Jaemin merasa takjub dengan apa yang ia lihat. Seperti rumah dengan barang-barang mahal.
Bahkan ia melihat ada meja billiard juga di sana. Dan dispenser yang berkilau seperti terbuat dari emas. Ia pikir sebelumnya ia hanya berurusan dengan orang kaya biasa. Ternyata ia berurusan dengan orang kaya kurang kerjaan dan sepertinya punya banyak masalah. Tapi itu hanya penilaian subjektifnya.
Mungkin orang-orang di luar sana sebenarnya sudah terbiasa dengan labirin gelap gulita yang mematikan seperti apa yang baru saja ia lewati. Itu seperti kode kunci brankas. Tapi ia harus berjalan sejauh ratusan meter, karena ia sekarang sudah lapar lagi.
Keduanya berjalan masuk dan pintu kembali menutup setelah Jeno menekan sebuah tombol yang dilapisi bahan metal, yang terletak tepat di samping ambang pintu.
Akhirnya ... aku keluar juga dari kegelapan yang panjang itu ...
"Jadi selama ini setiap kali kau ingin masuk, kau selalu melewati jalan itu? Dengan cara tadi? Sulit dipercaya."
"Itu memang satu-satunya akses. Kau akan lebih memilih untuk berpetualang di dalam labirin rumah kaca dan labirin di pulau Jeju ketimbang Lost Bets."
"Lost Bets?" pertanyaan Jaemin mengimplikasikan ketidakpahaman dan permintaan penjelasan.
"Iya, Lost Bets. Itu adalah nama labirin gelap yang tadi kita lewati."
"Lalu bagaimana dengan pintu ini?"
"Kau lihat sendiri kan tadi aku menekan tombol ini untuk menutupnya? Itu juga adalah cara untuk membukanya dari dalam. Dari luar aku harus menggunakan sidik jari untuk membuka dan menutup pintu ini. Nanti akan kuatur ulang alat pemindainya sehingga kau juga bisa menggunakan sendiri pintu ini menggunakan sidik jarimu."
Tidak ada jendela di tempat itu. Mereka mendapatkan oksigen dari AC dengan suhu normal. Pendingin ruangan itu akan berpindah fungsi menjadi penghangat sesuai kebutuhan. Meski sebenarnya jika tidak memakai AC pun mereka masih bisa bernapas. Hanya saja pendingin itu memperbagus kualitas sirkulasi udara.
"Selamat datang di Dreamland, markas Rocket Paradise."
"Dreamland? Rocket Paradise?" Jaemin hanya melongo bingung, menunggu musik dramatis diputar dan ternyata ia baru saja kena prank dengan diputar-putar di ruangan gelap tadi.
Tapi Jeno lalu tersenyum sinis kembali dan tidak ada kamera statiun TV manapun yang muncul. Jadi sepertinya asumsi Jaemin sekali lagi salah.
"Duduklah." Jeno mempersilakan. Mereka duduk berhadapan di atas sofa. "Ini adalah rumahku. Sebuah tempat persembunyian. Dreamland adalah nama markas ini. Mark, Jisung, dan aku, tinggal bersama di sini sebagai sebuah kelompok. Dan Rocket Paradise adalah nama kami."
"Memang kalian kelompok apa sampai harus punya markas segala?"
Jaemin sebenarnya bisa membayangkan hanya ada dua kemungkinan sebuah tempat disebut markas. Jika tidak instansi keamanan milik pemerintah, maka milik kelompok ilegal terorganisir. Atau lebih singkatnya yakuza. Tapi karena ini bukanlah Jepang, jadi mari menyebutnya sebagai mafia. Mungkin tiga jika kau memasukkan anak-anak kecil yang membuat rumah pohon dan menyebut rumah itu markas.
"Gambler," jawab Jeno membuyarkan lamunan Jaemin.
Jaemin terdiam beberapa detik sebelum, "Apa?!"
"Yang terbesit dalam benakmu pasti adalah hal-hal yang sangat negatif. Tapi kami tidak demikian. Kami hanya sekelompok penjudi. Tidak lebih."
Jaemin memutar bola mata. Seperti judi bukan masalah besar saja? Na Siwon—ayah Jaemin—adalah seorang penjudi. Dan lihat di mana Jaemin sekarang? Miskin, tidak memiliki tempat tinggal, dan hamil anak seorang brengsek macam Jeno. Jadi tentu saja judi bukan masalah besar, haha. Betapa komikal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rocket Paradise (NOMIN)
Fanfiction[R E M A K E] Bukan salah Jeno jika ia membawa Jaemin ke tempat yang tidak pernah Jaemin bayangkan akan ia lihat di dalam hidupnya. Jaemin sendiri yang sudah memaksa bahkan memohon-mohon untuk ikut. Maka untuk apa pun yang akan menimpanya di masa de...