..
Entah di mulai dari mana. Setelah sekian lama berada di Rumah ini bersama Julian. Yvine merasa tubuhnya lebih sering sakit.
Dan seolah luka di kakinya tak pernah membaik. Jadi Dia selalu mengenakan kursi roda kemanapun Dia ingin pergi di Rumah ini, kecuali jika ada Julian du kediaman, maka tubuh kecilnya akan di ambil alih dan di angkat kemanapun Julian akan pergi.
Yvine, setelah sekian lama berfikir, penasaran, bagaimana imun tubuhnya seolah makin rendah, dan menjadi terlalu berlebihan kadar pusingnya.
Dan yang lebih membingungkan lagi, kakinya mati rasa. Apa Ia lumpuh?
"Ngapain."
Teguran itu mengejutkan Julian yang tiba-tiba sudah berada di belakang sofa tempatnya duduk.
"Ngapain?"
Yvine menggeleng. "Ngga ngapa-ngapain." Balasnya sembari tersenyum kecil.
Mengikuti pergerakan Julian yang duduk di sebelahnya. "Cia mau jalan-jalan?" Tanya Julian.
Yvine terdiam. Melihat kondisinya yang tak memungkinkan, itu cukup membuatnya khawatir bagaimana jika nanti Ia malah merepotkan Julian.
Tapi bahkan Julian terus memasang senyum manisnya. "Ayo, mau ke mana?"
"Ngga kemana-mana, Cia mau di sini aja." Balasnya lirih.
Sekarang, Yvine tak pernah merasa antusias tentang apapun yang kiranya, seharusnya membuatnya senang.
Tapi alasan apa yang membuat Yvine menjadi lebih malas akhir-akhir ini?
Seolah ada salah satu saraf otaknya, menyuruhnya untuk tetap berada di sini selamanya.
Tanpa keluar, menghirup udara segar, atau menatap matahari secara langsung.
Andai saja segalanya bisa di lakukan dengan mudah. Menentang rasa malasnya, mungkin Yvine akan dengan senang hati menyambut senyum Julian.
..
Sekarang Dia terjebak dalam keraguan, andai saja Dia tak melihat bagaimana Julian memutus semua kabel internet dan telepon Rumah, mungkin Dia akan dengan patuh menuruti bagaimana cara Julian menuturkan kata.Tapi apa lagi selain yang bisa Ia lakukan selain diam di sini? Di saat kursi rodanya di hilangkan.
Segala akses yang dapat membawanya keluar hanyalah jendela jika saja Ia ingin mati dan tak melihat dunia lagi.
"Halo."
Kehadiran pria di depannya membuatnya tak karuan. Pelaku pembunuhan Cyrus dan patahnya kaki Yvine.
Yvine tak tahu harus bagaimana. Dia tak bisa menggerakkan apapun saat tangan kanannya di rantai bersama kedua kakinya.
Tak ada lagi gairah hidup.
Andai saja segalanya berubah dalam sekejap. Yvine mungkin ingin pergi dari sini.
"Terus gimana lu bunuh si Cyrusnya?" Tanya Julian mendekat ke arahnya.
Dia merebahkan tubuhnya. Mengandalkan paha kecil Yvine sebagai bantalan kepalanya.
Mata Yvine yang memejam membuat Dia terkekeh. Dia angkat tangannya dan mengusap pipi Yvine dengan lembut.
"Kok Cia kaya takut ya sama gue?" Dia berujar dengan santai.
Julian mendengus. "Terus yang matahin kaki Cia juga elu?" Dia mengangguk. Beralih mengusap kaki kanan Yvine dan mengecupnya.
"Iya."
"Kenapa?"
Dia mengendikkan bahunya. "Pengen aja."
Dia bangkit dan duduk mendekat ke arah Yvine. Menyenderkan kepalanya pada kelapa kecil Anak itu.
Mengecupnya dengan tak tahu malu."Gue niatnya mau diem-diem aja sih. Eh si Cyrus liat, ya gue ngga punya pilihan lain selain bunuh dia." Tambahnya.
"Kenapa harus di kulitin?"
Dia memandang wajah Yvine. "Cyrus sering marahin Cia di depan umum.
"Cia mungkin malu, sebagai gantinya. Gue kulitin aja dia."
"Alesan lain?"
Dia mengernyitkan dahinya. "Ya pengen aja, ngapa sih lu berisik banget."
"Pake tangan lu sendiri tapi?" Tanya Julian memastikan.
Dia mengangguk. "Yah, gue ngga suka tekstur kulitnya sih, tapi ngga papa lah." Dia tak mengalihkan pandangannya pada Yvine.
"Asal Dia ngga ganggu dan ngga kebanyakan omong, gue ngga masalah."
Julian mengangguk paham. "Lo ngga keliatan sedih."
Dia mengusap ujung matanya. Dan pura-pura sedih. "Gue sedih tau aslinya."
Kedua tangannya kembali memeluk Yvine dengan erat. "Kamu di sini aja. Sama kita." Bisiknya.
"Mereka tau Lo kesini?"
Dia menggeleng atas pertanyaan Julian.
"Mau gue kasih tau mereka?" Katanya, sembari tertawa kecil.
"Silahkan aja. Kaya mereka bakal peduli aja sama Cia."
Lalu membawa Yvine kembali untuk merebahkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar.
Tubuhnya gemetar. Dia ingin menangis tapi sangat sulit. Tenggorokkannya kering dan menghambat cara otaknya bekerja.
Kenapa sedari awal Dia percaya pada mereka? Kenapa Yvine sekarang begitu amat naif?
Apa Yvine telah kehilangan segala pola pikirnya? Apakah Yvine tak dapat mengajak kerja sama otaknya?
"Zynecia ... Kamu ngga bakal bisa keluar dari sini." Dia kembali berbisik.
Dia mengangkat kepalanya dan mengintip wajah Yvine yang sudah memucat.
"Tapi kalo Mati, kita mungkin masih bisa ketemu di mimpi. Ya kan?"
..
Sedangkan di sisi lain, Jordan pusing dengan keadaan sekarang.
"Kamu udah nemuin di mananya Jordan?" Jordan menggeleng.
"Semuanya ilang tan, Ma. Semua koneksinya ngga nyambung ke sana."
Jordan menggigit ibu jarinya sampai berdarah-darah.
Dia merutuki diri. Kemana semua Orang pergi. Kenapa tidak ada satupun yang hadir di hadapannya?
Kemana adik-adiknya? Kemana semua para pria yang ada di sini pergi jua?
Mengapa semua Orang menghilang kecuali mereka bertiga?
..
KAMU SEDANG MEMBACA
Pray For Glory
Random'I've been woken up, for many times ... Breaking of the first silent, in that time.' -english isn't my first language, I apologize if i typed it wrong later on. -Tidak di peruntukan bagi yang masih di bawah umur. Bijak dalam mencari buku yang akan...