Di sini, di atas motor Vario hitam milik Pandu, Nara dan Arjuna mengelilingi Bandung untuk mengulang cerita keduanya.
Banyak suara kendaraan yang memecah keheningan Bandung di pagi hari, mulai dari yang berangkat kerja sampai yang berangkat menuju sekolah. Berbeda dengan yang lainnya, kedua insan ini hanya ingin menulis ulang scene mereka enam tahun yang lalu, tidak lupa sebelum pergi Nara sempat berpamitan kepada Ibu dan Pandu.
Tangan Nara memeluk erat pinggang Arjuna, leather jacket milik Arjuna ditambah beanie yang Nara pinjamkan membuat pria ini terlihat seperti enam tahun yang lalu. Lain halnya dengan Arjuna, t-shirt yang berbalut flanel biru membuat penampilan Nara terlihat lebih santai.
Wanita ini menaruh dagunya tepat di pundak sebelah kanan Arjuna. “Masih inget, Kak?” ucap Nara dengan intonasi yang sengaja dirinya kencangkan.
Memang tidak mudah berbicara di atas motor yang melaju melawan angin. “Inget dong, gini, kan?” jawab Arjuna dengan tangan yang ia taruh di atas dengkul Nara. “Waktu itu gimana perasaan kamu? Jantungnya udah mau lepas belum?” ledek pria itu.
“Kalau dulu aku nggak tau malu, aku udah kayak cacing kepanasan kali, mana mau teriak sekenceng-kencengnya.”
Kedua insan ini tersenyum di perempatan jalan, lampu merah yang menemani membuat keduanya tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk berbincang.
Tangan kiri Arjuna masih setia di lutut kekasihnya. “Kita cari ketoprak, ya?”
“Iya,” jawab Nara singkat sembari mengeratkan pelukannya karena lampu sudah berganti menjadi hijau. “Aku sayang Kak Juna,” bisiknya.
Arjuna lantas menengok ke arah kanan untuk membalas ucapan kekasinya. “Aku lebih sayang kamu, Ra.”
“First date?” ledek Nara kepada Arjuna yang sedang asik dengan ketoprak di hadapannya.
Dimples itu terpampang jelas di wajah tampan seorang Arjuna Bagaskara, Nara akan ingat senyuman itu, gambaran itu akan ia patri di kepalanya.
“Aku nggak peka, ternyata aku orang yang kamu sebut tempo dulu,” tutur Arjuna dengan wajah berserinya, “untung doa aku baik, minta agar kamu bisa bareng sama dia, hehe kekabul, Ra,” tambahnya.
“Kamu kok bisa seneng gitu si, aku dulu tuh patah hati.” Nara memanyunkan bibirnya.
“Kamu mau tau nggak?” Netra Arjuna memandang Nara begitu lekatnya. “Kamu ingetkan ada dua pilihan, orang yang bikin aku nyaman itu kamu,” jelas Arjuna.
“HAH?” matanya mendelik saat Arjuna mengucapkan kalimat itu. “Berarti aku nendang nama aku sendiri dong?”
“Hmm, haha,” tawa ringan Arjuna berikan, “dulu kisah kita di waktu yang salah, Ra.”
“Sampai sekarangpun, masih di waktu yang salah, Kak,” tambah Nara.
Arjuna terdiam. Setelah ucapan itu keluar, perbincangan tidak berlanjut, keduanya lebih fokus kepada ketoprak yang sudah mereka pesan.
Setelah selesai memakan ketoprak, Arjuna beranjak membeli satu bungkus rokok dan permen kiss di warung sebelah. Ia dudukan tubuhnya di tempat semula, lalu kembali memandang kekasihnya yang masih sibuk dengan es batu yang ada di teh manisnya.
“Nih, dulu tulisannya apa, Ra?
Nara mengingat-ngingat kembali. “Apa, ya? Nggak inget.”
“Ya udah nggak apa-apa, yang ini di inget, ya!”
Nara mengambil permen kiss yang Arjuna berikan, ia balik bungkus itu dan terpampang kalimat “i love you” di belakangnya. Senyum itu terukir kembali.
Arjuna sematkan satu batang rokok di bibirnya, Nara tidak masalah jika prianya ini merokok, toh Arjuna memang sudah begini dari jaman kuliah.
“Kak, Kak, tau nggak?” tanya Nara dengan excited-nya. Sebelum selesai berbicara Nara terlebih dahulu tertawa, membuat Arjuna bingung dengan kelakuan wanita di hadapannya ini. “Aku pernah ngumpetin korek kamu, biar bisa chat-an,” jujurnya.
Pria yang mendengar juga ikut tertawa, pasalnya dirinya juga pernah berbohong perihal pematik itu. “Nggak kamu doang, aku juga pernah pake alesan korek biar bisa chat-an sama kamu.”
Nara terdiam, mengingat-ngingat bahwa dulu Arjuna pernah menanyakan korek kepada dirinya. “Coba dari dulu jujur, mungkin kita udah punya anak dua kali, ya?” ledek Nara.
Perbincangan mereka cukup banyak, mulai dari pertama kali Nara menaruh rasa sampai perlakuan-perlakuan yang Arjuna berikan kepada Nara tidak luput dari bahasan keduanya
Nara bahagia hari ini, begitu juga dengan Arjuna. Kadang saat bersama, mereka lupa jika masalah besar itu masih dengan gagahnya berdiri menghadang. Saat bersama, mereka juga lupa akan sakit di hati yang menggores tiap inci.
Motor yang mereka tumpangi kini menjauh dari gerobak ketoprak di mana mereka makan tadi. Menikmati angin yang menyapa, walau terik tidak membuat keduanya mengurungkan niatnya.
Laju motor itu berhenti tepat di halamam rumah Faya, keduanya memutuskan untuk mengulang adegan saat Nara menjadi MUA untuk Arjuna dan Jasmine dahulu.
Scene dimana Nara melepaskan Arjuna, mengikhlaskan Arjuna dengan pilihannya, scene ini menjadi ucapan perpisahan untuk yang kedua kalinya.
Diketuk pintu rumah sepupunya itu. “Nis, aku mau pinjem make up, boleh nggak?” pinta Nara kepada adik dari Faya yang tengah berdiri di ambang pintu. “Boleh. Tunggu ya, Teh,” jawab Nisa singkat
Saat menerima sebuah pouch make up, "aku numpang duduk di depan, ya?" Nisa mengangguk tanda setuju.
Arjuna mengambil tempat di kursi luar yang ada di rumah Faya. “Ra? Ini serius?” tanya Arjuna, netranya yang menelusuri seluruh wajah Nara.
“Iya Kak. Kamu ingetkan, saat itu menjadi akhir dari semuanya, akhir perjumpaan kita, juga akhir dari rasa yang pernah ada,” tutur Nara yang kini duduk di samping pria itu.
“Tapi aku nggak mau ini jadi yang akhir, Ra?”
Nara tersenyum, ia nikmati setiap detik yang terlewatkan. Sentuhan untuk wajah itupun menjadi perlahan, mata sendu Arjuna tidak bergerak untuk memandang yang lainnya, hanya Nara yang ia tangkap di netranya saat ini.
“Waktu kamu nangis, kamu mikirin apa?”
Nara menghentikan aktifitasnya, menatap Arjuna lembut, di sentuhnya dimples milik lelaki ini. “Aku ngucapin kalimat perpisahan, mau denger?” Anggukan diterima Nara dari Arjuna.
“Ikatan selama enam bulan ini akan berhenti di sini ya, Kak? aku cukup sadar diri untuk tidak bertemu lagi.”
“Saat ini aku ngelepas kamu, semoga bahagia sama pilihan Mama-mu.”
“Selamat tinggal rasa untuk Arjuna Bagaskara.”
“Maaf, bukan itu.” Nara tarik napas panjangnya, ia sadar bahwa ia tidak mampu menghapus rasanya begitu saja. “Selamat tinggal Arjuna Bagaskara.”
Arjuna meneteskan air matanya, Arjuna sadar akan kalimat itu, ia paham akan makna di dalam kalimatya. Naranya menyerah, kekasihnya meletakan kisahnya.
Tetapi Arjuna masih dengan keteguhan hati, pria ini tidak tinggal diam, ia sematkan sebuah cincin di jari manis kekasihnya. “Ayo kita nikah?” ajak Arjuna dengan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
fine line [END]
RomanceNaraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupakan hingga ia memutuskan pergi menjauh. Yogyakarta menjadi obat yang mujarab bagi wanita yang ingin...