Di dalam mobil yang sedang melaju, Nara hanya mampu menatap Arjuna, pikirannya kosong, rasa sakit yang berkecamuk 'tak henti-hentinya hilang.
Cafe milik Leo menjadi tempat mereka menghentikan lelahnya. Belum sempat turun Nara membuka obrolannya. “Capek, ya, Kak?”
“Maaf.” Arjuna dengan wajah penyesalannya berucap lirih. Ia tundukan kepalanya di hadapan stir mobil.
“Apa kita nyerah aja?”
Hatinya seperti tersambar petir, kalimat Nara menggerakkan setiap inci tubuh Arjuna yang sudah dalam batasnya, kini ia angkat kepala dan memandang wajah manis di sebelahnya. “Enggak! Aku nggak akan ngelepasin kamu!” Nara lihat mata indah itu ada yakin yang tersirat jelas namun teduhnya tetap menguasai, tidak lupa terdapat air mata yang mulai menetes tanpa permisi.
“Aku bikin kamu nggak berbakti sama orang tua, maafin aku.” Nara tarik napas beratnya. “Kak, mari bertemu di sebuah pernikahan, kamu dengan pasanganmu,” kalimat Nara sudah ia persiapkan jika seandainya wanita ini melihat adanya air mata yang mengalir di manik sang kekasih.
Entah pertimbangan ataupun rentetan ramalan untuk masa depan, Nara kembali berpijak pada realita yang akan dirinya hadapi.
“Enggak, Ra! Nggak akan ada perpisahan di antara kita. Kamu percaya aku, kan?”
“Jadi anak yang berbakti ya, Kak? Kamu juga tahu surga itu letaknya di bawah kaki ibu.” Nara hapus air matanya yang mengalir.
“Tadi kamu bilang nggak akan ngelepasin aku, kamu harus tanggung jawab akan ucapan kamu. Sebentar aja, Ra. Tunggu sebentar ya sayang, aku jemput restu itu. Kamu harus percaya.” Arjuna raih tangan wanitanya, ia yakinkan Nara untuk tetap di sisinya, hingga semuanya terlewati.
“Jangan nyerah, Ra. Aku hanya butuh kamu tetap di samping aku.” Lagi-lagi Arjuna hapus air mata yang keluar membasahi pipi Nara. Pintanya sungguh sederhana, Nara hanya perlu tetap pada tempatnya.
Bolehkah? Tanya Nara dalam hati.
Kini harap itu ia gantungkan kembali kepada sosok yang memandangnya dengan penuh cinta, ia petik pikiran dan kenyataan yang membimbangkan, pijakannya kini menghilang dan hanya ada uluran tangan yang akan digenggam erat.
Nara menjawab pernyataan dari Arjuna. Wanita manis itu percaya prianya, begitupun sebaliknya.
Kedua insan ini dengan rasa bersalah, kedua insan ini dengan air mata yang tanpa henti mengalir, berbagi pedih bersama dalam satu pelukan.
Dunia memang tidak ramah bagi keduanya. Dahulu Nara pernah berpikir kalau untuk dekat dengan seorang Arjuna adalah hal yang tidak mungkin baginya namun sampai pada titik ini, ternyata ia bisa memiliki hati seorang Arjuna Bagaskara. Nara berpikir ia tidak seharusnya menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Tuhan berikan kepadanya.
Arjuna juga ingat saat Nara pernah berkata kepadanya, jika kisah Nara tidak direstui semesta, Nara yang dipaksa melupakan juga dipaksa untuk berhenti menyukai. Arjuna janji kepada dirinya juga kepada hubungannya, kalau kalimat itu tidak akan pernah terucap lagi dari mulut wanita yang ia cintai.
Kalimat sombong yang pernah terucap telah menyapa kedua insan ini, ujiannya tentang restu, Arjuna pernah berkata, akan ia hadapi semua yang tidak merestui, namun dirinya tidak menyangka semua itu akan datang dari keluarganya, jika memang yang merasakan sakit cuma dirinya, sungguh hanya ada ketidak pedulian yang gagah berdiri, namun tegarnya hancur jika Nara lah yang tersakiti.
Selain ingin mengatakan kepada dunia bahwa Naraya adalah miliknya, ia juga ingin menghilangkan manusia yang telah membuat hati kekasihnya terluka, cintanya untuk Nara begitu buta hingga apapun caranya akan Arjuna lakukan untuk tetap bersama Nara dalam lingkup bahagia.
---
Sore itu Arjuna titip Nara kepada Faya dan Leo. Pesannya singkat, ia hanya mengatakan akan bertemu lagi dengan Nara membawa kabar yang bahagia, Nara yang sudah menggantungkan harap kepada Arjuna tersenyum yakin, akan ia tunggu kekasihnya di tempat yang sama dengan rasa yang sama.
Punggung itu menjauh bersamaan dengan mobil yang mulai melaju, Nara dengan coklat dingin di hadapannya menimbang-nimbang apa yang akan ia ucapkan untuk sekadar menurunkan alis sepupunya yang hampir manyatu.
"Lo gue ajak kabur nggak mau?"
Nara menyeruput minuman dingin yang sudah Leo siapkan untuknya. "Gue bukan lagi anak kuliah yang langsung kabur kalau ada masalah."
"Tapi lo tetap Nara si tukang mikirin perasaan orang lain, gue yakin lo pasti ada pikiran nyerah, kan? Ngaku!"
Dalam pikiran Nara saat ini Faya benar berubah, wanita cantik itu menjadi lebih peka dan mungkin sekarang dia peramal (?)
Pandangannya beranjak mencari manik Faya, namun anehnya sepasang kekasih tersebut berdiri bersamaan, Faya yang mendekat ke arahnya sedangkan Leo yang mulai menjauhi mereka.
Rengkuhan yang Faya berikan memberi Nara ruang untuk menenangkan diri. Faya tetap berdiri mengusap helaian rambut sepupunya yang kini terduduk nyaman.
"Gue benci diri gue! Gue benci Nara yang cepet nyerah, gue benci Nara yang nggak punya pendirian, kenapa gue kayak gini si, Kak?"
Pemikiran Faya melambung, ada pertanyaan yang ingin rasanya ia tanyakan kepada wanita yang bersandar ini, kehidupan seperti apa yang lo jalanin sampai lo susah banget naruh harap ke manusia? Langkah salah apa yang pernah lo ambil sampai pendirian lo selalu goyah?
Enam tahun Nara hanya bergantung kepada dirinya sendiri, bukan menjadi wanita yang kesepian, karena kehidupan Nara di Yogyakarta berjalan dengan lancar, ada tawa yang selalu terbagi namun ada juga tangis yang ditutupi seorang diri.
Tentang langkah, dirinya hanya tidak ingin berekspetasi terdapat keputusan yang ia ambil.
Jawaban itu sudah terlintas kembali di pikiran Faya, kejadian enam tahun silam menjawab pertanyaannya.
"Lo nggak pernah berubah, Nara yang sekarang masih sama dengan Nara enam tahun lalu."
Nara menganggukkan kepala dalam dekapan Faya. "Lo biarin hati lo sakit, karena lo bisa bergantung ke diri lo sendiri, kan?" Faya kembali merasakan anggukan kepala.
"Lo masih mikirin orang tuanya Arjuna?" Faya kembali mengusap rambut Nara.
"Gue nggak apa-apa sakit toh gue udah pernah ngerasainnya, tapi kalau gue ambil Kak Juna dari keluarganya, yang sakit akan lebih banyak," ucap Faya menirukan cara bicara Nara. "Gitukan pikiran lo?"
Nara angkat wajahnya. "Lo mikirin orang tuanya Juna tapi lo nggak mikirin perasaannya Juna, bayangin dia bakal sehancur apa jika lo ngelepasin dia?"
Nara menggigit bibir bagian dalamnya. Dirinya sudah menggantungkan harap kepada sang kekasih namun di hadapan Faya, ia merasa dikuliti dengan kalimat yang rasanya tajam seperti pisau.
"Percaya Juna, dia akan usahain semuanya," kata Leo yang hadir membawa potongan kue coklat.
"Gue percaya Kak Juna, percaya banget."
Faya tersenyum puas, "dunia ini harus lo hadapi bagaimanapun keadaan lo, mau babak belur sekalipun dunia tetap berjalan, penyesalan tidak melakukan apapun akan terasa amat berat dibandingkan penyesalan lo yang udah mengusahakan apapun."
"Pacar gue keren, kan?" celetuk Leo yang kagum dengan kalimat yang keluar dari mulut kekasihnya.
"Yang!!" tegur Faya.
Leo hanya tersenyum memandang kekasihnya namun perlahan mata itu berganti fokus ke wanita satunya. "Sekarang lo mau ngapain?"
Nara tersenyum yakin berharap langkahnya kali ini tidak mudah tergoyahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
fine line [END]
RomanceNaraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupakan hingga ia memutuskan pergi menjauh. Yogyakarta menjadi obat yang mujarab bagi wanita yang ingin...