13.

842 100 18
                                    


..



Tidak ada waktu untuk berduka. Bahkan untuk sekedar penghormatan pada jenazah pun terjadi begitu singkat.

Yvine memaksa ikut ke Rumah duka. Hotel tempat di mana jenazah akan di kremasi.

Sejujurnya, mayat itu sudah tak layak. Namun tak mungkin bagi keluarga Chester untuk mendiamkannya begitu saja. Yang ada namanya akan buruk di situs tinggi.

Yvine duduk di kursi roda. Dengan pakaian serba hitamnya yang membuatnya terlihat suram, ada syal hitam di pangkuannya. Julian memberikannya sesaat sebelum remaja itu berdiri di depannya.

Kaki Yvine masih bengkak. Dan masih sakit. Namun Yvine bersandiwara dengan amat baik, menutupinya dengan tanpa ekspresi.

Nova terlihat berantakan. Sedangkan Lily hanya mengusapi bahu Nova terus menerus.

Segala omong kosong yang Cyrus lemparkan padanya 2 hari yang lalu, tertelan dengan wujud pengabulan.

Keinginannya supaya Yvine enyah di pandangannya. Perkataan kasarnya di depan banyak Orang segera terkabul.

Lucius tak berminat untuk menghadiri acara ini. Dia benar-benar tak menyukainya.

Abu Cyrus terkumpul, dan di satukan di guci kecil berwarna merah.

Di serahkan pada Nova yang wajahnya sudah terlihat kelelahan. Wajar saja, wanita itu mungkin amat menyayangi putranya itu.

"Bagaimana menurutmu Cia?" Kursinya di dorong keluar ruangan. Meninggalkan para anggota keluarga.

Itu Julian, berbisik di samping telinganya. Apa maksud Pria itu? Yvine tak paham.

"Kamu ngga akan di sakitin lagi." Jelasnya. Julian tetap mendorong kursinya. Meskipun dengan pelan.

"Maksud Kakak?"

Julian menatap Yvine. Lalu mengendikkan bahunya. "Maksud Kakak apa? Kakak ngga tau tuh."

Jawaban Julian malah membuatnya terdengar aneh. Yvine merasa ada yang janggal di balik semua ini.

..

"Menurut Lo, siapa yang bunuh Cyrus?"  Tanya Sean.

Menebak-nebak alasan mengapa Cyrus di temukan dengan keadaan mengenaskan.

"Gatau lah." Jawab Lucius sewot.

Sean menyandarkan punggungnya di sofa. Memperhatikan jarum jam yang terus bergerak maju dengan takaran pas.

"Grandpa ... apa punya musuh yang sebahaya ini?" Tanya Sean kembali.

Lucius meminum air putih di gelasnya. Di tangan kirinya terdapat jeli yang sedari tadi Ia makan.

"Kalo iya, kita bakal jadi target selanjutnya ngga sih?" Balas Lucius sembari terkekeh.

"Gue ngga mau mati cepet." Jelas Lucius. Dia ikut duduk di samping Sean.

"Lah, lu pikir lu doang?" Sean memejamkan matanya.

"Ngeliat kondisi Cyrus, gue yakin. Ini bukan hal sepele."

Lucius menghela nafas. "Siapa aja yang liat mayatnya juga tau, Sean."

Mereka berdua terdiam. Tak lama kemudian pintu masuk di buka. Di sana berdiri Jesse dengan jaket jeans di lengannya.

"Dari mana?" Tanya Lucius basa-basi.

Antara Jesse dan Cyrus, keduanya cukup dekat, hingga Lucius pun sadar, Jesse mungkin tengah bersedih kali ini.

Di tambah Cia yang kakinya masih belum juga lebih baik.

Kantung mata mengitam itu menggambarkan betapa lelahnya Jesse tak bisa tidur.

"Gue ... belum sempet minta maaf sama Cyrus." Suara Jesse mengudara, sedikit bergetar.

Dia menunduk dan menatap lantai dengan kosong.

"Siang itu, gue berantem sama Dia-"

"Karna masalah Cia dan kalian berantem. Lo nyesel karna ngga sempet minta maaf dan mau nyalahin Cia sekarang?" Potong Lucius.

Wajah Jesse memerah. Dia tak mampu berkata-kata lagi. Matanya berkaca-kaca. Sebentar lagi akan tumpah jika mengeluarkan satu huruf pun dari dalam mulutnya.

"Gue- gue ngga bermaksud." Kepala Jesse menggeleng lemah.

Kedua tangannya menutup wajah basahnya. Jesse mulai menangis dengan diam. Yang anehnya terasa lebih menyakitkan.

Meskipun Cyrus amat membenci Yvine, Jesse tak bisa membawa perasaanya untuk ikut membenci Anak itu. Jesse paham bahwa Anak itu, tak memiliki kesalahan yang harus di benci dengan amat sangat oleh Cyrus.

Mereka berdua tumbuh besar bersama. Menghabiskan banyak waktu meskipun hanya saling diam.

Tapi kenangan itu cukup membawa Jesse mengenang Cyrus dalam hidupnya.

"Terus?" Suara Sean menggantung.

Jesse menunduk, dan bangkit dari duduknya.

"Gue mau ke kamar." Izinnya.

Lucius dan Sean saling pandang, mengendikkan bahunya acuh saat Jesse sudah berlalu.

Langkahnya gontai. Yvine sudah berada di rumah. Akan di rawat dengan mandiri.

Meskipun akan di periksa secara berkala oleh petugas Rumah sakit yang akan berkunjung beberapa kali dalam satu bulan ke depan.

Ketika tubuhnya melewati kamar Yvine. Dia berhenti dan berdiri menghadap ke kamar dengan pintunya yang terbuka.

Di sana terdapat Yvine yang tertidur di atas kursi tanpa ada yang memindahkan.

Dia maju meski dengan sedikit ragu. Jesse menyampirkan jaket di dinding kamar Yvine.

Tangan berototnya membawa Yvine ke dalam dekapannya, dan memindahkannya secara perlahan di atas ranjang.

Jesse menghela nafas pelan setelah berhasil mendaratkan Yvine dengan perlahan.

T

angannya terangkat, mengusap helaian rambut Yvine yang berantakan.

Pandangannya turun. Menatap kaki Yvine yang terbungkus kain perban.

Jesse merasa tak berguna. Yvine sakit. Dan Cyrus meninggal. Siapa yang harus Dia salahkan kecuali dirinya sendiri?

Jarinya mengusap kain itu dan tanpa sadar menekannya.

Dia yang terkejut tentu panik. Jesse mundur dengan nafas yang berat. Menatap tangannya sendiri.

'Ada apa denganku?' Mungkin begitu yang ada di pikirannya, terlihat dari raut wajahnya.

Beruntung sekali, Yvine tak sadar dan tak terkejut atau kesakitan.

Julian berada di balik kamar mandi. Sejujurnya tak bisa di tebak siapa yang datang jika wangi parfum Jesse tak mnguar.

Apa yang di lakukan Anak itu pada Yvine?

..

Pray For GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang