Sang fajar memperlihatkan diri, menyapa bumi dengan begitu hangatnya. Ia enggan ambil peran tentang sakit yang dirasa para insan, tugasnya hanya satu, tetap menyebarkan hangat untuk seluruh alam.
Arjuna yang baru saja bangun dari tidur dengan manik yang mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa ia benar-benar tersadar. Pria ini tidak melihat Nara disebelahnya, ia ambil ponsel dan membaca notifikasi dari sang mama yang mengatakan bahwa ia telah membicarakan sesuatu yang sudah pasti menyakitkan hati wanitanya.
Bangun dengan terburu-buru, berlari ke arah luar kamar, Arjuna takut jika harus kehilangan Nara lagi, dirinya sungguh takut jika Nara pergi tanpa kabar.
Ia ketik satu pesan permintaan, lebih tepatnya satu buah permohonan.
Nara
Tolong, jangan pergi lagi.
...
Sedangkan di dapur ini Nara berusaha mencari sesuatu untuk di minum. Air matanya tidak berhenti mengalir. “Gue bilang jangan nangis! Nara cantik! Nara sabar! Lo aja bisa ngelewatin sesuatu yang lebih besar dari ini.” Nara raup semua oksigen yang mulai menipis di paru-parunya.
“Bapak, Nara salah apa si? Bapak tolong sampein sama Tuhan, kalau kasih Nara ujian jangan selalu tentang mengikhlaskan.” Isakan tangis itu terdengar, namun tidak kencang untuk bisa membangunkan Arjuna yang terlelap.
Terduduk, Nara ratapi semuanya. Ia gigit bibir bawahnya, dadanya naik-turun saat kalimat yang terucap Mama Arjuna terlintas kembali di kepalanya.
Wanita ini menimbang-nimbang apa yang harus dirinya lakukan. Tetap bersama tanpa restu, atau melepaskan dengan paksa.
Bangkit dari duduknya, Nara mencoba mengatur napas beratnya, rentetan ramalan untuk masa depannya ia gambar, mulai dari rasa bahagianya dengan Arjuna hingga khayalannya yang melihat Arjuna duduk di pelaminan bersama seorang wanita cantik.
Nara kaget bukan main saat melihat seorang yang ia pikirkan tertangkap netranya dengan tergesa-gesa pergi ke arah luar, ia panggil kekasihnya itu.
“Kak? Mau ke mana?”
Arjuna yang mendengar suara Nara akhirnya menghentikan langkahnya, ia dekati sumber suara itu dengan cepat, direngkuhnya tubuh Nara dengan begitu erat, napas yang berpacu dengan emosi dan rasa takut membuat Arjuna meneteskan air mata dipelukan wanitanya.
Nara yang terkejut akan perlakuan Arjuna hanya dapat mematung. Beberapa detik terlewatkan, wanita ini mulai memastikan sesuatu. “Kak, kamu kenapa?”
“Tolong, jangan pergi lagi,” bisik Arjuna dengan suara paraunya. “Jangan pergi, aku nggak sanggup tanpa kamu.”
“Iya, aku di sini, aku nggak ke mana-mana. Aku di samping kamu terus.”
Arjuna semakin merengkuh tubuh Nara, jarak yang terhapus membuat Nara menjinjit, rengkuhan itu semakin erat dan tangis itupun terdengar jelas di telinga Nara.
“Kak, kamu kenapa si?” tanya Nara bingung. Dalam pikirannya saat ini bukankah seharusnya ia yang sekarang menangis.
“Sayang pegel,” ucap Nara.
Arjuna tetap tidak melepaskan pelukannya, ia takut wanitanya hilang, ia takut Naranya pergi. Arjuna angkat tubuh Nara untuk duduk di meja dapur. Wanita manis ini semakin frustasi dibuatnya, Arjuna yang tanpa bicara, Arjuna dengan tangisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
fine line [END]
Любовные романыNaraya Adisthi pernah menjadi secret admirer seorang Arjuna Bagaskara, hingga kenyataan menamparnya dengan gagah, dirinya pernah dipaksa untuk melupakan hingga ia memutuskan pergi menjauh. Yogyakarta menjadi obat yang mujarab bagi wanita yang ingin...