Bab 12

2.3K 210 8
                                    

Happy reading, semoga suka.

Ebook lengkap sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa. Bab perbab bisa diview di Karyakarsa.

 Bab perbab bisa diview di Karyakarsa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luv,

Carmen

_____________________________________________________________________________

Selama beberapa hari pria itu tidak pernah mendatanginya hingga Reina mulai was-was, apakah pria itu telah melupakan keberadaannya? Apakah makanan dan minuman yang diantarkan padanya akan berhenti sewaktu-waktu? Apakah sikap pria itu yang terlihat melunak hanyalah kepura-puraan semata dan dia bertekad menghukum Reina dengan meninggalkannya untuk mati pelan-pelan?

Beribu pikiran buruk mengisi benak Reina tapi ia berusaha menenangkan dirinya. Tidak ada gunanya menerka dan menyiksa diri. Makanan masih diantarkan padanya, Reina masih belum mati kedinginan, kamar ini masih cukup hangat dengan perapian yang selalu hidup, ia belum kekurangan apapun. Jika ia terlalu mencemaskan hal-hal yang belum terjadi, itu hanya akan membuatnya semakin menderita.

Dan besoknya, Reina mendapatkan jawaban yang selama ini membuatnya gundah. Pria itu ternyata tidak melupakannya. Atau dia tidak akan menyuruh pelayan untuk mengantarkan gaun-gaun padanya. Reina merasa canggung juga malu saat para pelayan membantunya mandi lalu berpakaian. Tapi merasakan lembutnya kain itu memeluk tubuhnya membuat Reina merasa jauh lebih baik. Jauh... jauh lebih baik daripada bertelanjang.

Malamnya, tak lama setelah makan malam, Reina sudah bersiap. Ia bisa menduga kalau pria itu pasti akan datang. Reina sudah membulatkan tekadnya. Pria itu sudah memberitahunya apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan kepercayaannya dan Reina harus bisa mendapatkan hal itu. Tapi saat pintu terbuka dan pria itu melangkah masuk, tak pelak Reina merasa keberaniannya sejenak luntur. Ia bergeming di tengah kamar saat pria itu masuk dalam diam lalu duduk di tepi ranjang. Alis pria itu terangkat menatap Reina, tapi dia tidak mengatakan apapun.

Rasanya seperti selamanya sebelum pria itu akhirnya membuka mulut, mengejutkan Reina yang sedang berdiri di tengah kamar itu.

"Sampai kapan kau ingin berdiri di situ?"

Ia terlonjak pelan, wajahnya langsung terasa terbakar saat menangkap cara pria itu menatapnya. "My... My Lord?" tanyanya tercekat.

"Kemarilah, tunjukkan padaku seberapa besarnya kau ingin keluar dari kamar menara ini, Reina. Yakinkan aku."

Reina menarik napasnya sekali sebelum menurut dan mulai melangkah pelan. Saat berdiri di depan pria itu, ia bingung sejenak, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Apa yang harus dilakukan oleh seorang wanita di situasi seperti ini?

Senyum melekuk di bibir pria itu dan Reina berusaha untuk tidak berpikir bahwa pria itu tampak sangat tampan saat tersenyum seperti itu.

"So?"

"Ak... aku tidak tahu harus melakukan..." Reina merasa wajahnya kian terbakar.

Pria itu tertawa lembut.

"So sweet, so innoncent."

Kini, bukan hanya wajahnya, tapi Reina merasa seluruh tubuhnya terasa terbakar.

"Mulailah dengan melepaskan pakaianmu, Reina."

Respon pertama Reina adalah menolak. Tapi ia teringat perjanjian yang dibuatnya dengan pria itu. Maka dengan pelan, Reina melepaskan gaunnya di hadapan pria itu. Tangan-tangannya bergerak untuk menutup tubuh telanjang walaupun sebenarnya tidak ada bagian dari dirinya yang belum dilihat pria itu, tapi entah kenapa, perasaan canggung itu memenuhi Reina. Terdengar decakan pelan dan pria itu menatap Reina geli.

"Really, Reina?" ujar pria itu. "Turunkan tanganmu, biarkan aku melihatmu dengan jelas. Kali ini tanpa perlawanan, tanpa penolakan."

Reina menurunkan tangannya dan berdiri canggung di depan pria itu. Baru kali ini ia berdiri diam di hadapan pria itu dan membiarkan Garrick Altreides memuaskan pandangannya. Pria itu mendesah pelan sekali. "Memang cantik, Reina. Kau memiliki tubuh seindah dewi. Sekarang berbaliklah."

Reina kembali patuh. Ia berbalik dan berdiri diam. Lalu ketegangan memenuhinya tatkala ia merasakan gerakan di belakangnya. Rupanya Garrick sudah berdiri dan kini berdiri begitu dekat dengannya. Ia bisa merasakan panas napas pria itu yang sedang membelainya. Napas Reina bergetar saat merasakan telapak pria itu yang menyingkirkan rambut-rambutnya.

"So beautiful," puji pria itu lalu mengecup pundak Reina.

Ia mendesis lembut.

Saat telapak pria itu bergerak di sepanjang tulang punggungnya, Reina bahkan tak berani bernapas. Ia menggigit bibirnya pelan ketika telapak itu terus turun ke bokongnya lalu meremas lembut. Napas Reina terkesiap keras saat pria itu tiba-tiba memeluknya dari belakang, menempelkan mulut panasnya di sisi leher Reina sementara tangan-tangannya naik untuk meremas dada Reina.

"Ah..."

"Tubuhmu membuatku tergila-gila, Reina. Aku tidak bisa berhenti menginginkanmu."

Reina mendesah saat pria itu menggoda puncak-puncaknya dan meremasnya berirama sambil mengisap sisi leher Reina sehingga ia merintih pedih.

"Berbalik," perintah pria itu saat menjauhkan bibir dan tangannya.

Reina kembali menurut.

"Tatap aku."

Lagi-lagi, Reina menurut.

"Kiss me, Reina."

Sejenak, Reina kembali bergeming. Mencium pria itu? Sebelum Reina sempat melakukan apapun, pria itu langsung meraih pinggangnya dan mengangkat Reina. Pria itu berbisik di bibirnya sebelum melumat keras bibir Reina.

"Seperti ini."

Ciuman pria itu nyaris membuatnya melayang. Lidahnya menggoda dan merayu Reina sehingga ia mulai merasa pusing. Ia merasa pria itu menurunkannya lalu tak lama, mulut pria itu menempel di puncak dadanya.

Lalu pria itu kembali membalikkannya dan mendorong Reina ke dinding dan memberi perintah lain dengan suara beratnya yang terdengar kasar.

"Letakkan tangan-tanganmu ke dinding."

Reina kembali mematuhi perintah pria itu.

"Ya, seperti itu, Reina."

Ia melenguh pelan saat pria itu menekan punggungnya agar turun dan menarik bokongnya ke arah pria itu. Garrick kemudian berbisik agar Reina melebarkan kedua kakinya, membungkuk dengan posisi yang diinginkan pria itu. Reina mematuhinya, melakukan semua yang diinginkan oleh Garrick. Ia merintih hebat saat dalam satu gerakan panjang, pria itu kemudian menghunjam ke dalam dirinya.

"Argh!"

Setelahnya, Reina merasa seperti berada dalam pusaran badai yang hebat. Ia mengerang hebat saat pria itu mulai bergerak kuat di dalam dirinya. Kakinya terasa lumpuh saat pria itu akhirnya menarik dirinya. Reina nyaris tidak bisa menopang tubuhnya dan menyandarkan berat tubuhnya pada dinding dingin itu.

"Mulai sekarang, kau bebas untuk ke manapun di dalam kastil ini, Reina."

Ia masih memproses ucapan pria itu saat Garrick mulai melangkah keluar. Dan ketika Reina mengangkat wajah, ia melihat pintu kamarnya dibiarkan terbuka secelah. Kali ini, pria itu menepati janjinya. Dia tidak mengunci Reina.

Luruh oleh rasa lega, Reina lalu terjatuh ke lantai. Dan air mata lega kemudian memenuhi kedua matanya.

Syukurlah...

The Devil's RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang