Bab 6A

2.7K 214 9
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca cepat, boleh silakan ke Karyakarsa, sudah update sampai bab 22 ya.

Yang mau baca cepat, boleh silakan ke Karyakarsa, sudah update sampai bab 22 ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Enjoy

Luv,

Carmen

____________________________________________________________________________

Reina menyerah untuk mencoba membuka gembok yang mengunci jendela dengan salah satu sendok yang tidak sengaja ditinggalkan oleh salah satu pelayan. Tidak ada gunanya, ia hanya akan menyia-nyiakan waktu dan tenaganya. Seandainya pun ia bisa membuka paksa jendela ini, ia juga tidak mungkin memanjat turun dari menara ini dan tidak mungkin juga ia bisa memanjat turun tanpa membuat dirinya sendiri ketahuan. Apapun itu, ide untuk kabur dari jendela terlihat tidak menjanjikan. Reina sebaiknya mencari jalan lain.

Pikirannya kemudian beralih kepada para pelayan. Ia memperhatikan ada dua pelayan yang selalu memasuki kamar ini. Biasanya di pagi dan siang hari, makanannya diantar oleh seorang wanita tua, dia juga yang membantu Reina membersihkan tubuhnya. Di sore hari, biasanya seorang gadis muda yang akan mengantarkan makanannya. Walaupun seorang wanita tua mungkin lebih mudah dihadapi tapi Reina berpikir untuk menyamar menjadi gadis muda itu dan keluar dari tempat ini.

Jadi ketika langit berubah gelap, Reina menunggu dengan gugup di balik pintu. Saat ia mendengar gerendel pintu yang ditarik membuka, ia tahu kesempatannya sudah tiba. Jantungnya terasa meloncat ke tenggorokannya ketika pintu berderit membuka dan senampan makanan muncul di ambang pintu. Ia menunggu sampai gadis muda itu menjulurkan tubuhnya untuk meletakkan nampan tersebut di meja di samping pintu, seperti yang biasa dia lakukan, punggungnya akan menghadap Reina dan sama sekali tidak sadar bahwa Reina akan menunggu di belakangnya. Saat itulah ia akan menyerang gadis muda itu, menjatuhkannya hingga pingsan lalu mereka akan bertukar tempat. Kedengarannya cukup menjanjikan. Reina bisa melakukannya.

Hanya saja, bukan pelayan yang masuk dan menendang pintu itu hingga tertutup. Tapi sepasang kaki kuat. Reina membeku terkejut saat menatap mata abu dingin yang sedang memandangnya lekat, menatap Reina yang telanjang dan ketakutan, sambil memegang tempat lilin berat itu di atas kepalanya, dalam posisi siap menyerang. Mata Reina melebar dalam rasa horor yang dalam dan tubuhnya membatu tak bergerak.

Pria itu tidak mengatakan apapun. Hanya berbalik pelan dan meletakkan nampan itu di meja biasanya sementara Reina memeluk tempat lilin itu di dadanya yang kini berdentum hebat. Ketika pria itu dengan pelan berbalik menatapnya, dia dengan mudah mengambil tempat lilin itu dari jari-jari Reina yang tegang lalu pria itu melemparkannya dengan sembarangan ke lantai, menimbulkan suara keras yang membuat Reina terperanjat pelan. Lalu pria itu berdiri menjulang di hadapan Reina, kesunyian mengisi jarak di antara mereka saat pria itu menunduk untuk menatap Reina, sepasang mata abunya melekat posesif di wajah Reina dan membuat seluruh bulu kuduk Reina berdiri.

Ia terkesiap saat pria itu mengangkatnya lalu memanggulnya di pundak seolah Reina hanyalah sekarung sayuran. Reina begitu ketakutan sehingga tidak berani membuat suara apapun saat pria itu berjalan menyusuri lorong kastil itu, melewati penjaga-penjaga yang sama sekali bergeming. Rasanya seperti selamanya sebelum pria itu kemudian berhenti di depan sebuah pintu berat. Ia mendengar bunyi kunci yang diputar, bunyi gembok yang berat lalu pintu itu didorong terbuka dengan kaki-kaki kuat.

Reina sempat melihat tangga curam sebelum pria itu masuk dan menutup pintu hingga mereka sepenuhnya berada dalam kegelapan. Lalu dengan pelan dia turun, menggunakan bahunya untuk membimbing dan menjaga keseimbangan.

Tangis teredam lolos dari mulut Reina saat pria itu mencapai dasar tangga. Gerakan pria itu menjadi lebih pelan seolah dia sedang mencoba mencari arah dalam gelap. Reina memekik kecil saat pria itu menurunkannya dari bahu dan meletakkan Reina di atas permukaan yang dingin, mungkin meja dari batu, sesuatu yang keras dan kokoh dan ia bergidik pelan.

Ia merasakan gerakan pria itu di sebelahnya, lalu saat mendengar langkah kaki pria itu yang menjauh dan menaiki tangga batu itu lagi, Reina seketika panik. Pria itu akan meninggalkannya sendirian di sini!

"Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri, My Lord!" isak Reina.

"Diam!"

Ia terdiam takut dan kemudian mendengar pintu terbuka lalu tertutup kembali, meninggalkan gema suara pintu yang terbanting menutup dalam kegelapan tak berujung itu. Di mana ini? Ruang bawah tanah? Apa pria itu akan meninggalkannya di sini untuk mati? Pikiran mengerikan itu membuat Reina nyaris muntah. Pria itu memang binatang! Benar-benar tidak memiliki hati dan perasaan! Lebih buruk dari binatang liar!

Reina merutuk di dalam hati sambil bergelung seperti bayi di atas permukaan dingin itu, tidak berani bergerak karena tidak tahu apa yang mungkin akan ditemuinya. Ia berbaring diam sambil menenangkan napas dan pikirannya sendiri. Entah berapa lama sebelum akhirnya pria itu kembali. Tak pernah Reina selega ini. Ia menghapus air matanya cepat dan melihat pria itu turun dari tangga curam tersebut sambil membawa obor api. Reina bergegas duduk saat cahaya itu menerangi ruang yang sepertinya merupakan kamar kecil dan saat ia melihat sekeliling, rasa takutnya semakin bertambah.

Seumur hidupnya, Reina tidak pernah setakut ini. Mata hijaunya melebar ngeri saat ia menatap kamar berdinding batu dan tanpa jendela itu. Senjata-senjata tajam dalam berbagai bentuk, tali-temali, cambuk dalam berbagai ukuran, alat-alat penyiksaan mengerikan lainnya yang tergantung berjejer di dinding ruangan tersebut. Rasanya napas Reina tercekat di tenggorokannya dan matanya melirik pria itu dengan tatapan horor.

"Oh tidak," kesiap Reina ketika menyadari bahwa ia berbaring di atas meja dengan empat borgol di sudutnya. Ia berusaha menjauhkan dirinya sejauh mungkin, bergeser ke tengah meja itu sambil menutupi tubuhnya.

Pria itu tidak memedulikannya saat dia meletakkan obor itu di braket logam di dinding kemudian dia bergerak dan berdiri di hadapan alat-alat mengerikan itu. Kedua kaki kuatnya terentang lebar sementara tangan-tangannya berada di pinggul. Reina melihat pria itu mengambil gelang borgol dari kulit, sesuatu seperti syal wol hitam lalu berbalik memandangi Reina, tatapannya membuat Reina menciut.

"Kemarilah," perintahnya, mengirimkan lebih banyak rasa takut dalam nada tersebut dan membuat sepanjang tulang punggung Reina bergetar.

Reina tidak bergerak, anggota tubuhnya terasa lumpuh oleh rasa takut dan ia melihat pria itu berjalan mendekatinya. Pria itu melemparkan barang-barang itu ke atas meja lalu mencengkeram lengan atas Reina saat ia berusaha menjauhkan diri. Reina tersentak saat pria itu dengan mudah mengangkatnya dari meja dan membawanya hingga tubuhnya menabrak dada keras pria itu.

"Jangan coba-coba," peringat pria itu sambil menekankan tubuh Reina padanya. "Semakin keras kau berusah melawanku, ini akan semakin sulit bagimu, Reina."

Satu telapak besar pria itu turun untuk menekan perutnya lalu bergerak ke antara kedua kaki Reina, menyentuhnya tepat di tengah tubuhnya. "Ini adalah milikku, Reina. Kau adalah milikku. Jangan pernah menyangkalnya."

The Devil's RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang