Jiyeon memutuskan pulang ke rumah ayahnya setelah kejadian di rumah Eunwoo, sungguh gadis itu benar-benar frustrasi dengan hidupnya sendiri. Sangat kecewa pada Jungkook, ditambah lagi kedatangan Eunwoo dengan fakta mengejutkan. Saat ini Jiyeon tidak tahu harus bagaimana mengatasi semuanya. Itulah mengapa dia memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya. Sang ayah cukup terkejut dengan kedatangan Jiyeon yang tiba-tiba, namun gadis itu meyakinkan ayahnya jika dia baik-baik saja hanya rindu pada sang ayah.
Jiyeon memasak makan malam banyak sekali, padahal hanya untuk berdua dengan ayahnya. Entahlah, Jiyeon senang melakukannya sebab terakhir kali masa untuk ayahnya sudah lama sangat lama. Ah, rasanya Jiyeon benar-benar menjadi anak yang buruk selama ini. Memang ayahnya jarang di rumah lebih banyak menghabiskan waktu di kantor mengurus kasus, selama ini keduanya memang jarang bertemu apalagi ketika Jiyeon memutuskan tinggal di apartemen kala itu. Itulah mengapa malam ini Jiyeon ingin menebus semuanya, membuat makanan kesukaan sang ayah tercinta.
Jiyeon tersenyum cerah melihat hasil masakannya di atas meja, ternyata skill memasak yang diturunkan dari sang ibu tidaklah sia-sia.
"Ayah! Makanan sudah siap!" Teriak Jiyeon, dibalas hal yang sama dari Tuan Park.
"Ya! Tunggu sebentar!"
Tuan Park sangat senang bisa makan malam bersama putrinya lagi setelah sekian lama, meskipun dalam hati dia masih khawatir putrinya datang dengan tiba-tiba, pasti ada sesuatu.
"Kau sungguh tidak sedang bertengkar dengan suamimu?" Tanya Tuan Park lagi, Jiyeon mendengus sebelum menatap ayahnya.
"Tidak, Ayah. Kami baik-baik saja, kok."
"Syukurlah kalau begitu, jika suamimu berbuat salah maka maafkanlah, Nak. Selama kesalahan yang dia buat dalam batas wajar dan dia menyesal."
"Iya, Ayah." Jiyeon memberikan lauk pauk di piring ayahnya, "Sekarang Ayah makan yang banyak, aku tahu ayah hanya makan makanan instan kan jika sedang ada kasus."
Tuan Park tersenyum, "Mau bagaimana lagi, terlalu sibuk untuk memasak."
"Setidaknya beli makanan sehat, Ayah."
"Iya-iya, kau bawel seperti ibumu."
"Aku bawel karena sayang pada Ayah."
Tuan Park memasukkan makanan ke dalam mulutnya, "Emm—masakanmu memang enak, sudah lama tidak merasakan makanan rumah."
"Ayah tidak mau menikah lagi?"
"Uhuk—” Tuan Park seketika tersedak mendengar penuturan putrinya, buru-buru Jiyeon menuangkan air mineral.
"Ya ampun, apa pertanyaanku sehoror itu?"
"Kau ada-ada saja, Ayah sudah tua."
"Justru karena Ayah sudah tua seharusnya ada seseorang di samping Ayah, menemani dan merawat. Aku—tidak bisa selalu bersama Ayah setiap hari."
Tuan Park tersenyum, "Dengar Nak, Ayah terlalu tua untuk menikah lagi. Memangnya ada yang mau?"
"Ayah masih tampan untuk usia paruh baya." Tawa Tuan Park meledak seketika, Jiyeon sampai heran.
"Berhentilah, Nak. Tidak ada wanita yang sesabar ibumu, selalu ditinggal demi tugas negara. Kau tahu—bahkan ibumu tidak mengeluh pergi ke rumah sakit seorang diri ketika melahirkanmu. Saat itu Ayah sedang memburu pembunuh berantai, tidak bisa menemani ibumu. Coba kau pikirkan, apa ada wanita seperti ibumu di zaman sekarang?"
Jiyeon mengerti, ayahnya hanya tidak ingin mengkhianati mendiang ibunya. Gadis itu terharu, beruntung sekali sang ibu begitu dicintai oleh ayahnya. Jiyeon berpikir apakah dia bisa merasakan begitu dicintai suatu saat nanti? Tanpa ada rasa sakit dan pengkhianatan. Mengingat perjalanan cintanya hingga saat ini, rasanya Jiyeon sendiri ragu akan menemukan cinta sejati.
"Ayah sangat mencintai ibu?"
Tuan Park tersenyum, "Ya, tidak ada yang bisa menggantikan ibumu sampai kapan pun."
"Ibu sangat beruntung dicintai oleh Ayah…"
"Kau lebih beruntung dicintai oleh orang seperti Jungkook." Goda Tuan Park, Jiyeon hanya tersenyum perih. Dicintai Jungkook? Itu hanya sebuah angan-angan sebab Jungkook tidak pernah mencintainya dan mungkin tidak akan pernah. Suaminya itu justru mencintai gadis lain, ah—jika mengingat hal tersebut hati Jiyeon terasa sakit sekali. Jadi, apa itu artinya Jiyeon telah jatuh cinta pada Jungkook?
Tidak! Jiyeon tidak boleh jatuh cinta lagi jika enggan merasakan sakitnya kehilangan. Suara bell menyadarkan Jiyeon dari pikirannya.
"Siapa yang bertamu jam segini?" Tuan Park jarang sekali menerima tamu ke rumahnya, lebih sering ke kantor mengingat dia seorang jenderal.
"Biar aku yang lihat, Ayah."
Jiyeon bergegas menuju pintu depan, namun dia menyesal setelahnya sebab Jungkook yang berdiri di sana. Keduanya terdiam kikuk satu sama lain beberapa saat.
"Kenapa kau datang kemari?"
"Jiyeon, aku—”
"Jungkook! Ayo masuk!" Tuan Park tiba-tiba muncul dan menarik Jungkook ke dalam rumah, "Sudah kuduga itu kau, pasti kau tidak tahan berlama-lama ditinggal Jiyeon kan? Heol—padahal istrimu baru kemari tadi pagi."
Jungkook tersenyum canggung, "Iya Ayah." Kini Jungkook tahu jika mertuanya tersebut tidak tahu mengenai kekecewaan Jiyeon pada dirinya. Itu berarti Jiyeon tidak menceritakan apapun pada ayahnya. Jiyeon mendesah, dia sedang tidak ingin melihat Jungkook, pria itu justru menemuinya.
"Ayo, Nak. Jiyeon tadi masak banyak sekali, kita makan malam bersama." Tuan Park begitu antusias mendudukkan Jungkook di meja makan, sementara pria itu merasa tidak enak apalagi Jiyeon menatapnya sangat dingin sejak tadi. "Jiyeon! Cepat siapkan makanan untuk suamimu, kau ini lamban sekali!"
"Jungkook bukan anak kecil, Ayah! Dia bisa ambil sendiri!"
"Aigoo—kau ini, memang bukan anak kecil, tapi seorang istri wajib melayani suaminya." Malas mendengar ocehan sang ayah, Jiyeon pun memasukkan nasi dan lauk-pauk ke dalam piring Jungkook. "Kurasa kalian memang sedang perang dingin."
"Mau kusuapi juga, Sayang?" Jiyeon tersenyum manis pada Jungkook, "Kami baik-baik, saja kok. Ya, kan Jungkook?"
"Ya, kami selalu mesra, Ayah. Nah, ayo suapi aku, Sayang!"
Ada kilatan kekesalan di mata Jiyeon yang Jungkook abaikan, dia akan memanfaatkan ketidaktahuan mertuanya untuk mendekati sang istri. Akhirnya Jiyeon menyuapi Jungkook agar ayahnya tidak curiga, Tuan Park amat sangat bahagia melihat keduanya. Tidak ada hal lain yang dia inginkan di dunia selain kebahagiaan putrinya.
"Masakan Jiyeon adalah yang terbaik, Ayah!" Puji Jungkook membuat senyuman itu terukir kembali di bibir Tuan Park.
"Ya, tentu saja. Kau beruntung memiliki putriku."
Jungkook tersenyum, dia menatap Jiyeon dalam, "Ya, aku sangat beruntung Ayah, itulah sebabnya aku tidak mau kehilangannya." Jiyeon jadi salah tingkah sendiri mendengar ucapan Jungkook, namun dia enggan larut dalam tipu daya pria itu.
"Kalau begitu jangan sampai kehilangan, jaga putriku dengan baik."
"Itu pasti, Ayah."
Kata-kata Jungkook benar-benar seperti seorang suami yang sungguh-sungguh, namun mengingat semuanya hanya angan-angan semu rasanya hati Jiyeon amat sangat sesak. Selesai makan malam, Jiyeon segera membersihkan semuanya lalu mencuci piring seorang diri sebab ayahnya memang hanya memperkerjakan seseorang membersihkan rumah di pagi hari selebihnya dikerjakan sendiri.
Jungkook menghampiri Jiyeon yang sedang sibuk dengan piring-piring kotor dan berniat membantu. "Biarkan aku membantumu."
"Tidak perlu, lagipula seumur hidupmu kau pasti tidak pernah mencuci piring kan?"
Jungkook menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Memang, tapi bukan berarti aku tidak tahu caranya mencuci piring. Aku punya otak jenius untuk—” Ucapan Jungkook terhenti sebab Jiyeon menatapnya dingin, pria itu tidak bisa berkutik hanya dengan tatapan mata. Sejujurnya Jungkook sangat ingin memeluk gadis itu, menciumnya, dia rindu seperti lama tidak bertemu.
"Aku tidak mau ada yang pecah!"
"Tck—baiklah jika kau tidak izinkan." Suasana kembali hening hanya terdengar suara air beradu dengan suara piring dan gelas. "Aku minta maaf…." Jiyeon sempat menghentikan aktivitasnya selama beberapa detik mendengar ucapan sang suami.
"Aku menyesal Jiyeon, kemarin—ada urusan yang sangat mendesak jadi aku melupakan janji kita. Maafkan aku, kau boleh menghukumku apa saja tapi tolong jangan mendiamiku begini."
"Tidak perlu minta maaf, Jungkook. Aku bukanlah sesuatu yang penting bagimu. Aku bukan apa-apa sehingga kau harus repot-repot minta maaf."
Perkataan Jiyeon amat sangat menohok batin Jungkook, pria itu memegang kedua bahu Jiyeon untuk menghadapnya. "Kau penting bagiku, Jiyeon. Kau sangat penting, makanya aku seperti orang gila kemarin mencarimu."
"Kalau aku penting, kau setidaknya punya waktu untuk mengirimiku pesan. Setidaknya aku tidak perlu terus menunggumu."
"Maafkan aku…. aku salah." Jungkook menunduk sedih, dia benar-benar menyesal atas apa yang telah terjadi. Jiyeon menyelesaikan pekerjaannya, semua telah selesai dia cuci.
"Tidak apa-apa, Jungkook." Jiyeon hendak pergi meninggalkan sang suami, pria itu dengan sigap memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku, kumohon Jiyeon." Kalau sudah begini, Jiyeon bisa apa selain memaafkan?
***
"Terima kasih Jieun, kau mau memberiku kesempatan sekali lagi—aku janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kau berikan." Jimin menggenggam tangan istrinya merasa bersyukur telah dimaafkan, Jieun segera menarik tangannya kembali.
"Ya, semoga saja kau tidak menyakiti aku lagi."
"Aku janji, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama."
"Ini bukan hanya soal kesalahan yang sama atau tidak, ini soal kau harus melupakan Jiyeon!"
"Iya, maafkan aku Jieun."
"Kau terlalu banyak minta maaf, kau tahu aku tidak butuh itu. Maaf tidak menyembuhkan apapun, Jimin."
Meski telah memaafkannya, Jimin tahu Jieun masih terluka parah di hatinya dan seumur hidup gadis itu tidak akan pernah lupa. Ya, itu adalah konsekuensi yang harus dia tanggung akibat kesalahan besar yang dia lakukan. Sementara Jieun, hatinya sudah terlanjur sakit namun dia tidak mungkin berpisah dengan Jimin di usia pernikahan yang baru beberapa hari. Apa kata orang nanti? Semua orang tahu hidup Jieun sempurna meski hatinya berdarah.
"Soal bulan madu, apa kau ingin mengubah rencana?" Jimin berusaha mencairkan suasana kembali, mencoba menarik hati sang istri.
"Ya, tentu saja. Aku tidak lagi ingin pergi kemana pun setelah semua yang terjadi." Jimin hanya mampu mendesah, apa yang dia harapkan setelah apa yang dia lakukan pada istrinya? Masih untung gadis itu tidak langsung menceraikan dirinya.
"Baiklah, aku akan menebus semuanya Jieun. Apapun akan kulakukan agar kau tersenyum lagi untukku."
Jieun hanya menatap Jimin dingin, berusaha mencari kebohongan di sana. Tentu Jieun tidak akan pernah lupa perkataan Jimin yang ingin menukar dirinya dan Jiyeon tempo hari, sungguh jika mengingat hal tersebut rasanya seluruh jiwa Jieun dibuat hancur berkali-kali. Ternyata dia tidak berarti apapun bagi Jimin. "Jangan menjanjikan apapun jika hatimu masih dipenuhi orang lain." Perkataan Jieun kembali menohok batin Jimin, akhirnya keduanya terdiam dan fokus pada makan malam masing-masing.
***
"Kau bisa tidur dengan nyaman, walaupun kasurnya tidak semewah yang ada di rumahmu?" Jiyeon baru saja selesai membersihkan tempat tidur, sedang Jungkook setia berdiri menunggu Jiyeon selesai.
"Aku akan nyaman jika bersamamu." Goda Jungkook namun tidak ditanggapi oleh gadis di depannya. Meski Jiyeon mengatakan telah memaafkan Jungkook, pria itu tahu jika sang istri masih kecewa dan marah.
"Kau tidur saja, aku tidur di bawah." Jiyeon pun menggelar kasur tipis serta selimut di lantai, Jungkook terbelalak melihatnya.
"Tunggu—kenapa kau tidur di bawah?"
"Kasurnya kecil, kau saja tidur di sana. Aku lebih suka di bawah sini."
"Jiyeon, kenapa juga suami istri tidurnya terpisah hmm? Kita bahkan tidak sedang pisah ranjang!"
Jiyeon mendesah, "Jungkook—sudah kubilang kasurnya kecil. Kau tidak suka tempat sempit kan? Sudahlah tidur saja okay?! Lagipula kau kan tamu di sini, kau tidak boleh tidur di bawah."
"Semua itu hanya alasan untuk menghindariku kan?!"
Jiyeon pun memasuki selimutnya tanpa melihat Jungkook lagi, "Aku mengantuk Jungkook." Gadis itu mulai memejamkan mata, Jungkook kesal diabaikan maka dia ikut masuk ke dalam selimut Jiyeon dan memeluk gadis itu erat. Tentu saja hal itu sukses membuat Jiyeon terkejut.
"Jungkook apa yang kau lakukan?!"
"Memeluk istriku, apalagi?"
"Jungkook, lepaskan aku!"
"Tidak mau!"
Jiyeon berbalik, memaksa berhadapan dengan Jungkook. Kini dia bisa melihat dengan jelas jika ada luka lebam di beberapa bagian wajahnya suaminya. "Wajahmu kenapa?"
"Kau sangat marah ya? Sampai-sampai baru menyadari wajahku begini. Ya, wajar saja sih, melihatku saja kau enggan."
"Kau berkelahi?"
"Ya, salah satu alasan yang membuatku melupakan janji adalah karena berkelahi. Pikiranku benar-benar hanya ada amarah." Jiyeon mengerutkan kedua alisnya bingung, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi kemarin.
"Apa yang terjadi?"
Jungkook terdiam cukup lama, dia hanya terus memperhatikan Jiyeon membuat gadis itu salah tingkah. "Jungkook…."
"Kau sungguh ingin tahu?"
"Ya, tentu saja."
"Kemarin saat hendak menemuimu, Jieun tiba-tiba datang ke kantor. Dia menangis hebat, aku sampai kebingungan. Jadi, aku membawanya ke villaku yang ada di pinggiran kota. Jieun sangat hancur karena Jimin."
"Memangnya apa yang Jimin lakukan? Bukankah seharusnya mereka pergi bulan madu?"
"Ya, awalnya aku pikir juga begitu. Tapi, semuanya hancur karena ulah Jimin." Jiyeon benar-benar sangat penasaran mengenai apa yang Jimin lakukan, namun Jungkook selalu menjeda kalimatnya. "Ah, aku sungguh marah jika mengingat hal ini. Jimin—bedebah sialan itu, dia menyebut namamu saat tidur dengan Jieun."
Mata Jiyeon membulat sempurna mendengarnya, "Apa katamu?"
"Jimin menyebut namamu saat orgasme di malam pertamanya bersama Jieun. Kau bisa bayangkan bagaimana hancurnya perasaan Jieun bukan?! Itu pula yang membuatku hampir membunuh Jimin."
Jiyeon benar-benar syok, bagaimana bisa Jimin melakukan hal serendah itu terlebih melibatkan dirinya. Sekarang Jiyeon mengerti jika Jungkook sampai melupakan janjinya kemarin, bagaimana tidak jika masalah yang dia hadapi begitu rumit.
"Maaf, aku tidak tahu." Kini Jiyeon yang merasa bersalah telah bersikap dingin pada Jungkook tanpa mendengar penjelasan pria itu lebih dulu. Dan semakin merasa tidak enak hati pada Jieun, sungguh dia mengutuk perbuatan Jimin kali ini. Mantan kekasihnya itu sungguh sangat keterlaluan.
"Ini bukan salahmu, Jiyeon. Jimin saja yang bangsat."
Jiyeon mengelus wajah Jungkook lembut, tidak tega melihat wajah tampan itu terluka. "Sudah diobati?" Jungkook menggeleng.
"Aku terlalu sibuk mencarimu."
"Ayo kuobati."
"Tidak perlu, lukanya akan sembuh sendiri. Berikan saja pelukan," Jungkook tersenyum manis sekali membuat jantung Jiyeon kembali berdebar.
Jiyeon menciumi luka di wajah Jungkook satu-persatu dengan penuh cinta, "Sudah kuobati."
Senyuman Jungkook makin lebar, "Bibirku juga terluka, paling parah malah."
"Modus!"
"Modus pada istri sendiri tidak masalah kan?"
Jiyeon meraih kedua pipi suaminya kemudian mendaratkan kecupan lembut di bibir sang dominan. Jungkook tidak mampu menutupi rasa bahagia di hatinya, dia pun memeluk sang istri erat sekali. "Kau sudah tidak marah padaku?"
"Tidak, aku tidak pernah marah."
"Lalu?"
"Sedikit ngambek."
Tawa Jungkook menggelegar setelahnya, pria itu amat sangat gemas pada sang istri. "Ya, sudah. Sekarang kau kembali ke tempat tidurmu, aku sangat lelah Jungkook."
"Kau bilang sudah tidak marah, kenapa masih mengusirku huh?!"
"Bukan begitu Jungkook, di sini sempit. Kau tidak suka tempat sempit kan? Kau tidak akan bisa tidur."
"Aku tidak suka sempit, tapi jika bersama istriku aku suka sesempit apapun itu. Aku tidak bisa tidur jika tidak ada kau di sisiku." Okay, perkataan Jungkook sukses membuat Jiyeon merona.
"Apa sih yang kau katakan?"
"Intinya aku mau tidur bersama istriku!"
"Siapa istrimu?"
"Jeon Jiyeon." Jiyeon tidak tahan jika Jungkook bersikap seperti ini, terlalu manis dan dia takut jatuh semakin dalam pada pesona pria itu.
"Ya, sudah. Kita tidur bersama di kasur, dasar cerewet!" Jungkook tersenyum senang pada akhirnya Jiyeon mengalah, keduanya pun berbaring sembari terus berpelukan menyalurkan kerinduan. Kalau boleh egois, Jiyeon ingin bersama Jungkook selamanya. Tidak peduli jika nanti dia akan patah hati, dia tetap ingin mencoba mencintai suaminya.
***
Jiyeon terbangun ketika ponselnya terus berdering, mau tidak mau dia melihat siapa yang menghubunginya. Dahinya berkerut ketika melihat nama Jungkook di layar, refleks dia menoleh dan tidak menemukan sang suami di sampingnya. Bukankah tadi mereka sama-sama telah tertidur pulas, lalu Jungkook kemana?
"Jungkook, ada apa?"
"Ke taman belakang sekarang."
"Hah? Kenapa memangnya?"
"Menurut saja, cepatlah!"
"Baiklah."
Setengah mengantuk, Jiyeon bangkit setelah merapikan rambutnya. Matanya terbuka lebar setelah tiba di taman belakang rumahnya, banyak sekali lampu dan juga bunga yang ditata sedemikian rupa. "Happy birthday, My Beautiful Wife." Jungkook berdiri dengan kue ulang tahun di tangannya, tak lupa senyuman terbaik untuk sang istri. Di sebelah pria itu sang ayah berdiri dengan wine di tangannya.
Tuan Park pun semringah, "Selamat ulang tahun, Sayang."
"Jungkook, Ayah—kalian menyiapkan semua ini?"
"Ya, semuanya adalah ide Jungkook. Ayah, hanya membantu."
Jiyeon berkaca-kaca, merasa begitu terharu. Ternyata dia dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya dengan tulus. "Terima kasih ya…. Ayah, Jungkook."
"Ayo cepat tiup lilinnya!" Titah Jungkook, pria itu mendekati Jiyeon sembari menyodorkan birthday cake dengan lilin angka 24 di atasnya. "Ah, jangan lupa make a wish dulu."
"Iya." Jiyeon memejamkan mata, melantunkan doa dengan sepenuh hati. Ya, Tuhan… jika kau izinkan aku ingin dicintai oleh Jungkook suatu saat nanti. Semoga keluarga kami selalu bahagia, kurang lebih seperti itu bunyi doa Jiyeon. Setelah selesai berdoa gadis itu meniup lilin tersebut dengan penuh kebahagiaan. "Aku mencintaimu," Jiyeon mengucapkan itu tanpa sadar, Jungkook sampai terdiam mendengarnya, ada sebuah ledakan di dadanya, "Aku juga sangat mencintai, Ayah."
Mungkin Jungkook terlalu percaya diri, dia lupa jika sedang bersama ayah mertuanya. Tentu saja Jiyeon mengatakan cinta hanya agar terlihat mesra di depan ayahnya. Apa yang Jungkook harapkan? Tapi, mendengar pernyataan cinta itu rasanya Jungkook bahagia sekali, bolehlah dia berharap suatu saat akan mendengar itu secara nyata dan benar-benar seperti yang Jiyeon rasakan. Ingin dicintai oleh sang istri tanpa embel-embel sandiwara.
"Ayo kita minum! Ayah sudah beli wine mahal!" Tuan Park heboh, Jiyeon menghampiri ayahnya antusias. Keduanya duduk di kursi yang telah disediakan di sana dengan beberapa cemilan di atas meja.
"Jungkook ayo sini!"
"Ya, Ayah." Jungkook pun bergabung setelah berhasil mengendalikan hatinya, detak jantungnya yang tidak karuan karena ulah Jiyeon.
Jiyeon memberikan gelas berisi wine pada Jungkook, "Cheers!" Mereka bertiga bersulang lalu minum sepuasnya. Malam itu Jiyeon benar-benar merasa bahagia, setelah kesedihan yang dia rasa. Gadis itu belajar satu hal untuk lebih bisa melihat segala sesuatu dari berbagai sisi tidak hanya satu sisi.
Ditengah-tengah keseruan itu, ponsel Jiyeon mendapatkan pesan dari Eunwoo. Lelaki itu mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Buru-buru Jiyeon menghapus pesan tersebut takut Jungkook salah paham jika melihat.
“Ada apa?” Tanya Jungkook.
“Bukan apa-apa, kok.”
“Bukan apa-apa tapi wajahmu tegang seperti melihat hantu.”
“Ayo minum lagi, “ Jiyeon kembali mengisi gelas Jungkook yang telah kosong. Terlalu banyak minum, pasangan suami istri itu tampak mabuk berat sedang Tuan Park sudah tidak sadarkan diri beberapa saat yang lalu.
"Aku tidak tahu harus memberimu kado apa, jadi aku belum membeli apapun." Ucap Jungkook dengan kesadaran tipis, wajahnya sudah memerah akibat terlalu banyak minum.
Jiyeon menggeleng beberapa kali, "Kau tidak perlu repot-repot memberiku hadiah, Jungkook." Dia sama mabuknya.
"Hei—ini ulang tahun pertamamu, sebagai istriku. Katakan saja apa yang kau inginkan, aku akan mengabulkan apapun itu."
"Kau sungguh akan mengabulkan apapun yang kuminta?"
"Ya, Sayang."
"Bagaimana jika aku ingin hatimu, apa kau akan berikan?"
"Heh? Hatiku?" Jungkook melihat dadanya, "Ah—akan kuberikan asal kau bahagia." Jungkook meraih pisau buah di atas meja, "Mau kuambilkan sekarang?"
Jiyeon mengambil pisau di tangan Jungkook, "Apa yang kau lakukan hmm? Dasar bodoh! Aku bukan mau hati sungguhan. Kau bisa mati kalau begitu. Aku mau hatimu mencintaiku Jungkook. Aku mau cintamu."
Jungkook tertawa, "Ah begitu rupanya. Baiklah, akan kuserahkan seluruh hatiku padamu. Ambil semua Jiyeon, everything for you…"
"Sungguh?"
"Ya."
Jiyeon terbahak begitu pun dengan Jungkook, setelah itu keduanya benar-benar kehilangan kesadaran. Jiyeon tertidur dengan kepala bertumpu di meja sementara Jungkook tertidur dengan posisi bersandar pada kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] Acquiesce | JJK√
FanficPark Jiyeon dan Jeon Jungkook, menikah karena sebuah keharusan. Bukan karena cinta, bukan karena kontrak atau semacamnya seperti di drama, tapi hanya karena mereka saling membutuhkan semacam simbiosis mutualisme.