Kak Juna
Aku udah di depan,
aku masuk, yaPesan singkat seperti itu menjadi biasa bagi Nara. Arjuna tidak seenaknya, begitu pun Nara, mereka berdua tetap menjaga hubungan dalam garis batas yang jelas.
Nara suka wajah Arjuna di pagi hari, rambut yang belum di sisir rapih namun berbanding terbalik dengan pakaiannya pagi ini.
"Sidangnya hari ini, ya?" tanya Nara yang tengah menyuguhkan sarapan untuk keduanya.
"Iya, nanti aku nggak bisa jemput, maaf."
Nara paham, dirinya juga bukan wanita yang banyak menuntut dalam sebuah hubungan.
"Kamu kapan ke Bandung?"
"Lusa."
Arjuna mengangguk paham, dirinya tidak bisa ikut karena jadwal yang begitu mengikatnya. "Dean udah dikabarin?"
"Udah dong."
"Aku boleh titip hadiah nggak, buat pandu, ibu sama bapak, nanti kamu bilang dari calon menantu."
Nara tertawa mendengar kalimat menantu, pemikirannya bertanya akankah mereka sampai kepada tahap itu?
"Kamu yakin banget mau nikah sama aku?" tanya Nara yang kini meminum susu hangat miliknya.
"Pokoknya harus sama kamu! Nggak mau kalau nggak sama kamu."
"Iya iya," jawab Nara dengan lembutnya.
Keduanya telah selesai dengan sarapan pagi mereka, Arjuna mengambil alih mencuci piring yang telah mereka gunakan. Obrolan singkat tentang masa yang akan datang menjadi topik mereka pagi ini.
"Ra, tujuan pacaran itu putus, ada yang putus dan tidak kembali lagi juga ada yang putus untuk mengingatnya kembali."
"Pernikahan?"
Arjuna menyelesaikan tugasnya dan berbalik menghampiri Nara yang masih duduk manis di kursi meja makan.
"Kita yang ke pernikahan, ya?"
Arjuna mengunci pandangan Nara, jemarinya mendominasi seluruh wajah kekasihnya itu.
"Ini kamu ngelamar?" tanya Nara dengan wajah yang mendangak.
Arjuna panik, bukan ini maksud dari ucapannya, ia sudah menyiapkan lamaran untuk Nara nanti saat dirinya sudah mengantongi izin dari kedua keluarga.
"Yuk berangkat." Arjuna mengalihkan pembicaraan, tentu saja di belakang ada Nara yang tersenyum melihat kelakuan sang kekasih.
"Rambut kamu belum rapih," celetuk Nara dari arah belakang.
...
Pagi ini secerah biasanya, ada sinar matahari yang menghangatkan, juga lembaran design yang menemani Nara, pukul delapan lewat empat puluh dua terdapat banyaknya notifikasi di ponsel milik Nara, ada Dean dan Faya yang memintanya segera pulang, juga ada Pandu yang dengan singkat memanggil nama dirinya.
Panik yang menerjang membuat Nara hilang fokus, berlari menuju ruangan Ina dan meminta izin untuk segera berangkat ke Bandung hari ini.
Nara benci jika info yang ia dapatkan begitu singkat, semuanya hanya meminta dirinya pulang tanpa memberi tahu apa yang tengah terjadi.
Ina bergegas mengambil mobilnya dan meminta Nara masuk kedalam mobil miliknya.
Ka Dean
Bapak Adi pulangNara terduduk lemas di samping kemudi, ia tidak dapat mengolah kalimat yang Dean berikan dengan benar, lebih tepatnya ia ingin sekali tidak percaya akan kalimat tersebut.
Ina melajukan mobilnya dengan cepat dan tidak lupa meminta Nara agar lebih tenang dan segera mengabarkan Arjuna.
Nara hampir lupa jika ia memiliki Arjuna saat ini.
"Nggak bisa dihubungin," kata Nara yang kini memandang Ina dengan tatapan lesunya.
Mobil itu telah sampai di bandara, Ina menuntun Nara membeli tiket di loket, memegang dompet yang Nara bawa, ia membantu sampai satu tiket tergenggam di tangannya.
Nara menunggu, jarak ini menyesakan untuknya, setiap detik menggores luka yang teramat menyakitkan untuknya, ada air mata yang ia tahan sebisa mungkin.
Wanita itu pernah belajar cara mengikhlaskan namun bukan untuk kepergian yang seperti ini.
Pesan itu panjang, jemarinya sekuat tenaga mengetik kata demi kata untuk sang kekasih, meminta maaf karena pergi ke Bandung tanpa pamit juga ada pesan yang meminta untuk ditemani, namun wanita yang satu pilarnya direnggut mengingat bahwa kekasihnya saat ini tengah dalam ruang persidangan.
Sepanjang waktu Ina menggenggam jemari Nara yang kian mendingin, tanpa bicara ada kekuatan yang tersalur seakan meminta Nara untuk tetap tabah akan takdir yang ia hadapi.
Rasanya tidak sanggup melepas Nara sendirian, tapi ia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya secara mendadak.
Pelukan itu hangat, rasanya Nara ingin menangis saat ini juga, Ina Adiyaksa berpesan untuk tiba di sana dengan selamat.
Air mata itu bukan milik Nara melainkan milik Ina, di hadapannya ada tatapan kosong yang seakan menolak takdir Tuhan.
Arjuna yang tidak dapat dihubungi, membuat dirinya semakin gelisah, Nara ingin bersandar hari ini, ingin rasanya dikuatkan oleh prianya namun apadaya waktu tidak memberikan kesempatan, ia harus menghadapinya tanpa Arjuna.
Pamit kepada Ina yang masih menangis, Nara langkahkan kaki menuju pesawat yang akan ia tumpangi, bersyukur masih ada kursi yang tersedia di penerbangan hari ini.
Selama perjalanan Nara hanya menggenggam ponsel dan dompet miliknya, ia pandang potret bapak bersama dirinya dan tanpa disangka tangis itu menghampiri.
Nara membenci takdir ini, ia mengetahui jika yang bernyawa pasti akan pergi.
Kematian yang menghampiri memang tidak membuat dunia berhenti berputar tapi membuat manusia yang menyayangi mereka merasakan kesakitan yang teramat, rindu yang tidak akan terobati sudah pasti menjadi belenggu yang menyesakan seumur hidup.
Banyak pertanyaan tentang masa depan, bagaimana ibu akan bahagia? Bagaimana Pandu tanpa bapak? Bagaimana dirinya tanpa Bapak Adi?
Nara memang mandiri tapi ia tetap seorang anak, obrolan singkat dengan kedua orang tuanya selalu Nara lakukan, saling membagi pesan dan kebahagian juga Nara lakukan.
Wanita ini masih ingat pesan Bapak Adi yang bilang ia baru saja memakan sate padang kesukaanya bahkan saat itu Nara segera pergi membeli sate padang juga untuk membalas sang bapak yang sedang asik memamerkan makanannya.
Guyonan yang akan Nara rindukan, suara yang akan Nara ingat, senyum dan pelukan yang pernah terasa berharap waktu tidak akan mengambil ingatannya.
Wanita yang sibuk menghapus air mata ini tidak tahu masa depan yang akan ia hadapi tanpa kehadiran bapaknya tersebut.
Ingin protes akan takdir pun tidak mungkin, Nara harus terima ketentuan yang diberikan kepada dirinya saat ini.
---
Sudah, aku tidak akan serakah lagi.
Makasih banyak udah ninggalin vote dan komen😘
Part kemarin paling banyak dpt vote🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
fine line [END]
RomanceNaraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupakan hingga ia memutuskan pergi menjauh. Yogyakarta menjadi obat yang mujarab bagi wanita yang ingin...