4

537 59 7
                                        

"Tumben kau memasak. Mmm enak."

Jeno menikmati sarapannya di meja makan bersama siapa lagi kalau bukan Jaemin, Mark, dan Jisung? Ia tampak lebih tampan dengan baju seragam sekolahnya saat ini. Dibandingkan dengan penampilan—gambler—nya di luar jam sekolah.

"Jaemin yang memasak," tanggap Mark. Ia tertawa dalam kepala.

Jeno berhenti mengunyah seketika.

Untuk sesaat ia menyesal telah memuji masakan itu. Tadinya ia pikir Mark yang melakukannya.

"Bagaimana? Kau suka?" Jaemin bertanya penuh harap. Ia sebenarnya tidak bisa memasak. Tapi ia melihat ada tumpukan buku resep masakan di dalam kabinet tadi. Jadi ia mengambil salah satu dan membuka bab menu makan pagi. Dan mulai memasak sesuai prosedur dalam buku secara sistematis, berusaha melakukan yang terbaik. Untuk mendapatkan yang terbaik. Jadi tidak ada salahnya mengharap sedikit apresiasi dari orang yang dituju. Jeno.

Jeno ingin bilang tidak. Tapi ia sudah telanjur mengatakan hal positif tentang makanan itu. Maka seperti ini ia menjawab, "Ya. Tapi aku lebih menyukai masakanku sendiri." Tanpa ada gairah untuk melihat wajah Jaemin sedikit pun.

Jaemin mengiringi tarikan napas dalamnya dengan kesabaran.

"Ingat apa yang harus kau katakan setelah seseorang memberimu sesuatu?" Mark berujar seperti orang tua yang sedang mengajari anak balitanya tentang manner. Tiga kata utama yang paling kau butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Tolong, maaf, dan terima kasih.

Jeno menoleh pada Jaemin dan menyemat senyum paksa, "Terima kasih Jaemin." Yang benar-benar dipaksakan. Bermaksud untuk merendahkan Jaemin. Jisung menggeleng melihat kelakuan Jeno.

Mark juga melihatnya. Tapi ia tersenyum, tetap menghargai Jeno yang bersedia mengucapkan itu, "Anak pintar." Dan dengan satu pujian itu ia semakin terlihat seperti memperlakukan Jeno sebagaimana orang tua memperlakukan anak kecil.

Jeno tiba-tiba menyeringai. Jaemin yang melihat itu sempat bertanya-tanya apakah Jeno sedang merencanakan peledakan bom atau baru membeli virus mematikan untuk menguasai dunia?

"Bagaimana kalau sesuatu yang orang itu berikan adalah sebuah tanggung jawab? Apakah kita harus berterimakasih juga?" setengah mengejek. Atau mungkin memang sindiran telak. Sarkastis. Sama sekali tidak manis. Seingatnya selama ini ia hanya bisa bersikap manis di hadapan para gadis.

Pertanyaan barusan memang ia lemparkan pada Mark. Namun semua orang di sana tahu betul kepada siapa sarkasmenya ditujukan. Jaemin. Dan yang ia lihat adalah kali ini giliran Jaemin yang berhenti mengunyah. Terlihat seperti tiba-tiba kehilangan nafsu makan.

Jeno masih saja suka menyindir Jaemin sejak terakhir melakukannya di Lunar Labirynth semalam.

Jaemin tentu saja merasa kesal. Namun ia hanya diam saja.

Ngomong-ngomong apa yang ia pertanyakan dalam pikirannya tentang seringaian Jeno barusan tidak ada yang benar. Payah.

Setidaknya sindiran Jeno tidak mengakibatkan sebuah ledakan atau kematian. Meski tetap saja terdengar sangat menyebalkan.

Mark tersenyum ringan. Seringan ia menjawab, "Tentu." Satu kata berbau stoik yang bukan merupakan tipikal ia.

Dahi Jeno mengerut. Tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu, "Kenapa?"

"Karena dengan itu kau belajar bagaimana memikul tanggung jawab. Kau masih tidak suka bertanggung jawab kan terkadang? Soal sekolahmu misalnya?" Mark dengan sikap kasualnya. Ia menenggak jus jeruknya dengan santai.

Sial, batin Jeno. Kenapa harus diingatkan lagi sih soal kesalahannya di masa lalu itu? Sekarang kan ia akan belajar dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab atas pendidikannya.

Rocket Paradise (NOMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang