Tidak langsung kembali ke hotel, pasangan pengantin baru itu memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar menara Eiffel. Menikmati suasana malam hari yang penuh dengan kerlip lampu. Tak lupa mengambil beberapa foto, adalah suatu kewajiban untuk bukti perjalanan mereka.
"Mau cemilan?"
"Boleh."
"Tunggu di sini sebentar, aku akan belikan untukmu."
"Baiklah, jangan lama-lama. Nanti aku diambil orang."
"Tidak akan ada yang berani mengambilmu dariku, aku akan mengejarnya sampai mati!" Jiyeon tersenyum mendengar ucapan Jungkook, hanya ucapan sederhana namun mampu membuatnya merasa bahagia dan nyaman.
"Baiklah, cepat pergi sana!"
"Ya, Tuan Putri. Ingat jangan ke mana-mana!"
"Iya-iya!"
Setelah kepergian Jungkook, Jiyeon larut dalam lamunan. Matanya fokus pada menara Eiffel yang begitu cantik, dia memotret dengan ponselnya lalu mengirimkan pada Soojung. Tentu saja sang sahabat merasa iri dan kesal, Jiyeon tertawa sendiri.
"Senang bisa melihatmu tertawa…." Suara familiar yang sudah lama tidak pernah dia dengan itu mampu membuat sendi-sendi Jiyeon kaku. Dia tidak salah dengar kan?
Akhirnya Jiyeon mendongak, sosok tinggi dan tampan itu ada di hadapannya. Sosok yang pernah menggoreskan luka yang begitu dalam bagi Jiyeon. Apa ini mimpi?
Jiyeon memilih abai, dia memejamkan matanya enggan melihat sosok di depannya. Dia pikir dirinya berhalusinasi. "Aku tahu kau sangat membenciku, sampai-sampai enggan melihatku. Aku maklum!"
Ini nyata, bukanlah halusinasi.
Jiyeon membuka matanya, sosok itu benar-benar Cha Eunwoo. Mata cantik itu membulat sempurna. "Ka—kau… ?"
Eunwoo tersenyum, "Ya, ini aku Jiyeon. Aku sangat merindukanmu."
Jiyeon mundur beberapa langkah, sungguh tidak masuk akal. Atas dasar apa Eunwoo segamblang itu bicara rindu padanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada mereka di masa lalu. Keterlaluan, tidak punya perasaan. Sungguh perasaan Jiyeon campur aduk.
"Kau siapa? Apa kita pernah saling kenal?" Jiyeon mengatakan itu dengan suara bergetar, berusaha keras mengontrol dirinya. Eunwoo tersenyum perih, sebenci itukah hingga Jiyeon pura-pura lupa padanya?
"Aku Cha Eunwoo, orang yang selalu mencintaimu."
Jiyeon terbahak setelahnya, "Maaf, bercandamu sangat lucu." Gadis itu hendak pergi namun suara Eunwoo sukses menghentikan langkahnya.
"Selamat atas pernikahanmu." Tubuh Jiyeon hilang kendali, akhirnya dia menangis. Menutup mulutnya kuat agar isakkannya tidak keluar, dia menoleh dengan mata merah menatap Eunwoo penuh amarah.
"Jangan bicara seolah kita ini teman, aku tidak mengenalmu, Tuan!" Jiyeon berlari, dia tidak kuat menghadapi Eunwoo. Hatinya kembali terluka, kenangan indah mereka serta torehan luka ketika Eunwoo meninggalkannya kembali berputar di ingatan. Sementara itu, Eunwoo terpaku di tempatnya dengan senyuman getir. Dia tahu tidak mudah untuk mendapatkan maaf dari Jiyeon, tapi dia tidak akan menyerah. Dia yakin Jiyeon akan mengerti begitu dia menjelaskan semuanya nanti, alasan mengapa dia meninggalkan Jiyeon hari itu.
"Setidaknya aku tahu, masih ada sedikit rasa cinta untukku. Buktinya kau menangis, Jiyeon." Lirih Eunwoo sendu.
Jungkook kebingungan ketika tidak menemukan Jiyeon di tempat mereka sebelumnya. "Jiyeon?!" Dia berkeliling sembari memanggil nama sang istri namun nihil, Jiyeon tidak ada dimana pun. Jungkook mulai khawatir, apalagi ketika ponsel Jiyeon tidak bisa dihubungi. "Apa yang terjadi padamu?! Ya Tuhan…." Dengan setengah berlari, Jungkook segera mencari Jiyeon.
Di sisi lain, Jiyeon sedang menangis sesenggukan menumpahkan segala rasa yang ada di dada. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa Tuhan harus mempertemukan dirinya lagi dengan Eunwoo. Dan parahnya kenapa saat dia sedang berbulan madu, bagaimana bisa Eunwoo tiba-tiba ada di Paris?!
"Hiks… aku sangat bodoh, kenapa aku menangisinya sih?" Jiyeon menghapus air matanya, mungkin sudah satu jam dia menangis di sana. Gadis itu baru menyadari, dia ada di tempat asing. Dia berlari tak tentu arah tadi, kini dia kebingungan akan keberadaannya. "Astaga, dimana aku?" Jiyeon meraih ponselnya, sialnya benda persegi panjang itu mati. "Aish, kenapa disaat seperti ini sih. Aku jadi tidak bisa melihat maps."
Jiyeon bangkit, berjalan sendirian sembari berusaha mengingat jalan pulang. Udara malam menusuk pori-porinya membuat gadis itu memeluk diri sendiri. "Jungkook…." Jiyeon mulai putus asa, dia benar-benar bingung tidak menemukan jalan pulang. Ditambah lagi hatinya masih terlalu shock setelah bertemu Eunwoo beberapa waktu yang lalu. Akhirnya Jiyeon berjongkok dan menangis lagi.
Jungkook mulai kelelahan mencari, namun rasa cemas membuatnya tidak menyerah hingga pada akhirnya dia menemukan sang istri tengah berjongkok di pinggir jalan. Maka, Jungkook segera mempercepat langkahnya.
"Apa yang terjadi? Apa kau tahu aku sangat cemas huh?!" Omel Jungkook setelah berada di dekat Jiyeon, gadis itu mendongak menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat bersyukur Jungkook menemukannya.
"Jungkook…"
Jungkook cukup terkejut mendapati mata Jiyeon bengkak, pasti gadis itu sudah lama sekali menangis. "Kenapa kau menangis?" Tidak menjawab, gadis itu justru memeluk Jungkook erat.
"Aku takut, Jungkook."
Jungkook mengelus punggung Jiyeon lembut, berusaha menenangkan. "Tenanglah, ada aku di sini." Cukup lama mereka berpelukan sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Jiyeon segera membersihkan diri, keadaannya sangat kacau tadi. Jungkook memesan kopi hangat untuk keduanya, dia penasaran apa yang terjadi pada Jiyeon sebab gadis itu belum menceritakan apapun mengenai apa yang terjadi. Jiyeon keluar dari kamar mandi menggunakan piyama satin, dia sudah merasa jauh lebih baik meski matanya masih terlihat sembab.
"Minum kopi dulu, agar lebih enakan." Jungkook memberikan kopi cup yang dia beli, Jiyeon menerimanya dengan senang hati.
"Thanks."
Setelah melihat Jiyeon cukup tenang, Jungkook akhirnya berani bertanya. "Apa yang terjadi? Sudah kubilang jangan kemana-mana tadi."
Jiyeon menatap Jungkook sendu, "Maafkan aku…."
"Tidak mau cerita?"
"Aku sangat terkejut tadi, jadi tanpa sadar berlari tak tentu arah. Sebenarnya tadi—”Jiyeon mengambil jeda, apakah tepat menceritakan mengenai mantannya pada sang suami. Namun, menyembunyikan bukan menyelesaikan masalah justru akan menambah masalah nanti. " Tadi—aku bertemu Eunwoo."
Jungkook cukup terkejut, dia tahu betul siapa Cha Eunwoo sebab sudah menyelidiki sebelumnya mengenai latar belakang Jiyeon. "Eunwoo mantan pacarmu yang kabur di hari pernikahan itu?" Jiyeon mendesah ketika masa lalu menyakitkan itu diungkit lagi, "Sorry—maksudku, kenapa dia ada di sini?"
"Aku tidak tahu, tiba-tiba dia menghampiriku. Aku shock dan tidak siap bertemu dengannya. Kau pasti mengerti bagaimana perasaanku bukan?"
Jungkook mengangguk, "Aku tahu betapa kacaunya hatimu." Namun, Jungkook menangkap sesuatu yang tidak biasa, jika Eunwoo mendekati Jiyeon itu artinya dia sengaja ingin menemui istrinya dan itu tandanya Eunwoo sudah tahu mereka ada di Paris. "Lalu, apa yang dia katakan?"
"Dia bilang rindu padaku, dan selamat atas pernikahan kita."
Okay, Jungkook mengepalkan tangannya kuat, hatinya marah dan tidak suka sebab dia tahu ada niat terselubung dibalik kata-kata Eunwoo tersebut.
"Maaf, Jungkook. Aku jadi menyusahkanmu. Pasti merepotkan mencariku kemana-mana apalagi ponselku mati." Jungkook menarik Jiyeon ke dalam pelukannya, memberikan rasa hangat dan nyaman agar sang istri merasa aman.
"Tidak masalah, sudah tugasku melindungi istriku. Aku janji tidak akan ada yang bisa menyakitimu lagi."
Jiyeon tersenyum kecil, perasaannya jauh lebih baik karena Jungkook. "Terima kasih ya…."
"Hmm… " Jungkook melepaskan pelukannya, kemudian menatap sang istri lembut, "Tunggu di sini sebentar, aku mau beli sesuatu."
"Eh? Tidak pesan saja?"
"Tidak, ini harus kucari sendiri. Tunggulah!" Jungkook mencium kening Jiyeon sebelum pergi, gadis itu geleng-geleng kepala sendiri kemudian tersenyum.
"Dia kenapa sangat aneh hari ini, sikapnya sangat manis," gumam Jiyeon. Setelahnya gadis itu kembali merenung mengenai apa yang telah terjadi.
Satu jam berlalu, Jungkook akhirnya kembali. Anehnya, pria itu menekan bell bukannya langsung masuk. Jiyeon dikejutkan dengan boneka Cooky super besar ada di hadapannya. "Jungkook?"
"Hallo, aku Mr. Cooky!"
"A—apa ini?" Sungguh Jiyeon sangat terkejut, Jungkook muncul bersama boneka. Bukan Jungkook sekali, ada apa sih dengan pria ini?
"Kau kan sedang galau, jadi kubelikan Cooky untuk menghiburmu. Kenapa wajahmu sangat aneh begitu?"
"Emm—Jungkook, aku tidak suka boneka." Mendengar jawaban Jiyeon, lagi-lagi semangat Jungkook down seketika. Tidak bisakah gadis itu menghargai usahanya?
"Jiyeon—boneka Cooky ini limited edition, katanya dibuat hanya untuk beberapa fans pilihan. Karena itu aku harus merogoh kocek lebih untuk membeli boneka pink karakter ini! Awalnya aku tidak tertarik tapi karena namanya mirip namaku, Mr. Cooky. Akhirnya kubeli. Aku susah payah membawa ini kemari dengan harapan istriku akan tersenyum senang. Tapi apa?! Kau selalu saja merusak suasana. Tidak pernah menghargai usahaku."
Jungkook menyerahkan boneka besar itu pada Jiyeon, gadis itu nyaris terjungkal akibat tidak siap menerima si Mr. Cooky. "Bu—bukan begitu Jungkook, aku minta maaf. Hanya saja boneka ini terlalu besar, bagaimana kita membawa ini pulang nanti?! Lagipula orang-orang akan mengira aku maniak BTS Jungkook."
"BTS Jungkook?"
"Ya, itu kan boneka karakter milik Jungkook BTS. Makanya dinamakan Cooky. Kau tidak tahu?!"
"Mana kutahu ada member boyband yang namanya sama denganku."
"Maaf…"
"Tck—kau selalu saja minta maaf setelah menyakiti hatiku."
Jiyeon meletakkan Cooky di sofa, kemudian menyusul sang suami yang berdiri di balkon. Jiyeon memeluk Jungkook dari belakang, dia merasa tersentuh akan perlakuan pria itu. "Terima kasih ya, sebenarnya kau tidak perlu repot-repot begini. Kau ada untukku saja sudah cukup Jungkook."
Jungkook berbalik menatap Jiyeon, "Kau kan bisa pura-pura suka bonekanya. Dasar!"
Jiyeon tertawa, "Aku akan berusaha menyukainya. Aku janji!" Jungkook akhirnya tersenyum sebelum menarik sang istri ke pelukannya.
***
Ada ekspresi yang begitu kontras antara Jiyeon dan juga Jungkook, jika Jungkook tampak bahagia dan terus tersenyum maka sebaliknya Jiyeon benar-benar cemberut. Pasangan pengantin itu sudah berada di dalam pesawat menuju Seoul. Ya, mereka memutuskan pulang lebih cepat sebab insiden kedatangan Eunwoo merusak segalanya. Dan alasan wajah cemberut Jiyeon adalah Jungkook, suaminya itu tidak memberinya cela untuk bernapas semalam membuatnya nyaris pingsan. Rupanya itulah alasan di balik sikap manis Jungkook, pria itu ingin dilayani sampai pagi.
"Hah…" Jiyeon mendesah lelah, tubuhnya sangat lelah sepertinya dia akan tidur sepanjang jalan seperti sebelumnya. Gadis itu menoleh ke kiri, senyuman Jungkook membuatnya kesal. Lalu dia beralih menoleh ke kanan, Mr. Cooky duduk dengan manis pada kursi di sebelahnya. Jungkook memang sudah gila! Pria mana yang membeli tiket pesawat untuk sebuah boneka. Mengingat hal itu Jiyeon sangat malu, orang-orang membicarakan mereka sejak tadi.
"Tidurlah, katanya lelah," gumam Jungkook.
"Aku sangat tertekan hingga tidak bisa tidur, kenapa juga kau membuat Cooky duduk di sini?! Dia bisa dimasukkan ke dalam koper atau semacamnya."
"Jangan begitu, Cooky akan menjadi temanmu di Seoul nanti. Kau sudah janji akan menyukainya."
Jiyeon merotasi matanya, "Terserahlah, kau memang aneh."
"Ya, aku suamimu." Jungkook mencium punggung tangan Jiyeon lalu tersenyum tampan, "Terima kasih untuk yang semalam." Jiyeon segera menarik tangannya kemudian memejamkan mata, Jungkook terkekeh gemas. Perjalanan bulan madu mereka memang singkat, namun sudah cukup membuat Jungkook melambung tinggi ke angkasa.
Di lain sisi, Eunwoo sedang menikmati makan siang di kamarnya. Ditemani asisten pribadi yang setia bersamanya, memberikan informasi apa saja yang pria itu butuhkan.
"Nona Jiyeon, telah kembali ke Seoul."
"Emm—baiklah. Berapa lama lagi aku bisa kembali ke Seoul dengan tenang?"
"Jika proyek Paris berhasil didapat, maka Anda bisa ke Seoul kapan saja."
Eunwoo tersenyum, "Sangat menyenangkan mendengar itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] Acquiesce | JJK√
FanfictionPark Jiyeon dan Jeon Jungkook, menikah karena sebuah keharusan. Bukan karena cinta, bukan karena kontrak atau semacamnya seperti di drama, tapi hanya karena mereka saling membutuhkan semacam simbiosis mutualisme.