Temaram yang menuntun malam menuliskan rasa gundah di kedua hati yang telah saling jujur.
Akankah hati yang pernah hancur itu bersatu lagi? Berbalas atau tidak, biarkan Arjuna menikmati usahanya.
Langkahnya gontai dengan satu batang rokok terselip di mulutnya, pemantik putih itu telah lama menemani Arjuna, pemantik yang pernah menjadi alasan untuk saling berbincang, pemantik yang ia simpan hingga 'tak bisa digunakan.
Arjuna pandang balkon di sebelahnya, ia harap wanita itu keluar untuk sekadar melegakan sesaknya pikiran.
Do'anya terkabul, wanita dengan t-shirt kuning dan rambut terkuncir sembarang datang dengan satu teh hangat di genggamannya.
"Hai?"
Sapaan singkat membuat dirinya terkejut, ingin melangkah kembali pun tidak mungkin, dalam benaknya saat ini ia sudah cukup bertemu Arjuna karena hari ini terlalu banyak menguras energinya, mulai dari perhatian yang diterima, deklarasi jodoh yang didengar hingga pertanyaan yang terjawab dengan tulus.
"Ra?" panggil Arjuna.
Balkon yang bersebelahan dengan jarak yang tidak terlalu jauh membuat Arjuna mengikis jarak agar suaranya terdengar.
"Jangan menjauh."
Nara pandang pria itu dengan harap yang terlihat jelas. "Kenapa menjauh?"
"Tadi kamu bilang takut."
"Takutnya gue itu urusan diri gue sendiri dan bukan berarti gue ingin menjauh dari lo." Nara seruput teh hangatnya. "Kak, gue bukan remaja lagi, gue juga lelah jika harus kabur lagi." Nara ingat kata yang Faya ucapkan.
"Maaf kalau selama ini terkesan egois karena kekeh buat deketin kamu." Arjuna sembunyikan pemantik itu di kantong celananya.
"Kak Juna," panggil Nara lembut dengan langkah mendekat.
"Di luar sana tuh banyak banget wanita yang lebih dari gue, Jaksa kayak lo itu berhak dapet yang setara, wanita pintar dan cantik yang cocok buat lo, bukan gue yang cuma masa lalu."
Kalimat Nara begitu saja keluar, ia ingin mengetahui di mana tempatnya berada.
"Lo nggak mau coba hal yang baru, lo itu Arjuna, tampan, mapan dan penuh perjuangan."
"Masa lalu?" Nara pandang Arjuna yang kini tengah mematikan rokoknya.
Gue salah ngomong, kah? Kenapa dia serius gitu mukanya, monolog Nara.
"Kita belum pernah memulai, bagaimana bisa disebut masa lalu."
Nara seperti orang bodoh, ia hampir lupa jika dahulu cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
"Kadang aku ngingat masa itu, ada rasa syukur karena pernah disukai sama orang yang hebat dalam hal menyembunyikan. Rasa yang tidak meminta belas itu terasa tulus." Arjuna pandang langit hitam yang menghadang. "Tapi aku nggak peka malah nyakitin dan memicu air mata kamu."
Wajah Arjuna dari samping saat berbicara terlihat sendu, ada goresan penyesalan dalam setiap hembusan napasnya.
Nara ikuti pandangan Arjuna, langit malam ini menjadi saksi cerita keduanya.
"Kak, lo tau nggak?"
Arjuna torehkan wajahnya untuk melihat Nara yang siap berucap.
"Tentang kita, saat gue ninggalin Jakarta, saat itu pula gue berpikir tentang kisah kita yang tanpa memulai benar-benar berakhir."
"Gue harap nggak pernah ketemu lo lagi kecuali saat salah satu dari kita duduk di kursi pelaminan, yaa untuk mengucapkan kata selamat."
Pandangan Nara berubah ke arah gelas yang masih hangat. "Nggak mau ketemu lo bukan berati gue benci sama lo, itu semua karena gue cuma mau berdamai sama diri sendiri, waktu itu kacau dan diri gue sudah ada di ambang batas lelah, gue jalanin sampai saat gue nguji diri sendiri untuk datang ke pernikahan Jasmine, ternyata semua baik-baik aja, gue bisa ngadepin Jasmine dan lo, gue baik-baik aja, Kak."
Arjuna masih membatu mendengar kalimat yang keluar dari lisan Nara, bisa ia bayangkan betapa menderitanya wanita ini.
"Saat itu gue dengan percaya dirinya bilang kalau gue bisa berdamai, tapi ...." Nara pandang Arjuna yang berdiri di sebrang balkon.
"Nggak ada dalam bayangan gue kalau lo bakal hadir di sini, di Yogyakarta, dan tetangga gue!"
Mata itu membulat melihat Nara menaikan nada bicaranya, Arjuna benar-benar jatuh cinta, bukannya takut kini ia sedang terpesona dengan cara bicara Nara.
Senyum pria itu tercipta.
"Kamu juga harus tahu, Ra."
Kedua pasang mata itu bertatap lama, rasa penasaran sang wanita akan kalimat selanjutnya yang akan ia dengar melonjak tinggi, menunggu susunan kata yang mampu membuat jantungnya berdebar.
"Saat aku diminta memilih sama Nathan, aku hanya bisa pejamin mata dan kamu tahu siapa yang ada dibayang itu? Wanita dengan rambut pendek sedang tersenyum sambil mengedipkan matanya."
Nara ingat hari itu, saat pesan Arjuna yang bertanya apakah manusia bisa tersenyum sambil mengedipkan mata dan Nara dengan bodohnya mencoba.
"Saat aku tahu kamu pergi, duniaku serasa hilang, selalu diminta bertahan oleh orang yang bahkan nggak ngasih tahu di mana keberadaan kamu, aku hanya dapat kalimat penyemangat yang terdengar semu namun sangat percaya akan imbalan bertemu dengan kamu lagi."
Kalimat itu memicu debaran jantung milik Nara.
"Saat waktu itu tiba, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, sekarang aku di sini, Ra."
Enam tahun yang lalu Nara hanya belajar melupakan dan memaafkan, ia lupa jika harus belajar menghapus rasa. Harap yang datang menyapa, berpikir tentang waktu yang berlalu sia-sia, wanita manis ini bertanya tentang takdir seperti apa yang akan dihadapinya nanti.
"Lo nggak takut gue sakiti? Kali aja gue bakal bales dendam, gitu?"
Masih banyak validasi yang Nara butuhkan dan ada puzzle rasa yang harus ia susun untuk melihat hasilnya.
"Enggak takut, aku akan berhenti saat kamu dipinang lelaki lain atau saat nyawa aku diambil Tuhan."
Tidak dipungkiri Nara suka sekali jawaban egois itu. "Lo nggak mau meminang gue?
Arjuna menelan salivanya, ia pastikan telinganya berfungsi dengan baik. "MAU! Diizinin?"
Nara tertawa meledek.
"Aku yakinin kamu sampai kamu yakin."
Kalimat itu membungkam tawa Nara, kesungguhan itu terasa begitu jelas, tatapan hangat dengan badan yang sedikit maju melewati batas balkon, Nara ingin memberi penghargaan untuk Arjuna saat ini.
"Udah makan, Kak?"
Gelengan kepala dilihat Nara sebagai jawaban, ajakan makan bersama dengan dirinya yang mengajukan untuk memasak membuat pria berlesung mengangguk semangat, langkah cepat Arjuna ambil untuk sekedar berganti pakaian.
Saat sedang memilih bomber yang akan ia gunakan terdengar satu notifikasi.
Nara
Nggak terima tamu
dengan tampilan yang rapih,
Pakai baju yang tadi atau
tidak sama sekali.Arjuna lepas kembali jaket tersebut, ia hanya merapihkan sedikit rambut juga tersenyum di depan cermin, Arjuna mulai melangkah menuju apartemen tentangganya.
Aku selalu serakah jika menyangkut kamu, Ra.
Kalimat yang tidak terdengar itu tersusun saat melihat Nara membuka pintu dan mengajak Arjuna untuk masuk ke dalam rumahnya.
Perbincangan panjang dan jujur membuat keduanya saling mengetahui yang selama ini dipikirkan, cepat namun yakin akan Arjuna pastikan Nara menjadi miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
fine line [END]
RomantizmNaraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupakan hingga ia memutuskan pergi menjauh. Yogyakarta menjadi obat yang mujarab bagi wanita yang ingin...