"The heck are you thinking? Blaming Jaemin until he left when it was all your fault?"
Di seberang telepon, Tiffany memijat pelipisnya, tidak habis pikir dengan kelakuan anaknya sendiri. Ia kira dengan menikah dan punya anak, Jeno bisa berubah, menjadi sedikit lebih dewasa dari biasanya, setidaknya. Nyatanya sama saja. Seperti anak kecil yang hanya bermain rumah-rumahan.
"Aku kesal, memangnya hanya dia satu-satunya yang kelelahan? Aku juga kan lelah setelah mengurus sebuah perusahaan besar." Jeno membela diri dengan frustrasi.
"You need to understand his situation. Ia berjuang keras merawat Jaehee yang menangis tengah malam. Itu pekerjaan yang sangat melelahkan. Kau juga waktu bayi dulu menyusahkanku seperti itu, dan ayahmu tidak mau membantu. Jadi aku paham betul perasaan Jaemin." Tiffany berempati sebagai sesama ibu.
Salah memang bercerita jujur pada ibunya. Bukannya langsung diberi solusi, malah mengadu nasib. Dan bukannya membela anak sendiri, malah lebih membela menantunya. Menantu kesayangannya yang paling lembut, penyabar, dan baik hati—pujian yang selalu Tiffany lontarkan pada Jaemin. Sedangkan anaknya sendiri malah disalahkan dan dimarahi seperti pada anak tiri. Bukannya itu terbalik? Jeno sedikit menyesal sudah menghubungi ibunya.
"Tapi aku dan Jaehee ditinggalkan begitu saja. Ibu macam apa dia itu? Benar-benar tidak bertanggung jawab."
"Apanya yang tidak bertanggung jawab heh? Kau sendiri yang memintanya pergi. Sekarang rasakan susahnya mengurus anak sendiri."
"Ya sudah, sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa lagi saat Jaehee menangis seperti ini, dan aku tidak bisa menenangkannya. Susah sekali."
"Oke, kalau bukan karena lapar atau buang air, coba gendong dan ayunkan perlahan, sambil usapi punggungnya dengan lembut."
"Itu juga sudah kucoba, tapi masih percuma."
"Lalu kau menyerah begitu saja? Terus lakukan sampai ia diam."
"Badanku sudah pegal, mom. Sebentar lagi patah nih."
"Halah, baru segitu saja sudah mengeluh. Dasar lemah. Pria macam apa kau? Apa kau pernah mendengar Jaemin mengeluh setelah menggendong dan mengurus Jaehee seharian?"
"Tidak," jawab Jeno sangat pelan, karena mau tidak mau ia harus mengakui kalau apa yang baru saja dikatakan ibunya itu memang benar adanya.
"Ya sudah kalau begitu kau juga jangan cepat menyerah. Lakukan lagi lebih lama. Masa kalah sama Jaemin? Sudah, aku sedang sibuk. Kau sih ganggu saja. Dasar suami tidak berguna."
"Tunggu dulu—yah ditutup. Dasar monster menyebalkan." Untung saja Tiffany tidak mendengar itu. Kalau sampai ia mendengarnya, habislah Jeno.
Lima menit Jeno melakukan saran dari ibunya, Jaehee masih menangis keras. Bahkan wajah bayi itu sampai memerah. Jadi Jeno kembali menghubungi ibunya.
"For fuck sake, Lee Jeno. Ini baru lima menit. Kau ini tidak punya tekad berjuang ya. Kebiasaan hidup enak dari kecil sih, jadi tidak mau berpikir dan berusaha."
Jeno mematung. "Aku belum mengatakan apa pun loh mom ..."
"Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan. Tangisan Jaehee masih terdengar jelas, sama seperti tadi. Kau ini bisa tidak sih jadi ayah? Makanya kalau tidak bisa, jangan gegabah membuat anak di usia dini."
Sial, malah mengungkit ke sana lagi. Dasar ibu-ibu domestik reguler. Meski ibunya wanita karir yang sukses, tetap saja jiwa ibu rumah tangganya meronta-ronta kalau sudah menyangkut soal anak, apalagi cucu kesayangannya.
"Solusi, mom. Solusi. Itu yang kubutuhkan. Bukan ceramah." Jeno berkata malas.
"Kau berani menjawabku? Dengan nada seperti itu? I swear to god, if your physical shape were here I'd whoop your ass til you get into the supernova."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rocket Paradise (NOMIN)
Fanfic[R E M A K E] Bukan salah Jeno jika ia membawa Jaemin ke tempat yang tidak pernah Jaemin bayangkan akan ia lihat di dalam hidupnya. Jaemin sendiri yang sudah memaksa bahkan memohon-mohon untuk ikut. Maka untuk apa pun yang akan menimpanya di masa de...