Pagi menghadap kembali, Bandung hari ini cerah, tidak ada keraguan dalam senyum mereka yang mengantar Arjuna. Pria itu datang dengan segala harapnya, menjemput sang pujaan hati dan memintanya untuk menjalani hidup hingga tua nanti.
Meski tanpa restu, Arjuna pastikan hidupnya bersama Nara akan baik-baik saja.
Jantung yang berdebar saat ia berhadapan dengan Pandu dan Ibu Nara. Ada gejolak rasa bersalah karena kejadian yang membuat putri satu-satunya di keluarga mengalami hari yang sulit.
Bukan sapaan hangat seperti dulu tetapi pratirasa yang dengan jelas Pandu layangkan untuk kehadiran Arjuna.
Penolakan kini ada di dua sisi. Ibu memang tidak ingin anaknya menangis, Ibu juga sadar kehidupan yang Nara jalani cukup berat, tetapi ibu tidak pula menahan Arjuna yang ingin bertemu dengan Nara. Berbeda dengan Ibu, Pandu dengan tegas meminta Arjuna untuk tidak bertemu kakaknya, memohon untuk menjauhi kakaknya.
"Bang! Kak Nara terlalu hebat karena bisa jatuh cinta lagi ke orang yang nyakitin dia," ucapan Pandu terjeda. "Kak Nara berhak dapat yang lebih baik dari lo, pria dan keluarganya yang menyukai Kak Nara."
Nathan dan Dean yang mendengar seketika tidak dapat berucap apa-apa. Kondisi mereka tidak sesederhana itu, ada keluarga yang menolak hubungan keduanya adapula keluarga yang sakit hatinya.
"Dulu gue sama ibu begitu percaya sama lo, berhayal kebahagian Kak Nara akan lengkap jika kalian ke jenjang berikutnya, tapi keluarga lo, Bang."
Pandu menarik napas beratnya. "Udah cukup penghinaannya, Bang! Mohon lo kali ini akan berujung sama yaitu nyakitin hati Kak Nara lagi, kan?"
"Kakak gue nangis, Bang! Kak Nara sekarang lagi hancur." Pandu menunjuk pintu kamar yang tertutup rapat.
Arjuna tertunduk mendengar ucapan Pandu. Pedihnya sebuah pengharapan membuatnya jatuh ke ladang keputusasaan. Ia berpikir akan mendapatkan dukungan dari keluarga Nara, namun naas restu itu tidak datang menghampiri.
"Terakhir, untuk terakhir kalinya." Arjuna pandang Pandu dan kini melihat ibu. "Terakhir, Bu. Izinin Juna ketemu Nara."
Mata yang memerah dengan harap yang tinggi, saat ini Arjuna berada di ujung tanduk, usaha dan niatnya tertahan, dalam pikiran Arjuna bertemu Nara lah yang paling ia utamakan.
"Jun?" Panggil Dean.
"Nggak mau sia-sia, bukannya perpisahan juga butuh ucapan selamat tinggal?" Arjuna meyakinkan Dean jika jalan yang ia ambil kali ini adalah upaya terakhirnya. Ibu dan Pandu bukanlah orang tuanya yang bisa ia lawan.
"Bu? Izinin Juna ketemu Nara, ya?" Diraihnya tangan wanita paruh baya tersebut, meminta dengan lembut agar permohonannya dapat dikabulkan.
Ibu mengangguk dengan senyum tipisnya. "Bahagiain anak ibu hari ini, ya?"
"Ibu," sela Pandu.
Dean menyentuh pundak Pandu agar ia bisa mendengarkan kalimat yang ibunya pinta.
"Ndu, cukup keluarga Juna yang jdi penghalang, kita tidak perlu jadi penghalang mereka juga." Kata terima kasih banyak Arjuna ucapkan dengan senyum di bibirnya,
Melihat Arjuna pergi, Dean dan Nathan berusaha berbincang dengan Pandu dan Ibu, mereka berusaha membuat Arjuna terlihat begitu memperjuangkan Nara walau kenyataannya memang benar seperti itu.
Sesampainya di kamar Nara, Arjuna memandang wanita itu yang masih dengan lelapnya, terlihat tenang dan tanpa beban.
Langkahnya semakin mendekat dan kini ia ikut merebahkan tubuh di samping wanitanya, ia amati setiap lekuk di wajah Nara, matanya membengkak? Pasti Nara puas sekali menangis kemarin.
Pandangan itu belum juga teralih, kini Arjuna usap rambut Nara, rambut panjangnya hilang, kini tersisa ukuran yang lebih pendek dan tidak beraturan. "Kenapa kisah kita sesulit ini, Ra?"
Pendengaran Nara bereaksi membuat kelopak matanya membuka perlahan, matanya berat, Nara rasa mungkin sudah membengkak.
Sedikit terkejut saat cahaya mulai menyapa dan memperjelas gambaran sosok yang amat ia rindukan, Arjuna tersenyum manis di hadapannya.
Berpikir sejenak, akankah ini hanya ilusi? Ia ulurkan tangannya untuk sekadar menjamah dimples yang samar tersebut.
Keduanya tersenyum bersama. "Aku kira kita beneran pisah, ternyata kamu ada di sini." Jemari yang ada di pipi Arjuna kini terbalut jemari besar pria tersebut. "Aku habis mimpi, orang tua kamu nggak ngerestuin hubungan kita."
Arjuna yang mendengar kalimat itu mulai tersenyum kecut. Mata Nara memejam merasakan sakit yang tertanggung. Nara bangun dari tidurnya dan mulai memegang kepalanya, rambut panjangnya kini berubah menjadi pendek. "Ahh, bukan mimpi ternyata."
Arjuna dekap Nara, napas yang sama beratnya, satu helaan yang meninggalkan perih di hati keduanya.
"Mau ke luar?" tanya Arjuna.
Apa ini ucapan selamat tinggal? Apa kita benar akan berpisah? Apa jadi kenangan terakhir? Monolog Nara yang masih dalam dekapan.
"Ayo! Aku rapih-rapih dulu." Nara melepaskan pelukan Arjuna. "Kita lakuin semuanya gimana?"
Arjuna mengangkat alisnya meminta Nara menjelaskan secara rinci.
"Kita lakuin semuanya, pertemuan kita enam tahun yang lalu," jelas Nara yang langsung beranjak dari kasurnya.
Dimples itu terlihat jelas, betapa Nara menyukainya.
Arjuna menunggu Nara di ruang tamu dengan yang lainnya, dalam diam ada resah saat Pandu memandang dengan lekat, seakan rasanya seperti ditodongkan sebuah pistol tepat di keningnya.
Di sisi lain, Nara kembali menangis sebelum ia kembali membohongi diri.
"Ayo bahagia hari ini," ucap keduanya pelan di ruang yang berbeda.
Cinta itu membahagiakan, prihal sakit dan berpisah akan menjadi kejutan di setiap langkah.
Jika ada kata berpisah dalam hubungan, berharap tidak bertemu kembali menjadi jalan untuk sembuh, dan kala waktu menemukan pasangan itu lagi, hanya satu harap untuk berpura-puralah tidak mengenal, karena langkah mendekat akan menggoreskan lukanya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
fine line [END]
RomanceNaraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupakan hingga ia memutuskan pergi menjauh. Yogyakarta menjadi obat yang mujarab bagi wanita yang ingin...