16.

841 102 23
                                    


..

Julian mematikan rokoknya. Menekan ujungnya pada asbak yang sudah tersedia di sana.

"Mau ke mana?"

Tegur Sean saat melihat Julian berlalu pergi. Sedangkan Julian sendiri tak menjawab, meninggalkan mereka tanpa suara.

Di bukanya pintu, Julian mengamatinya yang rupanya itu terkunci. Pantas saja kucingnya terlihat panik. Rupanya ada yang ingin bermain-main dengan peliharaannya.

Julian memutar kunci dan membuka pintunya. Wajah Yvine sudah memutih, dan suhunya sudah sangat berbahaya.

Bibirnya membiru dan bulu matanya sudah tak bergerak.

Julian hanya ingin, Yvine bergantung padanya.

Hanya padanya.

Dia ingin Yvine selalu menatapnya, tanpa sedikitpun memikirkan Orang lain. Dia tak ingin Yvine, berfikir bahwa ada Orang lain yang akan perduli padanya.

Mungkin Dia harus sedikit lebih lama lagi bermain dengan Yvine, untuk membuat Anak itu makin merasa bahwa hanya dirinya lah yang dapat menjadi penopangnya.

Hingga Dia tak akan bisa lepas darinya.

Di balik udara dingin, Julian dengan perlahan mengangkat tubuh Yvine untuk di bawa ke kamar, kaki panjangnya menendang kursi roda milik Yvine, meninggalkannya di halaman Rumah yang sudah mulai tertimbun salju.

Sean dan Jesse menatapnya penuh penasaran. Tapi Julian menutup wajah Yvine, menempatkannya di bahu Julian.

"Lo ngga cukup matahin kaki Cia, Lo bunuh Cyrus juga?"

Lucius di belakangnya. Berdiri dengan tatapan sengit yang di layangkan padanya.

"Maksud Lo?" Heran Julian.

Siapa yang Adiknya itu tengah ajak bicara? Lucius berdecak. Dia menutup pintu saat Julian telah menempatkan Yvine di ranjangnya.

"Elo." Telapak tangan Lucius mendorong bahu Julian.

Julian pun tak dapat menjawab apa-apa. Yakini bahwa dirinya tak paham apa yang di maksud oleh Lucius.

"Be honest, Lu kan yang bunuh Cyrus?"

Julian mengangkat tangannya. Meraih kerah leher Lucius dengan wajah dingin.

"Gue ngga punya masalah sama si Cyrus, yang harus ngebuat gue ngangkat jari buat bunuh pecundang kaya Dia."

Lucius memerah. Lehernya tercekik sulit bernafas. Dia menahan cengkraman Julian yang makin erat.

"Yah, meskipun Gue awalnya emang mau matahin kaki Cia, tapi kan gue belom." Bisik Julian menekan.

Julian meraih kaki dingin Yvine. "Lagi pula, lo pikir? gue bego bakal matahin kaki Dia bahkan saat gue, ngga kasih dia drugs, hah?"

Julian terkikik. Melihat mimik tak percaya yang terpampang di wajah Lucius.

"Keluar sekarang." Julian mendorong Lucius dengan keras. Dan membiarkan adiknya itu berbebas ria mencari siapa pelaku utama atas segala kekacauan yang terjadi di Rumah ini.

..

Okta duduk manis di bangku taman saat malam datang. Semilir angin mengibaskan helaian rambutnya layaknya benang layangan.

Kamar Yvine terlihat jelas dari taman. Okta sengaja karna memang niatnya ingin mengamati Julian.

"Lo tau."

Tiba-tiba saja suasana manisnya berubah menjadi buruk. Mood Okta turun. Dan Dia ingin segera pergi dari sana setelah mendengar suara Nina.

"Kalo gue jadi Lo sih, mending singkirin dulu batunya."

Suara kecilnya sampai pada telinganya. Hingga Okta diam-diam memikirkan apa maksud Nina.

"Lo tau kan, Julian pasti bakal pindah haluan ke elo. Kalo Lo bisa nyingkirin batunya." Tambah Nina makin membuat Okta bimbang.

Okta tentu paham siapa yang di maksud batu. Julian memang sudah jarang melaksanakan hobi terdahulunya.

Dari pada itu, Pria idamannya sekarang malah membagi kasih sayang terhadap Anak kecil yang Okta bahkan tak tahu berasal dari mana.

Akankah dari panti asuhan?

Ataukah jalanan.

Tapi Okta segera pergi dari sana. Menjauhi Nina yang sekarang menyilangkan kedua tangannya.

Menatap jendela di mana siluet Julian tengah memegangi ponsel memunggungi jendela.

Matanya, menunjukkan keserakahan. Nina tak seharusnya mengujarkan kata itu pada Okta, yang bahkan Nina tahu sendiri. Okta pasti akan melakukannya.

Perempuan bodoh yang tergila-gila dengan buta.

Usaha Nina mempengaruhi Okta juga tak sia-sia. Sekarang Okta tengah menekan garpunya akibat rasa panas, yang di akibatkan dari alasan yang baru saja Dia dengar dari pelayan.

Katanya. "Mas Juliannya, mau makan di kamar Cia aja katanya, Non." Pelayan itu menjelaskan pada Lily

Lily juga hanya mengangguk paham tanpa protes atau merasa heran.

Okta yang sudah berdandan sedari pagi buta itu pun merasa sia-sia saja. Bagaimana bisa, Julian memilih makan di kamar dengan Anak kecil. Ketimbang bertemu dirinya.

"Udah gue bilang. Singkirin dulu batunya." Bisik Nina.

Wajahnya amat puas melihat Okta yang terlihat kesal dan marah. Nina tertawa dalam batinnya.

Mata Okta bahkan menajam dan memotong steak secara berantakan.

Redd mendentingkan garpu dan pisaunya. Okta menelan salivanya gugup. Menatap Redd takut-takut.

Ayahnya itu, sekarang tengah melemparkan tatapan kesalnya pada Okta yang bertindak tak sesuai apa yang di ajarkan tentang table manner.

..

Kini tinggal satu lagi, kaki yang belum patah. Julian merasa Yvine sudah membaik, tubuhnya tak sedingin saat pertama kali Anak itu di temukan.

Julian tengah berada di jalanan. Di jam 3 pagi ini, Dia keluar dari Rumah membawa mobil, dan Yvine di dalamnya.

Tujuannya ke gedung yang sedikit jauh dari pemukiman, Apartemen mewah miliknya, hadiah dari uang yang Chester dan Timothy berikan padanya.

Tangannya mengendalikan stir mobil dengan licah. Dan tak lama dari itu, ketika sampai pada tujuannya. Dia berhenti di basement.

Julian memasukan satu pil kecil ke dalam mulut sendiri. Dan mengangkat jarinya untuk membuka mulut kecil Yvine.

Wajah Julian mendekat. Dan ketika wajah mereka sudah berhadapan. Julian mendorong pil dalam mulutnya dengan lidah ke dalam mulut Yvine.

Julian juga tak lupa menaruh air mineral ke dalam mulutnya, dan kembali memberikannya pada Yvine yang sekarang masih tak sadarkan diri.

Tangannya meraba kaki Yvine. Dan semuanya segera terjadi, dengan begitu mudah.


..

Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang