📚Happy reading📚
.
.
.Terhitung hampir dua Minggu lebih ibu Ghava di rawat di rumah sakit. Apakah ada perubahan? Maka jawabannya tidak justru keadaan sang ibu semakin melemah seiring bertambahnya waktu. Sebagai seorang anak tentu saja, Ghava merasa sedih dan khawatir. Dan itu semua mengganggu pikiran Ghava, sehingga tidak terlalu fokus selama disekolah dan juga persiapan olimpiadenya.
Ya. Ghava tetap bersekolah, karena ia masih mempunyai tanggung jawab terhadap olimpiade kimia nya yang akan diadakan lima hari lagi dari sekarang. Ghava tidak mau membuat gurunya kecewa. Selain itu ibunya juga pernah mengatakan kalau Ghava harus rajin ke sekolah, karena tanpa sekolah Ghava akan sulit untuk mengejar cita-citanya.
Sedikit informasi bahwa seorang JENANTA PETRIKOR AL GHAVA ingin menjadi seorang dokter. Cita-cita Ghava hadir waktu ia sering kali melihat sang ayah kesakitan, karena penyakitnya.
Lalu bagaimana dengan keadaan sang teman sebangku a.k.a Travis?.
Pemuda berwajah datar tersebut belum juga sadar dari komanya, tapi menurut keterangan dokter yang menangani Travis. Keadaan Travis sudah berangsur membaik.
Ghava menutup kitab suci di pangkuannya. Mendongakkan kepala keatas untuk menghalau keristal bening yang sudah terkumpul di pelupuk mata wolf nya. Dirinya tidak ingin menangis di samping tubuh lemah ibunya, Ghava harus kuat demi ibunya.
Pemuda kelahiran September tersebut meraih telapak tangan ibunya, yang terbebas dari selang infus. Menggenggam dengan hati-hati telapak tangan kurus sang ibu yang sedikit terasa dingin, berniat menyalurkan rasa kuat dan hangat kepada sang penguat hidup.
"Bu, bertahan yah. Ghava masih punya janji yang belum Ghava tepati. Ghava ingin membeli rumah yang lebih layak lagi untuk kita huni Bu. Atau ibu ingin merenovasi rumah kita juga nggak papa, karena kata ibu itu rumah peninggalan almarhum ayah. Ghava akan kerja keras untuk itu Bu, asalkan ibu ada di samping Ghava"
Beranjak dari duduknya. Ghava bergerak secara hati-hati, untuk mengecup kening sang ibu, takut dirinya akan menyenggol berbagai alat-alat yang menempel di tubuh ibunya.
"Ghava rindu senyum hangat ibu. Cepat sembuh bidadari nya Ghava" seulas senyum manis namun terkesan getir secara bersamaan Ghava lemparkan kepada ibunya. Walaupun Ghava tau sang ibu tidak akan membalas senyumannya.
Setelahnya Ghava meletakkan kitab suci, yang sedari tadi dirinya genggam ke atas meja putih yang berada di samping ranjang sang ibu.
Melangkah keluar dengan rasa sesak yang menyeruak hebat, tak kuasa melihat raga wanita yang paling ia cintai bertambah pucat setiap harinya.
"Assalamu'alaikum Bu" salam Ghava sebelum menutup pintu ruangan ibunya.
Ghava duduk di bangku, yang berada tepat didepan ruangan tempat ibunya dirawat. Memukul sedikit dadanya, berniat menghilangkan rasa sesak yang terus bertambah. Rasa sesak yang dapat menciptakan setetes, hingga beberapa tetes liquid bening dari netra tajam pemuda malang tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
☬NURAGA DAN SANG PETRIKOR☬
Fiksi RemajaHanya cerita tentang dua orang remaja dengan kisah hidup yang berbeda, tetapi dengan tujuan hidup yang sama, yaitu bahagia. Ghava!. JENANTA PETRIKOR AL-GHAVA pria sederhana penyuka aroma khas yang keluar saat hujan, dan sedikit cita-citanya yang ing...