..
Keadaannya begitu rumit. Seolah di cintai tapi dengan cara yang salah. Julian membuatnya terlihat seperti boneka dalam lemari, di sini.
Tak bisa pergi kemanapun. Lebih dari itu, Yvine merasa malu dengan dirinya sendiri.
Apa gunanya Dia hidup kembali jika tidak ada yang membuatnya berhasil sampai sekarang.
Atau jujur saja. Bahwa Tujuannya di hidupkan hanyalah sebagai tontonan para pengawas, bagi siapa pun yang berada di balik layar, Yvine membencinya.
Andam karam. Jika ada permintaan yang bisa di kabulkan. Yvine ingin lenyap. Sekaligus, tanpa kembali hidup seperti biasa.
Apa Julian menyukainya di pasung seperti ini.
Yvine ingin menertawakan dirinya sendiri.
"Kak- lepasin Cia."
Suara lirihnya terdengar bagi Julian yang tengah duduk menatapnya seolah Ia adalah pajangan.
Julian tertawa. Maju perlahan. Dan jongkok di depannya.
"We broke you, to own you." Ujarnya seolah itu adalah hal yang romantis.
Dia menopang dagunya dan membuat Yvine menjadi lebih dari hancur.
"You dont know how we love you. Cia." Tambahnya.
"Therefore, we will not let you go."
Julian kembali berdiri dan duduk di sofanya kembali. Dia benar-benar seperti boneka.
Tak ada lagi kata bebas untuknya, memangnya apa jika kakinya sudah busuk seperti itu?
Atau tangannya yang sudah lecet. Katanya Ia pajangan cantik. Julian bahkan tak benar-benar membersihkannya.
Bahkan saat kulit kaki yang di di peluk borgol dengan rantai berat itu mulai terluka. Tak ada penanganan kecuali hanya tatapan senang.
He couldn't breath.
Yvine benar-benar menyerah lagi. Tak bisa menahannya lagi. Apa yang harus Ia lakukan lagi sekarang?
Bisakah Ia mengakhiri hidupnya saja sekarang? Atau meminta tolong pada Julian untuk segera membunuhnya?
Tidak. Itu pilihan yang buruk.
..
Kedua tangannya menahan gagang pisau yang tertuju pada Julian. Di malam hari Dia turun dan merangkak.
Mendekat ke arah Julian ingin menusuknya. Namun tepukan tangan menghentikannya. Dia berdiri di sana. Jauh di ambang pintu.
Hembusan nafasnya kasar. Yvine ingin kabur dari sini segera.
Tapi mereka berdua terus menjebaknya. "You did a good job."
Dia mendekat dan meraih pergelangan tangan Yvine. Melemparkan pisau buah ke lantai.
Wajah Yvine masih pucat.
Julian pun ikut terbangun.
"Did he just tryn to kill me?" Terkekeh melihat Yvine yang tak mau menatapnya.
"Cukup berani."
Julian memeluk Yvine, dwngan Yvine yang menanggapinya dengan tubuh yang kaku. Menghirup wangi Yvine yang selalu Ia sukai.
"Tinggal tusuk aja, gini."
Julian mengambil pisau yang jatuh di lantai dan memaksa Yvine untuk memegangnya. Menuntunnya menusuk paha milik Julian sendiri.
Pupil mata Yvine mengecil.
Tangannya mulai bergetar dan wajahnya memucat. Melihat bagaimana tangannya menusuk meski di paha Julian. Itu membuatnya sadar, Dia lebih dari kata pecundang untuk membunuh Orang.
Melihat bagaimana Julian menusuk pahanya sendiri tanpa menunjukkan bagaimana reaksi sakit.
Kekosongan yang di alaminya, membuat Yvine merasa takut. Apakah hanya dia yang bisa merasakan rasa sakit?
Kala mereka berdua memegang pisau di tangan masing-masing Yvine hanya diam terpaku.
"Stop!"
Perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Julian dan remaja itu tertawa bersama.
Berhasil, kembali memanipulasi Yvine untuk tetap berada di kesadarannya, bahwa apa yang akan di lakukan Yvine. Itu adalah pembodohan.
"Kakak berhenti, kalo Kamu ngga pergi dari Kakak." Julian berujar dengan pelan.
Yvine mengangguk kaku. Julian mendekat lagi dengan darah yang berceceran di atas sprei.
"Kakak berhenti, kalo Kamu ngga pergi dari sini."
Yvine kembali mengangguk. Mengiyakan keinginan mereka berdua yang akan terus menahannya.
Mungkin sama Ia wafat nanti.
..
KAMU SEDANG MEMBACA
Pray For Glory
Random'I've been woken up, for many times ... Breaking of the first silent, in that time.' -english isn't my first language, I apologize if i typed it wrong later on. -Tidak di peruntukan bagi yang masih di bawah umur. Bijak dalam mencari buku yang akan...