📚Happy reading📚
.
.
.Tit. Tit. Tit.
Suara alat pendeteksi jantung terdengar nyaring memenuhi ruangan, yang di dominasi dengan warna putih. Seorang pemuda dengan kulit putih pucat, serta kelopak matanya yang masih setia tertutup, terbaring di atas sebuah ranjang khusus pasien. Dia, Travis Nuraga Algeza.
Hampir sebulan Travis terbaring di rumah sakit, tanpa menunjukkan adanya tanda-tanda tersadar dari komanya.
Dan hampir dua minggu pula Ghava bekerja di minimarket. Yang berarti, beberapa Minggu ke depan Ghava akan kembali bersekolah, karena masa skorsing nya telah usai. Walaupun sudah kembali bersekolah, Ghava tidak berniat berhenti dari pekerjaannya, karena Ghava membutuhkan uang untuk kehidupan sehari-harinya. Kata Ghava "nggak enak terus-terusan merepotkan pak Jajang dan Bu Ani". Karena sampai saat ini Ghava masih tinggal di rumah pria paruh baya tersebut.
Kriett.
Pintu ruangan Travis terbuka menampakkan Ghava, dengan setelan celana training hitam dipadukan dengan kaos putih gading bertuliskan....
"الابتسامة المبادة"
[senyum itu ibadah]Ghava tidak lagi memakai baju khusus, ketika masuk ke ruangan Travis, karena kata dokter keadaan Travis sudah membaik tinggal menunggu kapan pemuda tersebut akan siuman? Itu kata dokter empat hari yang lalu. Tapi sampai saat ini pemuda berwajah datar tersebut belum juga membuka matanya, Ghava pun tidak tau kapan sang teman sebangku bangun dari tidur panjangnya. Selama Travis belum membuka kedua matanya ia akan terus di rawat di ruangan ICU, untuk berjaga-jaga jika sesuatu yang tidak di inginkan terjadi.
"Assalamu'alaikum Nuraga" salam Ghava.
Menarik sebuah bangku yang berada di samping ranjang Travis. Mendudukkan tubuhnya disana, sembari menatap ke arah sang teman sebangku.
"Sepertinya kamu masih betah ya tidur disini?. Tapi jangan terlalu lama Nuraga, kasian orang tuamu pasti mereka khawatir"
Ghava menundukkan kepala menatap sendal jepit berwarna hitam miliknya. Perasaan sedih itu datang lagi, setelah ia mengucapkan kata "orang tua". Perasaan rindu kepada kedua orang tuanya kembali hadir, tanpa bisa ia cegah.
Ghava menggigit bibirnya. Tatapannya kembali terarah kepada si pemuda April.
"Nuraga. Saya rindu ibu dan ayah saya. Saya— nggak punya siapa-siapa lagi selain mereka. Saya, benar-benar sendiri sekarang"
Tukas si pemuda Jenanta lirih. Mengungkapkan semua isi hatinya, yang sempat ia simpan. Kristal bening kembali lolos dari kedua netra kelamnya. Tapi secepat mungkin ia usap, karena dirinya sudah bertekad akan menjadi pemuda yang kuat untuk ibu dan ayahnya, sebagaimana yang ibunya katakan— "Ghava harus jadi anak kuat yah sayang, sekarang kita hanya berdua saja, ayah sudah tenang disana. Kalau Ghava sedih ibu dan ayah juga ikut sedih. Dan kalau suatu saat nanti giliran ibu, yang dipanggil sama yang maha kuasa, Ghava nggak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Ghava harus belajar ikhlas dan jadi anak yang kuat walaupun tanpa ibu dan ayah. Ingat pesan ibu, Ghava harus tetap kuat untuk ibu dan ayah!" kata ibu Ghava beberapa tahun lalu, tepat di samping makam sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
☬NURAGA DAN SANG PETRIKOR☬
Novela JuvenilHanya cerita tentang dua orang remaja dengan kisah hidup yang berbeda, tetapi dengan tujuan hidup yang sama, yaitu bahagia. Ghava!. JENANTA PETRIKOR AL-GHAVA pria sederhana penyuka aroma khas yang keluar saat hujan, dan sedikit cita-citanya yang ing...