makin memerah dan matanya berkaca-kaca.

"Apa salah Aku? Aku kan cuma suka sama Julian."

Nina terbahak. "Anjir, ngga usah lebay deh, ngapain sih sampe nangis begituan?" Cercanya pada Okta.

"Lagian apa lu ngga mikir, kalian tuh sepupu, ngga etis kalo Lo ngga usaha ngilangin rasa suka Lo ke Julian. Sadar bego."

Okta yang di bombardir suara kasar Nina tentu tak mereda, malah makin banyak mengeluarkan air matanya.

Nina merotasikan bola matanya jengah. Dia segera pergi dari hadapan Okta dan Jesse yang masih betah duduk di sana.

Jesse yang tangannya menggenggam ponsel itu menopang dagunya.

Ini hanyalah drama. Okta menyukai Julian, dan Nina melarangnya dengan keras. Padahal Nina juga menyukai Julian.

Sedangkan Julian tak memikirkan mereka. Jesse sudah mahfum akan hal ini, sangat jelas tergambar di wajah mereka.

Hanya karna kepribadian Nina yang kasar dan Okta yang lemah lembut namun sedikit agresif itu, banyak Orang salah paham.

Padahal, sejatinya mereka berdua menyukai Julian sedari masih kecil. Nina bahkan bisa mengeluarkan wajah malu-malunya di depan Julian.

Namun itu cukup menjadi sebuah hiburan, kala Julian bahkan tak peduli dengan mereka.

Julian lebih suka memperhatikan buku- artikelnya. Dan sekarang ada Cia, mungkin sekarang hobinya selama 15 tahun semenjak kanak-kanak sudah berubah.

Yah- Jesse juga tak menyalahkan Julian, Yvine memang cukup, tidak- Yvine lebih dari cukup untuk menarik perhatian mereka hingga ingin berlutut di hadapan Anak kecil yang bahkan tak berdaya.

..

Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang