Dua bulan berlalu begitu saja, hubungan yang semula begitu mesra entah mengapa menjadi renggang. Bukannya bertengkar melainkan intensitas pertemuan keduanya yang semakin tipis, bahkan terkadang dalam sehari tidak bertemu sama sekali. Waktu Jungkook habis untuk bekerja dan juga menemani Jieun. Ketika dia pulang ke rumah, Jiyeon pasti sudah terlelap. Sejujurnya Jungkook merasa bersalah namun dia pun tidak memiliki daya untuk menolak Jieun sebab merasa berhutang nyawa pada gadis itu. Saat ini pun, Jungkook terpaksa menemani Jieun ke taman hiburan katanya gadis itu sudah sangat lama tidak ke tempat itu semenjak ke sana terakhir kali. Bagaimana tidak, jika terakhir kali ke taman hiburan adalah saat masih duduk di bangku SMA.
"Jungkook—ingat tidak, dulu kau ketakutan sekali naik rollercoaster! Hahaha aku ingat sekali wajahmu sampai pucat." Jieun tertawa lepas sekali, Jungkook cukup bersyukur berharap gadis itu segera membaik hatinya.
"Enak saja! Kapan aku begitu?!"
"Kau malu jadi tidak mau mengakui kan?"
"Itu hanya masa lalu!"
"Hahaha kau benar-benar malu ya?!"
"Sudah hentikan." Jungkook menarik pipi Jieun, hal tersebut sukses membuat gadis itu terdiam dengan jantung yang berdebar. Entah sejak kapan, Jieun merasa Jungkook tumbuh dengan baik. Tinggi dan tampan sekali, kemana saja dia selama ini baru menyadari itu semua. "Mau beli es krim?"
"Iya."
Keduanya pun menuju kedai es krim untuk melepas dahaga sejenak, melihat suasana hati Jieun tampak ceria Jungkook memberanikan diri untuk bertanya. "Kau sudah membuat keputusan?"
"Hah?"
"Hubunganmu dengan Jimin."
Jieun terdiam beberapa saat, dia bahkan tidak memikirkan soal Jimin terlalu larut dalam kesenangan bersama Jungkook. "Entahlah…."
"Kau harus segera putuskan, agar hidupmu baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja saat ini, Jungkook. Selama ada kau."
Jungkook mendesah, tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis di depannya. "Jieun—kau tahu apa maksudku bukan? Aku, tidak selamanya berada di sisimu. Aku punya keluarga."
"Kenapa Jungkook? Kau sudah berjanji kan akan selalu bersamaku!"
"Ya, aku akan selalu mendukungmu sebagai sahabat. Itu tidak akan pernah berubah."
Jieun tersenyum miris, "Sahabat? Bukankah kau mencintaiku?"
Jungkook kembali mendesah, "Dengar Jieun, itu sudah berlalu."
"Apa maksudmu? Kau tidak mencintaiku lagi?"
"Jieun—sekarang kondisinya sudah berbeda, kau sudah menikah. Aku juga."
"Kau mencintai Jiyeon?"
Jungkook terdiam beberapa saat, tidak tahu harus menjawab apa. Dia sepertinya memang jatuh cinta pada istrinya, tapi mengatakan itu di depan Jieun dia takut melukai hati gadis itu. "Ya, aku mencintai istriku."
Jieun tertawa sumbang, "Kau menyebalkan Jungkook."
Jimin tiba-tiba hadir di sana, suasananya pun menjadi kikuk. Pria itu masih terus berusaha meyakinkan sang istri, namun Jieun justru sibuk menjadikan Jungkook pelampiasan.
"Sepertinya kau mulai menikmati kebersamaanmu dengan istri orang ya?" Jimin menatap sinis ke arah Jungkook, "Bukankah ini sudah masuk kategori selingkuh?"
"Jaga bicaramu, Jimin!" Bentak Jieun kesal.
"Kau yang harusnya jaga sikap! Kau masih berstatus sebagai istriku!"
"Kau tidak akan memikirkan gadis lain jika menganggap aku ini istrimu!"
Jungkook bangkit dari tempatnya, enggan terlibat dalam pertikaian rumah tangga orang lain. "Kau harusnya introspeksi, kenapa istrimu terus menghindarimu." Ucapnya pada Jimin sebelum pergi, sungguh Jimin merasa begitu terpojok satu kesalahan yang dia buat. Bahkan hubungan dengan sahabat dan istrinya jadi serusak ini.
"Aku sudah meminta maaf berulang kali padamu, kenapa kau justru bersikap seperti ini? Bagaimana perasaan Jiyeon jika mengetahui kau sering berduaan dengan suaminya."
Jieun tersenyum perih, "Ya, bahkan disaat seperti ini kau masih memikirkan Jiyeon. Selalu Jiyeon!"
"Bukan begitu Jieun. Kalian kan sesama wanita, pasti bisa saling mengerti."
"Diamlah, aku sungguh sangat muak denganmu. Aku juga ingin bahagia! Jiyeon sudah merebut kebahagiaanku!"
"Jiyeon tidak salah apapun Jieun, aku yang salah."
"Stop! Jangan sebut namanya lagi, brengsek!" Jieun benar-benar kesal, dia meninggalkan Jimin begitu saja dengan amarah menggebu-gebu. Park Jiyeon—entah sejak kapan Jieun jadi membenci gadis itu. Gadis yang telah merusak semua impiannya, masa depannya.
***
"Jieun makin keterlaluan, bagaimana bisa dia terus membuat postingan dengan suami orang. Apa dia tidak punya malu? Dia sudah menikah dan malah memamerkan kebersamaannya dengan pria lain. Astaga, aku marah sekali!" Soojung mendumel kesal, dia pikir Jieun adalah gadis baik dan anggun. Tapi, ternyata rubah juga meskipun Soojung sudah dengar dari Jiyeon mengenai latar belakang mengapa Jieun jadi seperti itu. Tetap saja, sakit hati bukan alasan untuk merebut suami orang. Diliriknya sang sahabat yang muram beberapa waktu terakhir, ya—hati istri mana yang tidak hancur mengetahui suaminya sibuk dengan gadis lain. "Kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja."
"Mana mungkin baik-baik saja, aku tahu kau cemburu!"
"Aku tidak berhak untuk cemburu."
"Dasar bodoh! Kau istrinya, bagaimana bisa kau tidak berhak cemburu."
"Jieun adalah orang yang Jungkook cintai sejak dulu. Aku memang istrinya, tapi kau tahu sendiri bukan dasar pernikahan kami apa?"
Soojung duduk di hadapan Jiyeon, dia tahu betul apa yang sahabatnya itu rasakan saat ini. "Jiyeon, aku tahu kau mencintai Jungkook."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak bisa membohongiku, kau jatuh cinta pada Jungkook kan?" Jiyeon diam saja, Soojung tahu yang dia katakan adalah kebenaran. "Kau tidak menyangkalnya."
"Kalaupun benar, tidak akan ada yang berubah."
"Kau harus perjuangan suamimu. Beritahu Jungkook soal kehamilanmu Jiyeon! Dia ayahnya, dia berhak tahu! Sampai kapan kau mau menyembunyikannya?" Soojung benar, dia tidak mungkin bisa terus menyembunyikan mengenai bayi dalam perutnya, apalagi bayi itu sudah lama dinantikan oleh Jungkook dan kakek.
"Aku akan mencari waktu yang tepat untuk memberitahu Jungkook."
"Secepatnya, jangan tunggu suamimu direbut orang!"
"Tck—iya-iya." Jiyeon bangkit setelah menghabiskan milkshake cokelat favoritnya, "Aku pergi dulu, hari ini jadwal pemeriksaan rutin."
"Ah, baiklah. Seharusnya Jungkook menemanimu periksa kandungan, bukannya malah menemani gadis lain."
"Berhenti mengomel, kau seperti ibu-ibu."
"Aku kan memang sudah ibu-ibu walaupun belum punya anak."
"Aku doakan segera punya anak, ah—mungkin kalian butuh bulan madu kedua."
Soojung tersenyum, "Terima kasih saran dan doanya."
Jiyeon pergi ke klinik kandungan langganannya yang tempo hari disarankan Sungyoon, dia sedang menunggu untuk dipanggil tiba-tiba seorang pria duduk di sampingnya. Gadis itu terkejut mendapati itu adalah Cha Eunwoo.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Eunwoo hanya tersenyum tampan seperti biasanya, "Aku kasihan padamu, periksa kandungan seorang diri. Jadi, aku akan menemanimu."
"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Sebaiknya kau pergi, orang lain akan salah paham mengira kau suamiku nanti."
Eunwoo tertawa, "Bagus jika begitu, kita terlihat seperti pasangan yang harmonis."
"Tidak ada yang lucu."
"Hah, suamimu itu sungguh tidak berguna ya? Aku jadi semakin yakin merebutmu kalau begini."
"Apa sih yang kau katakan?"
"Aku bilang aku akan merebutmu, aku akan terus berjuang sampai kau jadi milikku lagi."
"Oh ya? Kau bilang akan berjuang tapi kau menghilang setelah memberikan cincin."
Eunwoo terdiam sejenak, tidak menyangka akan mendengar kalimat itu dari mulut Jiyeon. "Sebentar, emm—kau rindu padaku ya?" Eunwoo tersenyum senang, sadar akan ucapannya yang memalukan Jiyeon segera meralat.
"Bukan begitu, aku hanya ingin bilang kau tidak serius. Itu saja!"
Eunwoo tersenyum bahagia, usahanya ternyata tidak sia-sia, membiarkan Jiyeon sendiri dalam beberapa waktu sembari membereskan masalah warisan mendiang ayahnya. "Aku pergi membereskan beberapa masalah, aku tidak akan pergi lagi mulai sekarang. Aku akan selalu di sisimu." Jiyeon hampir terlena akan ketulusan Eunwoo jika panggilan dari perawat tidak menyadarkannya.
"Giliranku tiba, kau pergilah."
Eunwoo tersenyum, dia menggenggam jemari Jiyeon lalu menarik gadis itu memasuki ruangan. "Apa-apaan?"
"Aku akan menemanimu, kan sudah kubilang."
"Hei—jangan macam-macam."
Pada akhirnya, Jiyeon tidak bisa menolak ketika Eunwoo sudah menariknya memasuki ruangan. Dokter mulai memeriksa kandungan Jiyeon dengan melakukan USG pada perut gadis itu. Eunwoo seperti suami siaga mendengarkan dengan seksama penjelasan dokter, hati Jiyeon sungguh miris. Bagaimana bisa bukan suaminya yang menemaninya saat ini, justru pria lain. Menyedihkan sekali. Salahnya juga yang tidak mengatakan apapun pada Jungkook bukan? Dia tidak bisa menyalahkan Jungkook sepenuhnya. Untungnya pula sang dokter tidak mengenalinya sebagai istri dari Jeon Jungkook sehingga tidak dianggap aneh datang dengan pria lain.
"Bayinya sehat, semuanya normal." Dokter tersenyum pada Jiyeon dan Eunwoo, "Saya senang, Anda akhirnya menemani istri Anda periksa."
Eunwoo hanya tersenyum, "Ya, saya akan meluangkan waktu mulai sekarang."
"Ya, bagus sekali. Istri sangat butuh perhatian ketika mengandung." Eunwoo mengangguk sembari tersenyum, "Anda hanya perlu menjaga pola makan, makan sedikit tapi sering."
"Ya, Dokter. Terima kasih."
Setelah keluar dari ruangan, Jiyeon menatap Eunwoo garang. "Apa-apaan tadi? Saya akan meluangkan waktu mulai sekarang. Kau menikmati peran sebagai suami pengganti?"
"Ya, aku menikmatinya."
"Ini pertama dan terakhir kau menemaniku. Aku juga akan pindah klinik."
"Hei—kenapa kau terlalu serius? Aku tidak berniat jahat, aku hanya ingin menemanimu. Semua orang datang bersama suaminya, hanya kau yang seorang diri. Aku tahu kau pasti sedih kan?"
"Tapi, tidak perlu sampai mengaku suami. Kau kan bisa bilang kau kakakku."
"Itu agak aneh, pergi ke dokter kandungan dengan kakak. Kita sangat serasi sebagai suami istri bukan saudara." Eunwoo tersenyum menggoda, wajah Jiyeon sampai memerah.
"Aku pulang dulu, terima kasih." Baru beberapa langkah, Eunwoo menarik lengan Jiyeon agar kembali ke sisinya.
"Kalau ingin berterima kasih, ayo pergi kencan."
"Apa?"
Belum sempat menjawab Eunwoo telah menarik tangannya pergi. Mau tidak mau Jiyeon menurut, dia butuh sedikit jalan-jalan. Tidak apa-apa bukan jika hari itu dia bersenang-senang sejenak dari kepenatan hati yang sedang dia alami. Alih-alih membawa Jiyeon ke tempat romantis, Eunwoo justru mengajak Jiyeon pergi ke kebun binatang. Ya, dulu mereka memang sering kencan ke tempat itu. Sebenarnya, Eunwoo hanya ingin membangkitkan kenangan mereka berdua. Jiyeon tersenyum senang melihat berbagai hewan lucu, sudah lama dia tidak pergi ke kebun binatang. Nyatanya, Eunwoo sukses membuat gadis itu melupakan masalahnya sejenak.
"Hei, apa kau ingat gajah itu? Waktu kita kemari dia masih bayi." Tunjuk Eunwoo pada salah satu gajah yang ada di sana, Jiyeon mengangguk antusias.
"Aku ingat, kalau tidak salah namanya Belly. Iya kan?"
"Kau benar."
"Ah, dia sudah dewasa dan besar sekali ya?"
"Ya tentu saja, sudah hampir lima tahun kan?"
"Waktu berjalan dengan begitu cepat, rasanya baru kemarin banyak hal yang terjadi."
Eunwoo tiba-tiba meraih kedua tangan Jiyeon, menggenggamnya erat. "Maafkan aku untuk semua hal yang terjadi, andai aku bisa mengulang waktu aku akan mencari cara lain agar tidak menyakitimu."
"Aku sudah memaafkanmu, tidak perlu dibahas lagi. Semua sudah berlalu kan? Lagipula waktu adalah obat terbaik untuk menyembuhkan luka."
"Ya, lukamu hilang bersama dengan cintamu juga."
"Heh?"
Eunwoo tersenyum, "Aku kadang berpikir, jika waktu itu aku tidak pergi. Mungkin sekarang kita sudah menjadi pasangan suami istri yang bahagia karena menunggu kelahiran bayi kita. Namun, kenyataannya justru sebaliknya."
"Kita tidak bisa melawan takdir Tuhan Eunwoo, aku yakin semua adalah rencananya. Tolong jangan menyalahkan dirimu lagi."
"Ya, tidak ada salahnya juga memperjuangkan takdir, bukankah takdir akan berubah jika diperjuangkan?" Jiyeon terdiam, tidak mampu membalas ucapan pria di depannya. "Emm—mau naik kereta gantung?"
Jiyeon tersenyum, "Ya, aku mau."
"Tapi, kita makan dulu."
"Baiklah."
Di tempat yang berbeda, Jungkook sedang sibuk di dapur dengan tujuan membuat masakan spesial untuk sang istri. Tentu saja hal tersebut membuat seluruh pelayan syok berjamaah. Bagaimana tidak, selama ini Jungkook tidak pernah ke dapur utama apalagi memasak, itu menjadi sebuah hal yang mustahil terjadi namun hari itu Jungkook benar-benar mengutak-atik dapur dengan serius. Pria itu berharap, Jiyeon akan memaafkannya yang selama ini terlalu sibuk hingga tak punya waktu untuk istrinya tersebut. Jadi, Jungkook berinisiatif membuat sesuatu dengan tangannya sendiri agar menjadi nilai plus di hadapan Jiyeon nantinya.
"Tuan muda kerasukan?"
"Hush—jaga bicaramu!"
"Lalu kenapa dia ada di dapur? Ini suatu keajaiban dunia."
"Sepertinya tuan muda ingin membuat makan malam untuk nona, mereka akhir-akhir ini jarang bersama."
"Cinta memang menakjubkan ya…."
"Ya, tentu saja. Cinta tuan muda untuk nona benar-benar tulus, aku sangat terharu dia mau turun tangan sendiri seperti itu."
"Iya, betul sekali."
"Hei kalian! Cepat kemari!" Obrolan para pelayan seketika buyar ketika Jungkook memanggil mereka, ketakutan melanda semua pelayan itu sebab Jungkook menangkap basah mereka sedang membicarakannya. Bagaimana kalau dipecat? Berbondong-bondong, mereka menghampiri Jungkook.
"Coba kalian cicipi hasil masakanku dan beri penilaian jujur." Para pelayan saling berpandangan mendengar perkataan Jungkook.
"Tuan Muda ingin kami mencicipi?"
"Iya, katakan dengan jujur bagaimana rasanya."
"Kami tidak akan dipecat kan?"
"Kalian berharap kupecat?"
"Tidak Tuan Muda!"
"Ya, sudah lakukan."
Satu-persatu dari mereka mulai mencicipi hasil kerja keras Jungkook tersebut, rasanya sungguh diluar dugaan mereka. "Bagaimana?"
"Luar biasa, ini enak sekali Tuan Muda." Salah satu dari mereka semringah.
"Ya, benar. Bagaimana bisa rasanya seenak ini? Bukankah Tuan baru pertama memasak?"
"Tuan Muda kan jenius kau lupa?"
"Tuan Muda memang berkat dari Tuhan, apa yang tidak bisa Tuan Muda lakukan?"
Segelintir pujian itu membuat Jungkook tersenyum, "Kalian tidak memuji agar tidak dipecat kan? Awas saja jika Jiyeon tidak suka."
"Sungguh kami berkata jujur, iya kan teman-teman?"
"Iya, kami tidak bohong."
"Baiklah kalau begitu, tolong kalian siapkan semua di meja. Aku mau mandi dulu."
"Baik, Tuan Muda."
"Siapkan wine juga, dan tata agar terlihat romantis."
"Siap, Tuan Muda!"
Jungkook segera membersihkan diri, bersiap-siap untuk menyambut istri cantiknya pulang ke rumah. Pria itu bahkan memilih pakaian rumahan terbaiknya, menata rambutnya agar terlihat rapi dan tampan. Namun, sudah jam enam sore Jiyeon belum juga tiba di rumah. Pesan yang dia kirimkan pun tidak kunjung dibaca atau dibalas.
"Tck—kemana sih dia?" Jungkook memutuskan untuk menghubungi nomor Jiyeon, hasilnya pun sama panggilannya tidak di respon. Merasa khawatir, Jungkook pun mencari kontak orang kepercayaannya. "Cari tahu apa yang istriku lakukan, dia tidak menjawab ponselku sejak tadi."
"Baik, Tuan."
Jungkook memutuskan menunggu Jiyeon di ruang makan, dia mengambil segelas wine untuk menghilangkan kegelisahan. Satu jam menunggu, orang kepercayaannya akhirnya mengirimkan pesan. Hati Jungkook pun memanas melihat potret Jiyeon sedang bersenang-senang bersama mantan kekasihnya.
"Shit! Apa-apaan ini?!" Api cemburu membakar seluruh persendian Jungkook, dia benar-benar murka saat ini. Sejak kapan Jiyeon bertemu dengan mantan kekasihnya? Apa mereka sudah sering jalan bersama di belakangnya selama ini? Bukankah Jiyeon sangat membenci mantan kekasihnya itu sebab masih menyisakan trauma mendalam? Masih jelas dalam ingatan Jungkook bagaimana Jiyeon menangis dan kacau akibat pertemuannya dengan si mantan di Paris waktu itu. Lalu apa ini? Jiyeon tertawa bersama pria itu? Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepala Jungkook, rasanya kepala pria itu nyaris pecah—amarah karena cemburu memang begitu menyiksa dan dia tidak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya.
"Jiyeon—kau benar-benar keterlaluan." Rasanya Jungkook hendak menyusul dan menyeret Jiyeon pulang, tapi semua itu dia urungkan dan memutuskan untuk menunggu istrinya.
Jiyeon masih menikmati kebersamaannya dengan Eunwoo, keduanya kini ada di atas kereta gantung memandang keindahan Seoul di malam hari dari ketinggian. Sungguh menyejukkan mata.
"Jiyeon, kau masih ingat kan. Ciuman pertama kita terjadi di sini." Eunwoo tiba-tiba membahas masa lalu, pipi Jiyeon memerah karena malu.
"Emm—aku ingat, rasanya waktu itu gugup sekaligus bahagia. Ya, tempat ini memang sangat romantis bagi pasangan yang baru jadian kan?"
"Tapi bagiku, saat ini pun rasanya sangat bahagia. Bukan tempatnya, bersamamu adalah kebahagiaan untukku."
Jiyeon mendadak gelisah, Eunwoo memang pandai meluluhkan hati entah dengan tingkah ataupun kata-kata. Jika sudah begini, Jiyeon merasa takut. Takut terbawa perasaan dan terjerumus dalam kesalahan. "Keretanya hampir sampai, sebaiknya kita bersiap turun." Jiyeon merasakan tubuhnya tertarik ke depan, Eunwoo memeluknya dengan erat. "Eunwoo, apa yang kau lakukan?"
"Tolong biarkan seperti ini sebentar saja, aku sangat merindukanmu Jiyeon. Sesak sekali menahan rindu selama bertahun-tahun…" Jiyeon mengerti akan perasaan Eunwoo, jadi dia membiarkan pria itu memeluknya. Ya, hanya kali ini saja dia membiarkan Eunwoo menyentuhnya, walau bagaimana pun yang mereka lakukan adalah salah. Jiyeon sudah berstatus sebagai istri Jungkook, dia harus menjaga kehormatan dirinya dan suaminya. Cukup lama pelukan itu terjadi, rasanya Eunwoo enggan melepaskan Jiyeon lagi—tidak mau kehilangan belahan jiwanya.
"Apa sudah cukup? Aku pegal Eunwoo." Eunwoo tersenyum kemudian melepaskan pelukannya, "Maaf ya, aku terlalu rindu padamu."
"Ya, tidak masalah. Keretanya sudah berhenti."
"Ah, iya."
Keduanya turun dari kereta, Eunwoo begitu lembut memperlakukan Jiyeon seolah gadis itu adalah gelas yang mudah pecah. Sejujurnya Jiyeon merasa begitu tersentuh, andai saja waktu bisa diulang tentu dia ingin menikah dengan Eunwoo yang dia cintai dulu.
"Terima kasih untuk hari ini, aku harus pulang sekarang." Ungkap Jiyeon, sejujurnya dia merasa tidak enak sebab apa yang dia ungkapkan sebentar lagi sepertinya akan melukai pria di hadapannya.
"Akulah yang harusnya berterima kasih padamu, kau mau pergi bersamaku."
Jiyeon tersenyum simpul, "Eunwoo, aku juga minta maaf. Aku harap setelah ini kau tidak menemuiku lagi, walau bagaimanapun aku berstatus sebagai istri Jungkook. Tidak pantas rasanya jika pergi dengan pria lain, aku harus menjaga nama baik keluarga Jeon. Kumohon kau mengerti."
Raut wajah Eunwoo berubah, dia tentu saja tidak setuju untuk tidak menemui Jiyeon lagi. Tujuannya kembali ke Seoul adalah Jiyeon bukan yang lain. "Aku tidak bisa Jiyeon, aku tidak bisa untuk tidak menemuimu."
"Eunwoo—”
"Lagipula, suamimu itu saja tidak peduli padamu, dia hanya sibuk memperhatikan perempuan lain. Jadi mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian." Jiyeon terdiam, dia juga sakit hati pada Jungkook yang akhir-akhir ini tidak peduli padanya. Namun, itu bukan alasan untuk memanfaatkan pria lain. "Jika kau berniat mengakhiri pernikahan tidak sehatmu, aku siap membantu." Eunwoo tersenyum benar-benar tulus, jika gadis lain mungkin sudah terpengaruh oleh hasutan mantan kekasihnya itu.
"Eunwoo, aku pulang dulu." Jiyeon memutuskan untuk pergi, dia tidak kuat menghadapi Eunwoo terlalu lama. Sementara Eunwoo hanya mampu menatap punggung Jiyeon yang perlahan menjauh dari pandangannya.
"Bagaimana caranya agar hatimu kembali menjadi milikku, Jiyeon?" Lirihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] Acquiesce | JJK√
أدب الهواةPark Jiyeon dan Jeon Jungkook, menikah karena sebuah keharusan. Bukan karena cinta, bukan karena kontrak atau semacamnya seperti di drama, tapi hanya karena mereka saling membutuhkan semacam simbiosis mutualisme.