Jiyeon memasuki rumah dengan pikiran kalut, perkataan Eunwoo terus memenuhi kepalanya. Rupanya Jungkook sudah menunggu dengan tidak sabaran sejak tadi, dan gadis itu bahkan tidak menyadari keberadaan suaminya yang duduk di sofa.
"Ehem!" Jungkook berdehem guna menyadarkan istrinya, gadis itu pun melihat ke arahnya.
"Jungkook? Kau sudah pulang?"
Jungkook bangkit menghampiri sang istri, meletakkan wine di tangannya dengan kasar ke atas meja, "Ya, aku sengaja pulang cepat, bermaksud membuat kejutan untuk istriku. Tapi, istriku justru bersenang-senang dengan pria lain."
"Apa maksudmu?" Jiyeon tidak mengerti alasan kemarahan Jungkook, sebenarnya dia sudah tahu ke arah mana maksud sang suami, tapi kenapa harus marah bukan? Toh Jungkook tidak mencintanya.
Jungkook melemparkan foto-foto Jiyeon dan Eunwoo di hadapan sang istri, gadis itu bisa melihat potret dirinya berserakan ke lantai. "Kau menguntitku?" Tanya Jiyeon datar.
"Ya, aku penasaran apa yang dilakukan istriku akhir-akhir ini, ternyata selingkuh dengan mantan kekasih. Tck—apa aku yang terlalu bodoh selama ini?! Kau bilang kau membencinya, lalu apa ini? Kau tertawa lebar ketika bersamanya!" Jungkook benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya, saat ini dia ingin sekali mengunci Jiyeon di kamarnya agar gadis itu tidak bisa bertemu pria lain lagi. "Bukankah sudah kukatakan kau harus menjaga nama baik keluargaku, kau lupa statusmu adalah istriku?!"
Jiyeon mendesah, "Aku tidak selingkuh."
Jungkook tersenyum sinis, "Apa namanya kalau bukan selingkuh? Main serong?" Jiyeon baru saja hendak menyela, Jungkook kembali menginterupsi. "Apa saja yang sudah kau lakukan dengannya hingga lupa waktu? Kau tidur dengannya?"
Plak'
Tamparan itu mendarat mulus di pipi Jungkook, Jiyeon benar-benar sakit hati dan kecewa dituduh serendah itu. "Aku bukan wanita jalang yang bisa tidur dengan pria yang bukan suamiku. Kau—sangat keterlaluan Jungkook!" Mata Jiyeon berkaca-kaca, dia sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak tumpah. Namun, api cemburu dan amarah masih menyala-nyala di hati Jungkook. Pria itu seolah kehilangan kewarasan serta kendali atas dirinya sendiri. Dia menarik tubuh Jiyeon yang hendak pergi, menyudutkan ke sudut dinding dengan kasar kemudian mencium sang istri seduktif. Jiyeon merasakan punggungnya sakit, hatinya apalagi. Dia pun menangis pilu hingga terjatuh ke lantai. Jungkook menyesali perbuatannya yang terlalu kasar, apalagi Jiyeon sampai menangis.
"Tidak ada yang terjadi, aku dan Eunwoo hanya berteman." Ungkap Jiyeon disela tangisnya.
Jungkook tersenyum sinis, dia menyesal namun mulutnya sulit dikendalikan, "Tidak ada pertemanan antara pria dan wanita."
Kali ini Jiyeon yang tersenyum miring, "Bagaimana denganmu? Kau dan Jieun—tidak benar-benar murni berteman bukan? Ya, tentu saja pasti ada cinta di dalamnya."
Jungkook terdiam kali ini, mendadak dia panik takut Jiyeon salah paham mengenai dia dan Jieun, "Aku dan Jieun berteman sejak kecil, itu berbeda—”
"Ya, tentu saja berbeda! Jieun sangat spesial bagimu kan?! Segalanya hanya untuk Jieun, bahkan yang lain tidak lagi penting. Semua waktumu hanya untuk Jieun." Air mata Jiyeon mengalir makin deras, dadanya begitu sesak dan sakit. Jungkook makin merasa berdosa pada istrinya, amarah berhasil menguasai dirinya saat ini.
"Jiyeon, soal Jieun—aku punya alasan, dan aku bisa menjelaskan semuanya padamu."
"Tidak perlu Jungkook, aku sudah tahu. Dia gadis yang kau cintai, iya kan?" Tatapan mata Jiyeon penuh luka, Jungkook bisa melihat itu dengan jelas. Apa dia begitu menyakiti hati istrinya. Itulah yang Jungkook pikirkan. Sungguh Jiyeon telah salah paham, dia memang mencintai Jieun—tapi itu jauh sebelum dia bertemu dengan sang istri.
Jiyeon pun melangkah meninggalkan Jungkook menuju kamar mereka, pria itu mengacak rambutnya frustrasi. Kemudian pandangannya menangkap tas selempang milik Jiyeon yang tertinggal di lantai akibat perlakuan kasarnya tadi. Jungkook mengambil tas milik Jiyeon, bermaksud membawakan untuk Jiyeon namun ada sebuah kertas yang mengintip keluar. Penasaran, Jungkook menarik kertas tersebut dan membaca isinya. Mata Jungkook terbelalak mengetahui itu adalah hasil pemeriksaan kehamilan Jiyeon. Ada ledakan yang tidak bisa Jungkook ungkapkan dengan kata-kata, dia bahagia dan terharu luar biasa.
"Ja—jadi, Jiyeon hamil? Hamil anakku kan?" Jungkook benar-benar terkejut sekaligus bahagia luar biasa. Buru-buru pria itu berlari menyusul Jiyeon di kamar mereka, gadis itu baru saja hendak mengganti pakaiannya namun seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang begitu erat.
"Kau—kenapa tidak bilang jika kau sedang hamil? Kau berniat menyembunyikan darah dagingku hmm?"
Jiyeon menarik napas panjang, bukannya dia tidak mau memberitahu namun Jungkook tidak pernah ada waktu untuknya. "Aku selalu ingin memberitahu, tapi kau selalu sibuk."
"Maafkan aku, Jiyeon…. aku sadar telah menjadi ayah yang buruk untuk anak kita. Maafkan juga sikap kasarku tadi, aku terbawa emosi dan tidak bisa berpikir jernih. Ampuni aku…" Jungkook mengeratkan pelukannya. "Terima kasih, terima kasih sudah memberiku bayi. Aku sangat bahagia…."
Jiyeon tidak tahu harus merespon bagaimana, dia kecewa namun juga tidak tega, jadi dia memilih diam dan menikmati pelukan Jungkook yang sudah lama tidak pernah dia rasakan lagi. Sejujurnya, Jiyeon sangat merindukan suaminya. Kata-kata Soojung pun terngiang kembali, apakah di harus memperjuangkan suaminya? Ya, seharusnya memang seperti itu. Jiyeon mencintai Jungkook, maka dia harus membuat Jungkook melihatnya juga.
Jungkook membalik tubuh Jiyeon agar menatapnya, dia membelai wajah cantik itu lembut. "Kau adalah anugerah terindah dalam hidupku, Jiyeon." Setelah mengatakan itu, Jungkook mengecup penuh kelembutan dahi, hidung dan bibir Jiyeon. Siapa yang tidak terbuai diperlukan seperti itu? Namun, hati Jiyeon akan terasa sangat nyeri jika mengingat hati Jungkook bukanlah untuknya. "Maaf ya, bibirmu sampai lecet begini, apa tadi aku terlalu kasar?"
"Tentu saja, kau mendorongku kuat sekali, punggungku sakit tahu. Untung saja perutku tidak sakit."
Jungkook menyesal, "Maafkan aku, Sayang. Maaf ya…." Jungkook mengelus perut Jiyeon lembut, "Bayi kita baik-baik saja kan Jiyeon? Aku sungguh tidak tahu jika ada bayi di perutmu tadi."
"Tidak apa-apa Jungkook, perutku baik-baik saja."
"Maafkan Ayah ya, Nak. Ayah kasar tadi, ayah tidak tahu. Selamat datang di kehidupan ini, Bayi Jeon. Sehat-sehatlah agar bisa segera bertemu Ayah…." Jungkook berbicara pada perut Jiyeon yang terlihat sedikit membuncit. Pria itu memberikan kecupan hangat di perut istrinya, Jiyeon sangat terharu hingga meneteskan air mata. Andai saja kebahagiaan itu sungguhan, Jiyeon rela melakukan apapun. Ah, Jiyeon memang harus melakukan sesuatu agar semuanya berubah menjadi nyata.
"Kakek pasti sangat senang, besok kita beritahu." Jungkook tersenyum senang, melupakan segala kemarahan sebelumnya. Jiyeon membalas dengan sebuah anggukan. "Oh ya, sekarang kita makan malam. Kau tahu aku pulang cepat, aku memasak untukmu."
"Kau memasak?"
"Iya, aku ingin melakukan hal manis, aku minta maaf karena tidak ada waktu untukmu akhir-akhir ini. Aku menyesal…."
Jiyeon bisa merasakan ketulusan Jungkook, "Tidak apa-apa, Jungkook. Aku—seharusnya sadar diri, pernikahan kita hanyalah hubungan timbal balik saling menguntungkan. Aku tidak berhak marah padamu soal Jieun."
Jungkook memegang kedua bahu Jiyeon erat, menatap tajam tepat dimata gadis itu. "Kau berhak marah, aku suamimu Jiyeon. Aku saja sangat marah kau bersama pria lain. Itu wajar, karena kita suami istri yang sah. Memang, pernikahan kita tidak didasari cinta, tapi apa aku pernah bilang jika pernikahan kita ini mainan? Kita menikah sungguhan Jiyeon, kita berjanji di depan Tuhan."
Jiyeon meneteskan air mata, mendengar kata-kata Jungkook tekadnya untuk memperjuangkan suaminya semakin besar. Jika boleh Jiyeon ingin menjadi egois, Jungkook adalah miliknya. "Aku akan melupakan soal kau bertemu Eunwoo, jadi kuharap kau tidak bertemu dengannya lagi. Kau istriku, kau milikku. Ingat itu."
Jiyeon semakin menangis, dia tidak ingin kehilangan Jungkook. "Jungkook, aku—” Ingin sekali Jiyeon mengatakan bahwa dia mencintai Jungkook namun lidahnya kelu.
"Sudah tidak usah banyak bicara lagi, dan berhentilah menangis kasihan anak kita nanti stress." Jungkook memeluk Jiyeon penuh kehangatan, gadis itu pun membalas pelukan suaminya. "Aku mencintaimu Jungkook, aku sangat mencintaimu… aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutmu dariku. Aku tidak akan kehilangan cintaku lagi, aku tidak akan menjadi Jiyeon yang lemah seperti dulu," Jiyeon membatin.
***
"Bagaimana rasanya?" Jungkook tampak harap-harap cemas ketika Jiyeon mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya, keduanya saat ini tengah makan malam bersama. Makan malam yang sudah Jungkook siapkan sebelumnya tidaklah sia-sia sebab Jiyeon sangat senang dengan kejutan yang sudah tidak menjadi kejutan mengingat mereka bertengkar sebelumnya.
"Emm—kau mau jawaban jujur atau bohong?" Goda Jiyeon, Jungkook mencibir ucapan sang istri.
"Tentu saja jawaban jujur, siapa yang suka dibohongi?!"
Jiyeon tertawa kecil, "Emm—jujur saja untuk pemula rasa telur dadar ini membuatku sedih."
"Sedih kenapa?"
"Sedih karena aku tidak ingin berhenti makan, lalu aku akan bertambah gemuk. Jungkook, timbanganku saja sudah naik empat kilogram semenjak hamil. Bagaimana ini?" Jungkook terdiam sejenak, detik berikutnya dia terbahak.
"Ya Tuhan, Jiyeon. Kenapa kau sangat menggemaskan sih?" Rasanya Jungkook ingin meremas-remas Jiyeon saking gemasnya. "Jadi kesimpulannya? Masakanku enak kan? Ya, tentu saja aku kan jenius."
"Mungkin faktor aku sedang lapar Jungkook."
Jungkook mendelik kesal, "Heh! Kau ini kebiasaan membuat orang melambung tinggi lalu menjatuhkannya dalam sekejap." Jiyeon tertawa mendengar ocehan suaminya.
"Aku bercanda, ini memang enak kok." Jiyeon tersenyum manis sekali, Jungkook rindu sekali pada senyuman tercantik di dunia tersebut. "Sering-seringlah memasak untukku ya?"
"Ya, asal ada timbal baliknya." Jungkook menatap Jiyeon dengan pandangan mesum.
"Lupakan saja kalau begitu." Jungkook tersenyum, dia baru sadar jika bersama Jiyeon dia akan selalu merasakan yang namanya bahagia. "Kau harus bertanggung jawab jika aku menjadi gumpalan daging, Jungkook."
"Jangan khawatir, kau tetap cantik meskipun menjadi gumpalan daging."
"Sialan kau!" Jungkook tertawa lagi, momen sederhana seperti ini adalah hal yang paling pria itu rindukan. Dia tidak mau kehilangan sumber kebahagiaannya, Park Jiyeon.
***
Pasangan suami-istri itu berbaring saling berhadapan satu sama lain dalam posisi miring, pandangan mereka terkunci pada seseorang di hadapan mereka. Jungkook tidak pernah bosan mengagumi karya Tuhan pada wajah istrinya, makin hari makin terlihat bersinar. Apalagi setelah mengetahui si cantik itu mengandung darah dagingnya, Jiyeon terlihat makin sexy dan berisi.
Pun Jiyeon yang baru benar-benar menyadari betapa suaminya terpahat begitu sempurna, mata tajam, hidung mancung, bibir tipis. Membayangkan semua itu hanya miliknya betapa bahagianya.
"Apa kita hanya akan saling menatap satu sama lain begini?" Jungkook memecah keheningan di antara mereka, Jiyeon tersenyum manis. Kecantikannya meningkat seratus kali lipat ketika bibirnya melengkung indah. Jantung Jungkook berdetak tak beraturan, dia meneguk saliva yang mendadak terasa sulit sekali dilakukan.
"Lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Usia kandunganmu sudah trimester berapa?"
"Emm—masih trimester pertama, Jungkook. Kenapa?"
"Kalau begitu aku akan bersabar sampai usia kandunganmu memasuki trimester kedua, Sayangku." Jiyeon tahu maksud perkataan Jungkook adalah untuk tidak menyentuhnya. Gadis itu tersenyum kecil.
"Kurasa jika perlahan, tidak akan jadi masalah Jungkook."
Jungkook menggeleng, "Tidak, Sayang. Kau tahu aku suka hilang kendali, aku tidak mau membahayakan calon anak kita."
"Ya, sudah. Terserah kau saja, Jungkook." Jungkook menarik Jiyeon ke dalam dekapannya, gadis itu memejamkan mata merasa begitu nyaman dan hangat berada dalam pelukan sang suami.
"Jiyeon, ayo kita saling jujur, jangan menyembunyikan apapun satu sama lain," ungkap Jungkook, Jiyeon membuka matanya menatap Jungkook.
"Baiklah…."
Jungkook pun menatap Jiyeon intens dan dalam membuat sang istri jadi salah tingkah, "Pertama, aku ingin jujur padamu, entah sejak kapan aku mulai ketergantungan denganmu, aku tidak bisa hidup tanpamu Jiyeon." Jantung Jiyeon berdetak dengan cepat mendengarnya, ada sesuatu yang akan meledak di hatinya. "Aku mencintaimu….Jiyeon…."
Jiyeon terdiam dengan mata membulat lucu, hatinya dipenuhi ledakan kebahagiaan. Rasanya tidak percaya dia akan mendengar kalimat itu dari mulut Jungkook, apakah ini sungguhan?
"Jungkook—kau serius?"
"Memangnya aku terlihat bercanda?"
"Tapi, aku tahu dengan pasti bahwa kau mencintai Jieun, aku dengar sendiri."
Jungkook terkejut, "Kau pernah mendengar aku mengatakan bahwa aku mencintai Jieun? Kapan?"
"Tidak secara langsung sih, waktu itu aku ke kantormu. Aku tidak sengaja mendengar pernyataan Jieun. Katanya kau mencintainya sejak dulu, dan matamu menyiratkan semua itu benar. Kau juga memeluknya mesra sekali." Jungkook tahu betul ada kecemburuan mendalam melalui kalimat sang istri, maka Jungkook memegang dagu Jiyeon agar menatapnya.
"Ya, aku memang mencintai Jieun. Tapi, itu dulu ketika masih SMA. Aku mencintai Jieun, Jieun mencintai Jimin, sementara Jimin mencintaimu. Lucu bukan?" Jiyeon akui takdir mereka memang sangat aneh. "Aku bahkan masih ingat ketika Jieun mengajakku menguntit Jimin yang sedang bersamamu. Bodoh sekali rasanya, siapa sangka pacar Jimin akan menjadi istriku di masa depan."
"Kau pernah menguntit kami?"
"Iya, aku baru ingat jika gadis cantik pacar Jimin itu adalah kau setelah kita menikah dan aku tahu Jimin mantanmu. Hah, sejujurnya sejak saat itu aku selalu merasa cemburu pada sahabatku sendiri. Kenapa kita tidak bertemu ketika SMA saja."
Jiyeon tersenyum, "Kalau kita bertemu saat SMA, kecil kemungkinan kita akan menjadi pasangan suami-istri seperti saat ini."
"Kau benar, tapi jika kau memang ditakdirkan Tuhan untukku. Mau dulu atau sekarang kau akan tetap menjadi milikku." Jiyeon merona, dia benar-benar malu sekaligus bahagia mendengar kalimat tersebut. "Saat ini, yang kucintai itu hanya kau—istriku yang paling cantik."
"Jadi kau cinta padaku karena aku cantik?" Jiyeon sengaja ingin menggoda Jungkook, "Kalau aku jelek kau mana mungkin cinta padaku kan?"
"Ya, tentu saja. Kalau kau jelek mana mungkin kau jadi istriku." Jiyeon terkekeh, "Aku tidak munafik, aku memang tertarik padamu karena kau cantik, tapi yang membuatku jatuh cinta bukan semata karena kecantikanmu tapi karena kau Park Jiyeon."
"Sungguh?"
"Iya, Sayang. Saat ini aku bisa dibilang tergila-gila padamu." Jiyeon mengecup dahi Jungkook penuh kasih sayang.
"Itu kecupan bahwa kau juga mencintaiku kan?"
"Percaya diri sekali kau."
"Ya, mana mungkin kau tidak jatuh cinta padaku, Jiyeon. Hanya ada dua kemungkinan, kau tidak suka lawan jenis atau kau tidak normal."
Jiyeon mencubit dada bidang Jungkook, "Enak saja, aku tidak keduanya."
"Berarti kau cinta padaku kan?"
Jiyeon tersenyum, cantik sekali dimata Jungkook. "Ya, aku mencintaimu Jungkook, sangat mencintaimu."
Jungkook tersenyum lebar, dia memeluk istrinya erat, hatinya penuh kebahagiaan membuncah. "Terima kasih ya, aku bahagia sekali."
"Aku juga…." Keduanya berpelukan begitu erat, rasanya enggan terpisah satu sama lain.
"Soal Jieun, sebenarnya aku berhutang nyawa padanya." Jiyeon mendongak memperhatikan wajah sang suami saksama, cukup penasaran mengenai apa yang akan Jungkook ceritakan. "Waktu SMP, aku pernah sakit lever akut. Aku hampir mati kalau saja Jieun tidak mendonorkan sebagian hatinya untukku. Sejak saat itu, aku berjanji akan selalu berada di sisinya. Ya, saat itu aku masih sangat muda dan begitu menyukai Jieun. Bagiku, Jieun adalah dewi sehingga aku akan melakukan apapun yang dia minta. Makanya, sulit bagiku menolak keinginan Jieun. Apalagi saat ini dia sedang begitu hancur karena Jimin, dia butuh teman. Persahabatanku dengan Jimin pun retak, semua karena perbuatan bodohnya."
Jiyeon bisa mengerti perasaan Jungkook, pria itu terikat oleh janji yang dulu dia ucapkan. Jiyeon pun masih merasa begitu tidak enak hati, sebab semua masalah yang menimpa Jieun adalah karena dirinya, karena Jimin yang masih belum bisa move on dari masa lalu. "Jieun mengetahui perasaanku yang dulu baru-baru ini, jadi dia memanfaatkan janjiku padanya untuk selalu menemaninya sampai aku mengabaikan istriku sendiri. Aku sadar tidak seharusnya aku begini, Jieun sedang butuh pelampiasan saja. Aku tahu, hanya Jimin yang dia cintai. Sejak dulu hingga saat ini."
Jiyeon bisa merasakan jika Jungkook pria yang sangat tulus. "Kau baik-baik saja? Cinta sepihak lalu jadi pelarian."
Jungkook tersenyum, "Aku baik-baik saja, asal kau selalu bersamaku."
"Tapi, Jungkook. Kau tidak bisa terus seperti ini, jujur saja aku sangat cemburu pada Jieun. Aku memang egois, tapi bisakah kau membalas budi dengan cara yang lain?"
Jungkook tersenyum, "Aku tahu, Sayang. Aku akan bicara baik-baik pada Jieun dan mengakhiri semuanya."
Jiyeon tersenyum cerah, dia bersyukur sekali memiliki suami pengertian seperti Jungkook. "Terima kasih, Jungkook."
"Tidak perlu berterima kasih, sudah seharusnya aku melakukannya. Aku minta maaf karena menyakitimu."
Jiyeon menggeleng, "Aku mengerti, dan aku sudah memaafkanmu."
"Syukurlah…. kau memang luar biasa, tidak heran siapa pun yang pernah mencintaimu. Tidak bisa melupakanmu dengan mudah."
"Jangan bilang begitu, aku jadi merasa bersalah tahu."
Jungkook terkekeh, dikecupnya kening, hidung dan bibir Jiyeon begitu lembut. "Sekarang giliranmu… jujurlah padaku mengenai Jimin, Eunwoo dan semuanya."
"Baiklah…" Jiyeon merubah posisi menjadi telentang, lalu menarik napas panjang. "Soal Jimin, aku sangat menyesal. Aku sungguh tidak menyangka jika pertemuan kembali dengannya akan membawa dampak yang begitu besar hingga menghancurkan kehidupan orang lain. Jimin adalah cinta pertama dan pacar pertamaku. Ya, seperti yang kau tahu saat SMA kami begitu saling mencintai. Lalu, Jimin harus sekolah ke luar negeri, aku berjanji akan menunggunya hingga kembali. Namun, Jimin tidak pernah menghubungiku lagi setelah itu. Aku berpikir semua telah berakhir dan aku akhirnya jatuh cinta lagi pada Cha Eunwoo. Aku sangat terkejut ketika bertemu lagi dengan Jimin, saat kau memperkenalkan kami. Saat itu, Jimin menemuiku beberapa kali dan mengatakan kami belum pernah putus. Dia bilang selalu mencariku selama ini. Ya, itu adalah awalnya Jimin terus mengatakan bahwa hatinya masih menjadi milikku meski sudah kukatakan kita sudah memiliki pasangan masing-masing dan akan menikah."
Jungkook mencibir kesal, "Sudah kuduga Jimin yang keras kepala dan tidak tahu malu. Bisa-bisanya dia melakukan itu setelah menjalin hubungan bersama Jieun hampir lima tahun. Ah—sungguh brengsek!"
"Aku sungguh tidak memiliki perasaan apapun lagi pada Jimin, aku sudah meminta untuknya berhenti dan fokus pada Jieun. Tapi, semua akhirnya jadi begini."
"Kau tidak salah, Jiyeon."
"Aku tetap merasa bersalah pada Jieun, semua ini karena aku."
Jungkook bangkit, menatap Jiyeon serius, "Hei—sudah kubilang ini bukan salahmu, okay?" Jiyeon hanya mengangguk meskipun dalam hati dia masih mengutuk dirinya sendiri yang pernah mencium Jimin, tapi dia tidak akan menceritakan hal itu. Jungkook pasti mengamuk.
"Lalu Eunwoo, aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya Jungkook. Dia terus menemuiku untuk meminta maaf, aku sangat membencinya tapi begitu tahu alasannya meninggalkanku dulu adalah untuk melindungiku. Aku jadi tidak berdaya padanya."
"Apa maksudmu?"
Jiyeon ikut bangkit, dia mengubah posisi menjadi duduk seperti yang Jungkook lakukan sebelumnya. "Eunwoo tidak pernah berniat meninggalkanku dulu, saat itu dia terpaksa karena ayah tirinya mengancam akan menghancurkanku dan ayahku saat itu. Ayah Eunwoo adalah orang yang cukup berpengaruh, dia bisa melakukan apa saja. Maka, Eunwoo terpaksa meninggalkanku dan mengikuti kemauan ayah tirinya sebagai penerus bisnis keluarga."
"Kau percaya alasannya?"
"Ya, aku percaya Jungkook. Aku tahu Eunwoo seperti apa, dia tidak akan berbohong sebesar itu hanya demi sebuah alasan membela diri."
Hati Jungkook benar-benar cemburu luar biasa, bukan Jimin tapi Eunwoo adalah orang yang pernah begitu Jiyeon cintai dengan segenap hati. Apalagi mengingat Jiyeon sampai trauma karena ditinggalkan, tentulah cinta gadis itu begitu besar.
"Eunwoo tahu semua hal tentangku Jungkook, dia selalu mengawasiku selama ini. Dia bahkan tahu mengenai latar belakang pernikahan kita."
"Maksudmu?"
"Dia tahu jika pernikahan kita hanya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan." Jungkook terkejut bukan main, itu berarti Eunwoo bukan orang sembarangan. Dia tidak bisa memandang remeh pria itu.
"Bagaimana dia bisa tahu? Hanya kita berdua yang tahu hal itu."
"Aku juga tidak tahu, makanya aku juga terkejut Eunwoo bisa melakukan hal sejauh itu."
"Mantanmu memang sesuatu ya?" Sindir Jungkook, Jiyeon tersenyum tidak enak. "Lalu apa yang dia inginkan? Mau merebutmu dariku begitu?! Jangan harap."
"Aku juga sudah bilang padanya jika saat ini kau adalah orang yang kucintai, aku juga setuju untuk pergi kencan kemarin bermaksud agar dia mengerti. Tapi, dia tidak mau menyerah padaku. Itulah yang dia katakan." Wajah Jungkook semakin suram saja, Jiyeon jadi ketakutan sendiri. Jungkook sendiri yang memintanya untuk jujur bukan!?
"Wah, dia sungguh membuatku marah."
"Eunwoo juga tahu soal kau dan Jieun, dia bahkan memberiku foto-fotomu dan Jieun saat bersama. Waktu itu aku sakit hati sekali, kau lupa janji piknik denganku dan memilih bersama Jieun. Ya, itu saat aku belum tahu alasanmu."
"Dia bahkan menguntitku juga? Hei—apa kau sadar mantanmu ini agak psiko?"
"Kau juga menguntitku kemarin Jungkook kalau kau lupa."
"Apa kau sedang membelanya?!"
"Bukan begitu, maksudku—kau dan Eunwoo sama saja."
"Hei—apa maksudmu bicara begitu?"
Jiyeon menggeleng lalu tersenyum, "Aku hanya bercanda. Jangan marah Jungkook, kau yang memintaku untuk jujur tapi kau marah-marah."
"Itu karena aku cemburu Jiyeon, aku tidak terima ada pria lain yang menginginkan milikku." Jungkook memegang kedua bahu Jiyeon kuat, "Dengar baik-baik, aku sudah memaafkanmu yang pergi bersamanya kemarin-kemarin, tapi ingat jangan sekali-sekali menemui mantan kekasihmu itu lagi apapun alasannya." Ancaman Jungkook sungguh membuat bulu kuduk Jiyeon meremang, pria itu pun menunduk di dekat telinga sang istri. "Atau aku akan benar-benar mengikatmu di kamar ini."
"Jungkook, kau menakutkan tahu."
"Aku serius Jiyeon, aku belum pernah mencintai seseorang sebesar ini sebelumnya. Aku juga belum pernah merasa takut kehilangan seperti ini sebelumnya, itu semua karenamu. Jadi, aku bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa kau bayangkan hanya untuk mempertahankan apa yang kumiliki, yaitu kau. Aku tidak suka berbagi, kau hanya milikku."
Jiyeon makin merinding, "Jungkook apa kau sadar kaulah yang seperti psikopat jika begini."
Jungkook kemudian tersenyum, "Itu sih kalau kau berani berbuat macam-macam di belakangku Jiyeon."
"Jadi kalau di depanmu tidak masalah?"
"Kau mau mati?!"
Jiyeon terkekeh, dia memeluk suaminya erat. "Jangan khawatir, aku hanya mencintaimu kok. Aku juga tidak akan mengkhianatimu."
"Berjanjilah kau tidak akan menemui Eunwoo lagi."
"Iya, aku berjanji. Tapi, bagaimana jika dia yang menemuiku? Bukannya apa Jungkook, dia itu suka sekali muncul tiba-tiba. Seperti kemarin, dia tiba-tiba muncul saat aku periksa kandungan. Jadi, dia menemaniku sampai ke dalam ruangan dan mengaku sebagai suamiku."
Jungkook makin murka, "Sialan! Kau membiarkan dia melakukan itu?! Disaat aku bahkan tidak tahu ada bayiku di tubuhmu?! Wah, Park Jiyeon kau sangat menyebalkan."
Jiyeon memeluk Jungkook lagi, "Maafkan aku Jungkook, aku kan sedang galau waktu itu. Kau sibuk dengan Jieun dan mengabaikan aku."
Jungkook menahan amarahnya, itu juga salahnya. "Okay, kali ini kumaafkan, tapi ingat aku tidak akan mengampuni jika hal seperti ini terulang lagi. Aku kecewa sekali Jiyeon, bagaimana bisa Eunwoo yang pertama kali melihat bayi kita bukan aku!"
"Maafkan aku, Jungkook."
Jungkook melepaskan pelukan mereka, dan menatap Jiyeon penuh selidik, "Eunwoo tidak pernah menyentuhmu kan?"
"Dia hanya memelukku kok tidak lebih."
"Hanya? Apa kau menyepelekan sebuah pelukan? Kau itu istriku Jiyeon, kau tidak bisa membiarkan pria lain memelukmu."
"Jungkook, aku minta maaf. Kau juga memeluk Jieun kan? Atau kalian pernah melakukan lebih dari pelukan?"
"Tck—kau pintar sekali membela diri, aku tidak semudah itu menyentuh gadis lain yang bukan milikku. Soal Jieun, itu hanya pelukan sahabat."
"Tidak ada persahabatan antara pria dan wanita," Jiyeon menirukan ucapan Jungkook semalam, pria itu kehabisan kata-kata.
"Ya, Park Jiyeon memang pintar sekali." Jiyeon hanya tersenyum manis, "Senyuman itu tidak akan menghilangkan amarahku Jiyeon. Jika kau tidak sedang hamil, aku pasti sudah menghukummu. Akan kubuat kau tidak bisa meninggalkan tempat tidur selama seminggu."
Perkataan Jungkook begitu horor di telinga Jiyeon, "Kau mengerikan Jungkook."
Tiba-tiba saja Jungkook merebahkan tubuh Jiyeon dan menindihnya, "Kalau sekedar ciuman tidak akan membahayakan bayi kita kan?"
"Heh?"
"Jadi hukumanmu diganti saja, ciuman sampai pagi bagaimana?" Jiyeon terkekeh, Jungkook makin kesal. "Memangnya ada yang lucu?"
"Kau yang lucu, kau menggemaskan." Jiyeon mencubit kedua pipi suaminya kemudian mendaratkan ciuman dalam di sana. Tentu saja Jungkook merespon dengan baik membuat keduanya larut dalam gairah.
![](https://img.wattpad.com/cover/217996024-288-k717569.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] Acquiesce | JJK√
Fiksi PenggemarPark Jiyeon dan Jeon Jungkook, menikah karena sebuah keharusan. Bukan karena cinta, bukan karena kontrak atau semacamnya seperti di drama, tapi hanya karena mereka saling membutuhkan semacam simbiosis mutualisme.