Rindu yang akhir-akhir ini selalu hadir, selalu membuat Ceisya diam melamun. Membuat ia lebih banyak murung.
Bahkan kadang, rasa rindu itu kian pekat sampai dia sulit tidur. Bayangan Sakala juga aroma tubuh pria itu, membuat dia diam-diam sering menangis. Dia sangat merindukan pria itu. Sangat ingin menghirup aroma tubuh itu. Bahkan karena terlalu merindukan pria itu, sering kali Ceisya terbangun di tengah malam dan mencari keberadaan Sakala. Sampai keadaan kembali menyadarkannya. Kembali membuatnya sadar di mana kini ia berada.
Mereka tidak lagi bersama, dan entah sampai kapan. Lebih parahnya lagi, dia bahkan tidak tahu apakah mereka bisa bertemu lagi atau tidak.
Papanya bahkan sudah mewanti-wanti untuk jangan pernah menghubungi pria itu. Selalu mengingatkan jika mereka bukanlah pasangan suami-istri-seperti yang ia bayangkan selama ini.
Baik di luar kesalahan pria itu atau bukan. Pria itu menikahinya menggunakan identitas orang lain, yang otomatis pernikahan mereka tidaklah sah.
Lalu bagaimana dengan bayi yang saat ini ia kandung? Bagaimana cara ia menjelaskan tentang status bayinya nanti?
Segalanya bertambah buruk, begitu pun keadaan Ceisya akhir-akhir ini. Dia tidak bisa makan dengan baik, tidak bisa istirahat dengan cukup. Juga tidak bisa mengurus dirinya sendiri seperti biasa. Seakan semua tenaga dan kekuatannya hilang tertinggal di rumah Sakala. Menyisahkan Ceisya yang hidup hanya dengan raga.
"Ceisya?"
Ceisya memutar kepalanya saat mendengar suara mamanya, bersamaan dengan pintu kamarnya yang di ketuk dari luar.
Dia tatap lama pintu kamar itu, sampai pintu itu terbuka dari luar dan sosok ibunya lah yang muncul dari sana.
Sama seperti biasanya, Ceisya menemukan senyum hangat wanita yang selalu membuatnya merasa nyaman itu. Senyum yang sejak Ceisya tinggal lagi di rumah kedua orangtuanya, sama sekali tidak pernah luntur.
"Gimana tidurnya, nyenyak? Cucu mama nggak rewel 'kan?"
Ceisya menarik sedikit sudut bibirnya ke atas. Hanya tersenyum tanpa menggeleng atau mengangguk.
Akhir-akhir ini, dia memang lebih banyak diam. Lebih banyak tersenyum membalas semua pertanyaan yang dilontarkan ibunya. Tanpa menjelaskan yang sebenarnya. Yang jika dia jujur, mungkin akan membuat ibunya merasa khawatir.
"Ada tamu yang mau ketemu kamu."
"Ma," Ceisya sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Jadi dia memilih menatap ibunya dengan sorot sendu. Yang untuk pertama kalinya ia tunjukkan.
"Ceisya sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dan-"
"Kamu yakin nggak mau ketemu dia?"
Saat mamanya berbalik bersamaan dengan seseorang yang muncul. Masuk ke dalam kamarnya. Ceisya merasa tubuhnya kaku. Dia terdiam dengan kedua mata menatap kedua mata itu lurus.
Sampai tubuh itu melangkah lebih dalam ke dalam kamar. Masuk ke kamar Ceisya dengan kedua mata yang tidak lepas menatap Ceisya. Menatap Ceisya dengan kedua mata yang sangat Ceisya rindukan.
Ceisya segera bangkit. Sama sekali tidak peduli dengan keberadaan mamanya, dia segera melangkah ke arah pria itu. Menghambur ke dalam pelukan pria yang entah sejak kapan, tapi selalu membuat Ceisya merasa cemas dan khawatir. Rindu hingga nyaris gila.
Dia takut tidak akan bisa bertemu dengan pria yang kini balas memeluknya tak kalah erat. Berkali-kali mengecup puncak kepalanya dengan tangan tidak berhenti mengusap punggungnya lembut.
Isak Ceisya kembali hadir. Dengan tangan meremas punggung Sakala erat. Dia takut sekali akhir-akhir ini. Khawatir hingga nyaris ingin mati.
"S-sakala?" Panggilnya. Yang langsung dijawab Sakala dengan gumaman lirih. Tanyanya kian erat memeluk Ceisya. Seakan sama takut kehilangannya. Sama rindunya hingga nyaris putus asa.
"K-kamu,... datang?"
"Hem..." Lalu diam. Lama. Seakan Sakala memberikan waktu pada Ceisya untuk menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu.
"Kalian,... Baik-baik saja 'kan?"
"Dia baik. Tapi dia sangat merindukan papanya."
"Lalu, bagaimana dengan ibunya?" Sakala sedikit menjauhkan diri, menarik wajah Ceisya agar bisa menatap wajah yang kini terlihat sembab itu.
"Apa ibunya juga merindukanku?"
Ceisya tidak bisa menahan kepalanya untuk tidak mengangguk. Membuat Sakala menarik sudut bibirnya. Dia terlihat sangat senang dengan jawaban yang diberikan wanita di depannya. Jadi, dia peluk lagi tubuh itu. Erat. Sangat erat seakan-akan tak ada hari esok untuknya bisa memeluk tubuh itu lagi.
Melupakan sepasang mata yang sejak tadi diam mengawasi. Menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Sakala." Panggil Halimah. Membuat Ceisya seketika memeluk Sakala tak kalah erat. Tak kalah kuat seolah takut jika esok ia tak bisa menghirup aroma tubuh itu.
"Ceis-"
"Lalu bagaimana denganmu?" Balik tanya Ceisya. Cepat. Menghentikan ucapan Sakala. Pria itu diam beberapa saat. Membuat Ceisya menunggu dengan perasaan harap-harap cemas.
"Hemm?"
"Bagaimana denganmu?" Ulang Ceisya. Mengabaikan wajah Sakala yang menatapnya.
Diam. Lama. Sampai Sakala bisa melihat wajah itu yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kamu tidak merindukanku?" Tebak Ceisya. Mengundang kekehan Sakala. Pria itu menatapnya dengan senyum terkulum.
"Aku tidak bisa lama-lama." Ucap Sakala yang sama sekali tidak menjawab semua rasa penasaran Ceisya. Dia tatap wajah itu dengan kedua mata berkaca-kaca. Bukan itu yang ingin dia dengar. Bukan itu juga yang dia harapkan.
Sakala mengusap puncak kepala Ceisya lembut. "Kalian harus baik-baik saja."
"Kamu akan datang ke sini lagi, kan?"
"Ceis,"
"Apa kamu tidak akan datang ke sini lagi?" Gerakan tangan Sakala yang mengusap puncak kepala Ceisya terhenti. Ada sesuatu yang terasa menusuk-nusuk dadanya. Apalagi saat Ceisya menatapnya dengan tatapan terluka.
"Ceisya, biarkan Sakala pergi." Ujar Halimah. Yang seketika membuat Ceisya bergerak mundur. Dia menjauh dengan gerakan pelan. Membuat tangan Sakala yang sejak awal berada di puncak kepala Ceisya terdiam kaku.
Dia hanya diam dengan pandangan lurus. Menatap wanita yang kini menunduk dalam.
"Pergilah." Dia usap air mata yang mendadak jatuh di pipinya. Dia tahan tangisannya mati-matian.
Sakala menghela nafas panjang dan berat. Beringsut mendekat dan sedikit menunduk. Memeluk tubuh yang kini hanya diam dengan kedua tangan membekap mulutnya.
"Aku merindukanmu." Bisik Sakala lembut. Yang malah membuat tangis Ceisya pecah. Dia menangis dan membuat pelukan Sakala mengeratkan pelukannya. Membiarkan dadanya basah karena air mata Ceisya.
"Kalian harus baik-baik saja." Sakala memang tidak berjanji akan segera datang lagi. Akan segera menjemputnya lagi, namun kata itu sudah cukup membuat Ceisya tahu jika bukan hanya dia yang berharap hubungan mereka baik-baik saja. Bukan cuman dia yang sakit dan terluka karena masalah kali ini, kan?
"Aku harus pergi sekarang." Sakala usap lembut punggung Ceisya, untuk terakhir kalinya dan berharap bisa menghentikan tangis wanita itu.
Tapi bukannya berhenti, tangis Ceisya kian mengeras. Kian kuat saat Sakala berbalik dan pergi. Membuat Ceisya memutar tubuhnya dan segera melangkah ke arah ibunya. Memeluk mamanya erat dengan suara tangis yang terdengar begitu menyayat-nyayat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pengganti (SELESAI)
Roman d'amourBagaimana jadinya jika pria yang menikah dengan Ceisya bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembar pria itu yang tak pernah ia ketahui keberadaannya? Mereka sama, namun jelas lambat-laun Ceisya tahu jika mereka berbeda. Hingga segalanya terungkap...