Semua telah berakhir. Mungkin kata itu tepat untuk menggambarkan keadaanya saat ini. Bagaimana orang yang ia percaya nyatanya malah menyerahkannya begitu mudah pada orang lain. Pada seseorang yang sama sekali tidak ia kenali.
Orang asing, orang yang kini berhasil ikut menghancurkan segala yang ia miliki. Sekarang tidak ada yang tersisa padanya. Hatinya, hancur berkeping-keping ketika tahu orang yang ia harapkan selama ini nyatanya telah meninggalkannya. Perasaannya, melebur saat tahu jika dia di bohongi begitu hebatnya. Dan tubuhnya pun, tak lagi mampu bereaksi saat tahu jika orang yang ia percaya nyatanya telah melukainya begitu hebatnya. Sedang harta satu-satunya yang ia miliki, nyatanya telah ia berikan pada seseorang yang tak seharusnya mengambilnya darinya. Orang asing, orang yang setiap kali Ceisya melihatnya, maka seperti ada tali tak kasat mata yang mencekiknya. Membuatnya sulut bernafas dan tetap baik-baik saja.
"Kamu tidak perlu melakukan ini."
Ceisya tetap menutup rapat bibirnya, terus memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Tanpa peduli pukul berapa saat ini-yang mungkin saja jam hampir menunjukkan tengah malam atau lebih. Namun ia tak bisa bertahan lebih lama di rumah itu. Rumah yang setiap sudutnya selalu mengingatkannya pada kegiatan-kegiatan mereka yang menjijikan. Yang bagaimana mudahnya ia menyerahkan diri. Menyerahkan segalanya tanpa sisa lagi.
"Kamu bisa tinggal di sini jika mau, atau kamu ingin aku yang keluar?"
Selesai dengan kegiatannya memasukkan pakaian, Ceisya segera menutup koper. Tetap mengabaikan segala ucapan pria di belakangnya. Yang sedari tadi menatapnya tanpa berniat menenangkannya, dan sekarang memintanya untuk tetap tinggal. Tapi, bagaimana Ceisya bisa tinggal jika hanya dengan menatap setiap sudut ruangan, selalu mengingatkannya pada hal-hal itu. Bagaimana murahannya ia yang begitu mudah menyerahkan diri. Berkali-kali sampai rasanya ia ingin mati saat ini.
Ceisya baru saja akan melewati pria itu, namun sebuah tangan langsung menahan sikunya. Menghentikan langkahnya yang sedikit tergesa.
"Jika kamu pergi atau keluar dari rumah ini. Akan aku pastikan jika kamu tidak akan bisa kembali." Ancam Sakala terdengar tidak main-main. Bukan hanya ancaman sebenarnya, karna selama ini Sakala bahkan tidak pernah main-main dengan semua yang ia katakan. Maka, jika wanita itu ingin tetap tinggal, Sakala sama sekali tidak keberatan jika harus meneruskan pernikahan mereka. Bersikap biasa seakan tak terjadi apa pun. Namun jika wanita itu memilih pergi. Sakala pun sama sekali tidak ingin repot-repot membujuknya. Yang artinya semua permainan selesai sampai di sini. Bukankah hidup Sakala selama ini semudah itu?
Untuk pertama kalinya, setelah tangisannya yang hebat dan kuat. Ceisya memberanikan diri menatap kedua mata itu. Amber. Kedua mata itu benar-benar berwarna amber bukan hitam pekat seperti milik pria yang selama ini ia percayai. Ia cintai.
"Semua keputusan ada padamu." Ujar Sakala tanpa mengalihkan pandanganya. Balas menatap wanita di depannya yang terus menatapnya lurus. Menyadarkan Ceisya akan sesuatu. "Tetap tinggal dan menerima semua seperti biasa,... atau pergi dan melupakan." Genggaman itu mengerat seiring dengan Ceisya yang menunduk. Menatap tangan besar yang kini menahan sikunya. Begitu kuat dan erat. Seakan mempertegas jika semua pilihan ada padanya. Yang mungkin saja, jika Ceisya memilih tinggal, ia akan berada dalam genggaman pria itu. Melupakan dan bersikap biasa saja seperti yang selama ini pria itu lakukan padanya.
"Aku tidak berniat untuk tinggal." Ujar Ceisya lirih. Yang berhasil membuat gengaman itu berangsur-angsur mengendur. Saat ia kembali mendongak, kembali menatap kedua mata itu secara bergantian.
"Aku harap kamu tidak akan menyesal!"
Itu adalah kata terakhir sebelum genggaman itu benar-benar terlepas. Bahkan langkah pria itu mundur seiring dengan rasa sesak yang menghantam dadanya kuat. Maka, tanpa menatap wajah itu lebih lama. Ceisya memilih memalingkan wajahnya, meneruskan langkahnya yang sempat tertunda. Melangkah pasti keluar dari rumah yang mungkin setelah ini, tidak akan pernah ingin ia kunjungi, lagi.
*****
Sakala hanya diam di tempatnya. Lama ia diam. Setelahnya, ia usap kasar wajahnya. Ia tarik simpul dasi yang mendadak terasa mencekiknya sedari tadi.
Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, namun ketika ia melangkah ke arah jendela. Ia menatap keluar. Menatap keluar dengan pandangan lurus. Sampai pandangannya jatuh pada seorang wanita yang menyeret kopernya.
Ia tampak kesulitan dengan benda besar itu. Sesekali bisa ia lihat bagaimana punggung tangan itu mengusap pipinya. Berkali-kali wanita itu melakukan itu. Dan yang membuat Sakala tampak tertegun adalah saat wanita itu berjongkok tidak jauh dari teras.
Mungkin bisa saja Sakala berbalik dan melangkah ke arah wanita itu. Menjelaskan beberapa hal dan membujuk wanita itu untuk tetap tinggal. Namun untuk apa?
Bahkan terbesit satu pemikiran, kenapa ia harus repot-repot membujuk seseorang yang tak ingin tinggal dan menetap?
Jadi, mungkin membiarkan wanita itu melakukan apa pun yang ia inginkan adalah pilihan terbaik. Lagipula, semua akan kembali seperti sedia kala jika wanita itu memilih pergi.
Setidaknya, Sakala pun tidak akan di pusingkan dengan tingkah wanita itu dan segala keinginannya. Sakala akan kembali terbebas dan hidup seperti biasa.
Mengikuti kata hati, Sakala memilih berbalik. Namun gerakan kakinya terhenti saat dering ponsel di saku celakanya menarik perhatiannya.
"Tuan, apa saya perlu mengantar nona Ceisya untuk kembali?" Ucapan itu terdengar setelah Sakala bergumam menjawab sapaan seseorang di sebrang telpon.
Lama Sakala diam. Sampai ia kembali memutar tubuhnya, kembali menatap ke arah seorang wanita yang masih berjongkok di depan pagar dengan tangan menutup wajahnya.
"Tuan?"
"Tidak perlu." Lagipula wanita itu yang memilih pergi dan menjauh. Maka Sakala tidak akan melakukan apa pun. Bahkan ketika nanti wanita itu meminta kembali, Sakala tidak akan berpikir dua kali untuk menolaknya. Bukankah ia sudah memberikan pilihan sejak awal?
"Biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan."
"Tapi ini sudah larut-"
"Jangan lakukan apa pun!" Ucap Sakala penuh peringatan. Bahkan kini rahangnya mengeras. "Cukup pastikan jangan ada taksi yang membawanya pergi dari rumah ini." Sakala ingin memastikan siapa yang akan membantu wanita itu di jam selarut ini. Setelahnya, terdengar jawaban ragu dari sebrang telpon. Yang sama sekali tidak membuat Sakala puas.
"Willi."
"Ya, tuan?"
"Jangan biarkan ada yang membantunya malam ini!"
"Tapi, tuan-"
"Pastikan semua hotel yang dia kunjungi tidak menerima tamu malam ini!" Pandangan Sakala masih mengarah pada wanita itu. Tidak berpindah sedikit pun. "Bahkan jika perlu, semua penginapan yang dia datangi! Pastikan mereka tidak akan menerima tamu malam ini!" Sakala menyudahi panggilannya setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan. Juga apa yang ia ingin malam ini.
Kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, Sakala berbalik begitu pandangan dirasa cukup menatap wanita itu. Wanita yang masih bertahan di tempatnya tanpa berpindah sedikit pun.
Bahkan sekilas, Sakala bisa melihat bagaimana bahu itu masih bergetar. Semua itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Dengan santai dia malah melangkah ke arah pintu kamar mandi. Dia butuh mandi, juga menjernihkan pikirannya yang mendadak terasa panas karena marah dan emosi. Marah yang bahkan tidak ia ketahui kenapa. Apa karna wanita itu menolak begitu mudah tawaran, atau karna melihat wanita itu yang masih bertahan di tempatnya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pengganti (SELESAI)
RomansaBagaimana jadinya jika pria yang menikah dengan Ceisya bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembar pria itu yang tak pernah ia ketahui keberadaannya? Mereka sama, namun jelas lambat-laun Ceisya tahu jika mereka berbeda. Hingga segalanya terungkap...