18

171 29 5
                                    

"Lee Jeno bukanlah seseorang yang kau inginkan."

Suara rendah Jaehyun yang membisik di telinga Jaemin terasa lebih menggelitik ketimbang lelucon relatable anak remaja yang sering kau dengar. Jaemin membenci ini, tapi dia harus mengakui bahwa suara Jeno terasa lebih merdu ketimbang pria yang saat ini sedang menindih tubuhnya hati-hati di atas ranjang.

Jaemin juga tidak bisa mempercayai ini. Bahwa Jaehyun akan melakukannya hingga sejauh ini. Atau tidak, lebih tepatnya ia tidak percaya bahwa ia akan bersedia diajak pria itu melakukan apa pun hingga sejauh ini. Atau setidaknya ia ingin meminta tolong siapa pun untuk menyadarkan dirinya yang terjerat dalam sebuah lamunan panjang dan mengacaukan akal sehat.

Sekarang bahwa Jaehyun sudah berhasil membawa pria indah idamannya itu sejauh ini, ia tahu bahwa ia dan Jaemin hampir sampai. Ia menginginkan sesuatu yang lebih mendalam ketimbang sekadar dekapan ringan.

"Katakan kau menginginkanku."

Seketika keraguan hebat menyergap seisi pikiran Jaemin.

"Katakan kau menginginkan Jaehyun." Sementara itu Jaehyun meminta dengan penuh pengharapan. Memelas. Jaemin bisa menangkap sebuah paksaan menyelubung di dalam deretan aksara bersilabel sebelas.

Seketika dahaga menyerang. Tenggorokannya terasa kering dan meradang. Jaemin membutuhkan asupan air mineral sebanyak yang ia bisa meminumnya, tapi ia harus berjalan keluar ruangan untuk bisa meraih gelas-gelas besar yang tertata apik di dalam kabinet yang dengan begitu baik sang empunya rumah rawat. Jadi ia hanya bisa meneguk ludah untuk sekadar menjadi pelumas sementara. "Hyung, mungkin saat ini Chenle dan Mark sedang mencariku ..."

Mengerti dengan sebuah penolakan terimplikasi, si pria mengernyitkan dahi. "No, Na Jaemin. Don't! I wanna invite and slip you into our another level of life." Meraih tangan ringkih Jaemin yang sekilas tampak tangguh dengan penegasan urat-urat yang menyembul, ia mengecupnya dalam seduksi dan berkata dengan seksi, "Let's have a child with me." Ia siap menginvasi Jaemin.

Ini terasa begitu benar, namun terasa begitu salah. Jaemin tidak tahu apa kalimat penolakan terbaik lain yang bisa ia susun dalam bentuk pesan suara.

Tapi ia bisa melupakan itu. Karena ia mendengar sebuah suara.

Telepon genggamnya berdering. Di atas nakas, getaran gelombang normal itu di dalam ruangan hening dan penuh ketenangan ini jadi terasa nyaring.

Mungkin hal kecil itu tidak mampu menghentikan pergerakan Jaehyun. Tapi setidaknya kebingungan atas jawaban yang harus Jaemin berikan oleh bel terselamatkan.

Ia hendak bangun untuk mengambil benda berisik yang tanpa henti mengusik, jika bukan karena tubuh kekar di atas tubuhnya menahannya.

"Not a chance. Kau boleh mengangkat teleponmu tapi aku tidak mengizinkanmu untuk bangkit." Tatapan creepy itu menyiutkan nyali, membuat sang objek tatapan merasa semakin ngeri.

Tapi mari kita katakan bahwa saat ini Jaemin tidak punya pilihan. Jadi demi mengambil ponselnya dia meregangkan lengan, di atas layar meluncurkan jemari tangan, tanpa repot-repot melirik nama menjawab panggilan. "Halo?"

"Jaemin, kau di mana? Cepat bawa Jeno kemari. Kami membutuhkan kalian." Suara di seberang terdengar terburu-buru. Putus asa disaputi prasangka bersatu padu.

"Mark, aku-AKH!"

Tanpa aba-aba, kedua tubuh itu akhirnya menyatu.

Jaehyun tidak bisa lagi menahan diri dari saputan nafsu yang menggebu.

"Jaemin? Apa yang terjadi padamu?"

"Mark-hhh ..." Jaemin berusaha tetap stabil pada genggaman ponsel di tangannya. Sebisa mungkin tetap mendengarkan dengan baik suara sang leader di seberang sana.

Rocket Paradise (NOMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang