38. Mereka

1.9K 165 14
                                    

Pandu berjalan menghampiri Dean di ruang tamu sembari membawa minuman, ia bertanya tentang apa kedatangan Dean ke rumahnya.

"Mau cek kondisi Nara," jawab Dean pasti.

"Pas baru dateng mukanya sok kuat banget, Bang. Nangis juga ujung-ujungnya."

"Iya gue liat."

Terdiam.

Dean mengingat kejadian dulu, saat Nara tidak menangis tentang sakit yang dirasakan. Pikir Dean melihat itu adalah yang paling sakit, ternyata keadaan Nara yang menangis hingga histeris juga menjadi yang tersakit.

"Bang, tolong jangan biarin Bang Juna ke sini dulu."

"Iya, gue juga udah bilang ke dia buat ngasih Nara waktu."

"Kak Nara baik-baik aja, kan, Bang?"

Dean bingung menjawab pertanyaan Pandu setelah apa yang dia lihat tadi, rambut yang berserakan dan tangisan histeris yang terdengar.

Nara tidak baik-baik saja, ia kehilangan sang pemilik hati.

Ponselnya berbunyi menampilkan nama Faya di layarnya.

"Gue dikit lagi sampe."

"Ke mana?"

"Ke rumah Nara lah."

Dean bangun dari duduknya dan menghindar barang sebentar dari Pandu. "Ke rumah gue dulu, sekalian gue ngomong tentang ini."

Faya mengerti, mereka juga harus menyusun rencana ke depannya, tentang pernikahan yang akan Arjuna gelar bersama Nara nanti.

"Gue balik dulu ya, Ndu" Pamit Dean, "Kaka lo nggak baik-baik aja," tambahnya, "jangan ditinggal, ya?"

Pandu yang mendengar hanya menghembuskan napas beratnya, dirinya juga memprediksi kalimat yang akan diucapkan Dean yang notabennya mengenal hubungan Nara dan Arjuna hingga saat ini.

...

"Lo udah kuat jalan?" tanya Dean yang melihat Arjuna datang bersama teman-temannya. "Katanya sempet dirawat?"

"Iya, sebentar doang."

Dean mempersilahkan teman-temannya masuk dan mengistirahatkan diri di ruang tamu.

Ini adalah kali kedua Arjuna datang ke rumah Dean, tidak ada yang berubah bahkan hadirnya disini juga sama tanpa adanya Nara.

"Lo mau di kamar aja?"

"Di sini aja," jawab Arjuna. "Dean?" panggilnya.

"Iya gue masih di sini."

"Kalau Nara bener-bener nyerah gimana?"

Semua mata tertuju ke Arjuna yang duduk dengan kepala tertunduk.

"Kenapa mikir gitu si, tolol. Lo aja belum coba ajak dia nikah,"saran Dean. "Coba dulu!" tambahnya.

"Seandainya Nara nolak untuk dinikahi, gue minta tolong untuk jaga Nara, bisa?"

Mata itu terpejam, rasanya Dean ingin sekali memukul Arjuna namun dirinya sadar ia tidak bisa menyakiti orang yang sakit seluruh tubuhnya.

"Lo ngomong apa si, Jun?" tanya Leo dengan serius.

Arjuna masih tertunduk, kepalanya berat untuk diangkat, seakan ia tidak sanggup menantang dunia.

"Sebelum Nara kenal lo, gue udah jagain dia, bahkan gue juga jagain adiknya." Dean menjeda kalimatnya. "Dunia Nara itu lo dan dunia gue bukan Nara."

Dean menatap Faya dan mulai mengelilingi pandangnya ke Leo dan Nathan. "Lo punya teman-teman yang dukung lo dengan penuh, mau enam tahun itu sia-sia?"

Dean yakin hati Arjuna saat ini tidak utuh, ia harap hari esok dapat menggapai kata kita kembali.

"Lihat gue?" Dean meminta Arjuna mengangkat kepalanya. "Lo rela Nara sama gue?"

Pandangan yang merangkak kini beradu dengan mata hitam milik Dean. Pertanyaan yang menyakitkan, tidak pernah ada dalam bayangnya melihat Nara bersama orang lain.

"Kalau nggak sama Nara, gue pilih mati aja."

"Lo bakalan sama Nara," tegas Dean.

Arjuna lihat teman-teman memandangnya dengan senyum, seakan meminta sang pria berlesung untuk tetap melangkah menggapai cintanya.

Kali ini Arjuna hanya ingin egois barang sejenak, ia ingin merebut Nara kembali, mengembalikan cinta mereka, meyakinkan sang wanita bahwa kini mereka akan melangkah menemui bahagia. Arjuna benar berharap agar Nara memiliki egois yang sama dengan dirinya.

Berbincang untuk hari esok, Arjuna dibiarkan beristirahat karena kondisinya yang cukup lemah.

"Tio nggak ikut?"

"Dia punya istri sekarang," jawab Nathan.

"Oiya."

Dalam rencana yang sederhana, mereka mulai menjalankan satu persatu, seperti Leo yang mengambil alih urusan penghulu.

"Kita nikahin mereka siri dulu?" tanya Faya.

"Lah iya, memangnya kita punya fotocopy kartu keluarga mereka, belum lagi cuci foto, surat pengantar dan embel-embel lain," jawab Nathan sembari mengunyah gorengan di mulutnya.

Jalan yang bisa mereka tempuh hanya sebatas ini.

Dalam diskusi Gama dan Ina datang membawa setelan jas dan gaun pengantin yang sederhana, tidak lupa tas make up yang ia pinjam dari staff Gama.

Malam yang menyambut membuat sibuk mengambil alih, semua dipersiapkan dan akan mereka pasang saat matahari terbit.

Rumah Dean menjadi ramai, dimana para pria tidur berjejer di ruang tamu sedangkan Ina dan Faya memakai kamar Reyhan -adik Dean-.

Hari telah berganti walau gulita masih menyelimuti.

"Lo udah nge-chat Nara?" tanya Ina ke Faya.

"Nih lagi ngetik."

Keduanya fokus menyusun kalimat.

Nara

Hari ini aja egois,
nggak apa-apa, Ra
Lo berhak bahagia sama Arjuna.
Gue tau dan gue paham
lo wanita yang kuat,
wanita yang nggak
mementingkan dirinya sendiri,
tapi tolong kali ini aja,
harus pentingin perasaan lo
Gue mau dapet kabar baik,
gue di sini tetap di sini, di sisi lo.

"Udah gue kirim," kata Faya dengan napas yang ia hembuskan berat.

"Cepet banget," rengek Ina yang berusaha menyusun kalimatnya.

Nara

Naranya gue yang cantik
Saat ini hati lo patah,
harap lo juga patah
Nangis sepuas yang lo mau,
tapi jangan nyerah.
Percaya sama takdir yang
Tuhan kasih walau jalannya
sulit, bukannya kita hamba-Nya
harus tetap tegar dan berusaha
menghadapi semuanya?
Gue tunggu bahagia lo.

Kedua wanita itu berdoa sejenak agar esok dapat berjalan lancar dan berharap Tuhan mampu menghilangkam sifat Nara yang mementingkan orang lain terlebih dahulu.

Di sisi lain ada Arjuna dan Nara terlelap dalam gelapnya, ada hayal yang indah seakan harap itu dapat dirasakan walau hanya dalam mimpi.

---

Dikit lagi ending, yuhuuu😁

fine line [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang