Jakarta menyakiti dirinya berkali-kali, hari ini wanita yang disangka kuat menundukkan kepala, air matanya mengalir tanpa diminta, Nara paham dan Nara tahu jika banyak yang mengkhawatirkan tentang dirinya, namun sakit dan patah membuat wanita ini menarik diri dari semua orang. Ia hanya ingin mencari ketenangan di keluarganya.
Duduk di kursi belakang bertepatan dengan jendela bus sebelah kanan, Nara tatap pohon-pohon yang berjalan mundur.
“Enam tahun lalu, gue titip sakitnya ke Jakarta. Saat ini Jakarta mengembalikan sakitnya lagi,” ucap Nara dengan kepala yang ia senderkan ke kaca.
Setelah mengirim pesan kepada Arjuna, ia mematikan ponselnya.
Tertidur. Nara meletakan sakitnya sementara.
Langkah demi langkah Nara ambil untuk bertemu keluarganya di Bandung, ia lihat Ibu dan Pandu sudah menunggu di ruang tamu.
Wajah ibu lusuh, ada bekas air mata di pipinya. Beberapa menit yang lalu Ibu menangis ditemani anak laki-lakinya.
Nara peluk tubuh sang Ibu, mencari kenyamanan di setiap gerak.
Hangat.
Lega.
Ia pejamkan matanya tanpa berbicara, begitupun sang Ibu. Wanita paruh baya ini hanya mendekap erat putri kesayangannya.
“Anak Ibu sudah besar, ya?” Diusap rambut panjang Nara. Nara anggukan kepala untuk jawaban dari pertanyaan ibu.
“Nak, jika memang seperti ini jalannya, kamu harus ikhlas, Ibu tidak mau kamu memohon-mohon untuk sesuatu yang tidak bisa kamu miliki, Ibu tidak tega melihat kamu seperti itu.”
“Ibu tau dari mana?” bisik Nara dengan suara parau.
“Mamanya Arjuna, dia bilang maaf ke Ibu karena sudah pisahin anak Ibu sama anaknya, dia bilang juga kalau dia tidak ingin Arjuna menjalani hidup yang sulit seperti dirinya. Mama Arjuna juga bilang pilihan orang tua itu jauh lebih baik untuk kehidupan anaknya.”
“Iya, Bu. Nara paham. Nara punya jiwa yang lapang buat Nerima semuanya.”
Nara tidak tahu bagaimana perasaan sang ibu, dimana ia harus mendengar ucapan yang seakan merendahkan anak dan keluarganya.
"Maaf."
"Maaf kenapa, sayang?"
"Maaf karena Nara, ibu jadi mendengar kalimat yang seperti itu."
Nara berucap seraya menahan tangisnya, ada marah yang terlintas membuatnya menyesali segala upaya yang pernah ia usahakan.
Setelah jadi pengemis restu, mereka ngelakuin ini ke ibu!
Hatinya terasa mendidih. Memutuskan hubungan dengan Arjuna tidaklah salah setelah ia mendengar penjelasan dari sang ibu.
“Putri Ibu sudah dewasa, Ibu yakin suatu hari nanti ada seorang dan keluarganya yang nerima kamu dengan apapun yang kamu miliki.” Dikecupnya puncak kepala Nara, “ibu buatkan minuman, ya? Kamu mau apa, sayang?” tambahnya.
“Apa aja, Bu.” Nara lepas dekapan itu, melihat ibu berjalan ke arah dapur untuk membuatkan minum untuk dirinya.
Netranya berganti memandang adiknya yang sudah dengan susah payah menahan tangis. Satu pelukan lagi, namun berbeda, saat ini Nara menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
fine line [END]
RomanceNaraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupakan hingga ia memutuskan pergi menjauh. Yogyakarta menjadi obat yang mujarab bagi wanita yang ingin...