17.

923 102 34
                                    


..


Julian juga sejujurnya penasaran. Siapa yang sudah mendahuluinya mematahkan kaki Yvine.

Bukannya apa, Dia malah berterima kasih. Dengan sangat. Karna Yvine tentu menjadi lebih lemah karna masalah ini.

Dan menjadi Opportunity-nya untuk menjadi sandaran lebih baginya makin melemahkan Yvine.

Dia duduk di sofa single. Menatap lamat Yvine yang masih tak berdaya di ranjang miliknya.

Anak kecil itu, amat lucu. Hingga rasanya Julian ingin mencengkramnya. Dan Mencekiknya agar tak berontak saat di bawah kendalinya.

Atau bahkan jika bisa, memajangnya di lemari kaca. Seribu sayang Julian tak setega itu untuk mengawetkan Yvine.

Dia lebih suka Anak itu menempelinya. Mengikutinya ke mana saja, tak menghiraukan Orang lain. Dan pandangan manisnya hanya tertuju padanya.

Julian bukannya tak mau berbagi. Hanya saja, ketika Yvine menatap Jordan seperti Yvine menatapnya, Julian mendapati hatinya merasa panas. Dan marah.

Ini bukan tentang hal yang romantis. Hanya saja, Julian sengit kala Orang lain, menyentuh apapun yang menjadi miliknya.

Julian memang awalnya akan bermain-main dulu, namun karna Lucius mengatakan tentang hal sesorang selainnya mungkin ingin memiliki Yvine seperti dirinya. Lebih baik Dia begini.

Bertindak lebih agresif dari siapapun.

3 jam tanpa bergerak. Hingga matahari terbit kembali setelah menyinari bagian bumi yang lain.

Julian tak bosan menatap mata yang memejam itu. Kenapa bisa, Yvine yang hanya Anak kecil bisa meraih segala atensinya?

Dia bangkit dan keluar dari kamar, meninggalkan si kecil sendirian.

Dengan kedua kaki yang membengkak biru, tanpa di obati, tanpa di sembuhkan.

..


Hingga hari ini, 3 hari genap setelah robohnya kesadaran Yvine di depan Rumah.

Dia akhirnya sadar dari masa terlelapnya. Pertama kali hal yang Ia lihat setelah membuka mata, adalah langit-langit kamar asing, dengan lampu redup, dan ruangan yang serba warna putih.

Di sebrangnya. Selaras tubuhnya terbaring, Julian, Kakak yang Ia kira tak akan memperdulikan Yvine, menunggunya di sofa single.

Pria itu bahkan tertidur.

Yvine tak tahu mengapa begini, padahal saat pertama kali bangkit lagi, Dia dengan berani melawan mereka.

Tapi mengapa sekarang? Sekarang Ia bertindak seperti pecundang yang menjijikan?

Kemana jiwa pemberaninya? Mengapa semuanya lenyap begitu saja?

"Udah bangun?"

Julian mendekat ke arahnya. Memberikan tatapan asing yang tak Yvine sukai. Yvine jadi bertanya-tanya.

Sebenarnya, apa salahnya hingga Julian kini bertindak dingin padanya? Itu menyakitinya, apakah Julian tidak paham juga?

"Diem." Tegur Julian saat mwlihat Yvine akan bangun.

Julian duduk di tepi kasur, masih dengan tatapan asingnya. Bibir Yvine bergetar.

"Kenapa? Cia salah?"

Pada akhirnya, Yvine membiarkan dirinya kembali mengemis di bawah kaki Julian.

Julian puas dengan ini.

"Apanya?" Julian makin terlihat dingin.

Yvine menggigit bibir bawahnya gugup. "Cia ... ngga bikin salah kan?"

Tidak ada tanggapan dari Julian kecuali helaan nafas rendah yang membuat Yvine merasa tertekan.

Yvine harusnya mengingatnya, bahwa sekarang Dia harusnya sudah berumur ratusan tahun. Tapi tiap kali Ia bangkit dari regresinya, inti otaknya akan membuatnya menjadi memiliki pikiran dan hati Anak kecil lagi.

Yvine tetap menatap Julian meski takut, bahkan saat Julian hendak berdiri pun, Yvine dengan cepat mencegahnya pergi.

Melarangnya pergi dari hadapannya.

"Cia minta maaf kalo Cia bikin salah ya Kakak?"

Yvine memohon di bawah kendalinya. Menjilat seperti pecundang.

Pray For Glory.

Tidak pada yang membangkitkannya. Tapi pada Julian yang sudah memaku dirinya untuk tetap berada di sana.

Atau bahkan, itu seperti ...

Begging for Glory.

Yvine merendahkan harga dirinya. Pada Pria yang tak Ia ketahui, bahwa Dialah sumber dari segala masalahnya.

Julian puas. Rupanya, tanpa usaha lebih, segalanya bisa di tempatkan dengan benar.

Jadi Julian segera melepas tangan Yvine pada bajunya. Dan beralih memeluknya dengan pikiran yang membara.

Dia hampir- tidak. Dia masih belum puas. Dia akan puas jika yang tersisa hanyalah Dia dan Cia.

Dia harus bekerja lebih banyak lagi. Mengambil segala kemewahan dan harta benda milik Chester untuk di ambil alihkan padanya.

..

"

Sini."

Julian membawa Yvine pada gendongannya. Membawanya duduk santai di atas balkon.

"Its pretty isn't?"

Yvine mengangguk atas pertanyaan Julian. Dia menyandarkan belakang kepalanya pada bahu Julian yang memangkunya.

"Tapi, kita dimana Kak?" Yvine bertanya dengan pelan.

Ini bukan Rumah Chester, setelah berpuluhan kali regresi, Yvine tak pernah kemari.

Semuanya berubah. Skenario yang selalu terulang di setiap kebangkitannya. Kini berubah.

Tentu menjadi sebuah pertimbangan bagi Yvine yang selama ini merasa jalannya tak akan pernah berbelok.

Seolah jalur kereta sengaja di belokkan oleh pengatur. Dan Yvine menjadi penumpang di dalamnya.

"I wanna show you of." Ujar Julian. Dia menghirup wangi tubuh Yvine dari lehernya.

"Tempat yang bagus, dan cocok buat Kamu." Tambahnya.

Yvine berkedip. "Aku?"

Julian mengangguk. "Iya, Kakak sejujurnya kurang nyaman ada di tempat ini, tapi tempat ini cocok buat Yvine, jadi Kakak bakal bawa Yvine kemanapun Yvine akan aman." Kata Julian.

Yvine merasa tersentuh. Terharu akan tindakan nekat Julian. Bagaimana bisa Dia berfikir buruk tentang Julian kemarin? Padahal Julian sudah amat berbaik hati padanya.

Yvine merasa tak tahu diri.

Tangan kecilnya melingkari leher Julian. "Terima kasih Kak." Lirihnya.

Julian tertawa kecil. Menciumi pucuk kepala Yvine dengan senyum lebar dan matanya yang seperti bulan sabit.


..

Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang