| 21. Sakit Hati 2 |

245 25 10
                                    

            Jiyeon sangat senang hari itu sebab dia berencana piknik bersama Jungkook di pinggir Sungai Han, maka dengan semangat penuh gadis cantik itu membuat beragam makanan untuk dibawa, terutama sup ayam kesukaan suaminya. Jungkook masih ada pekerjaan penting jadi mereka memutuskan untuk langsung bertemu di tempat piknik. Pria itu berjanji akan segera menemui Jiyeon jika pekerjaan telah usai.
Senyuman terukir indah di bibir Jiyeon tatkala semua persiapan piknik telah sempurna, sekarang hanya tinggal mempersiapkan diri. Sembari bersenandung, Jiyeon pergi menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Para pelayan ikut tersenyum melihat bagaimana sang majikan tanpa bahagia.
"Nona sepertinya sedang senang," kata salah satu pelayan.
"Ya kudengar, nona dan tuan muda berencana piknik hari ini."
"Uh—mereka pasti begitu saling mencintai sehingga gelora asmara sedang hangat-hangatnya."
"Tentu saja mereka saling mencintai, semua orang bisa melihat itu."
"Ah, jangan lupa laporkan pada tuan besar."
"Ya, pasti."
Kepala pelayan memang sempat mengambil beberapa gambar Jiyeon beberapa waktu yang lalu sebagai bahan laporan pada Kakek Jeon.
Selesai mandi, Jiyeon bergegas menuju walk ini closet—memilih pakaian terbaik untuk dikenakan. Beberapa kali memilih, pilihan jatuh pada flower long dress tanpa lengan berwarna terracotta. Jiyeon ingin tampil feminin dan manis hari ini, setelah mengenakan pakaian dia berdandan sedikit. Sempurna, cantik dan segar. Senyuman indah itu terukir tatkala membayangkan Jungkook akan memujinya nanti.
"Waktunya pergi!"
Jungkook begitu bersemangat menemui klien, suasana hatinya yang sedang cerah membawa pengaruh yang begitu positif untuknya dan orang di sekitar. Kerja sama pun didapat dengan mudah akibat kelancaran pria itu menyampaikan presentasi di depan klien asing.
Selesai dengan semua pekerjaan, Jungkook kembali ke ruangannya melepas lelah. Senyuman tersungging ketika mendapatkan pesan dari si cantik.
@Jiyeon2__
Piknik sudah siap
Cepat kesini
🥰☺
Baru saja mengetik pesan balasan, Jungkook dikejutkan dengan kedatangan Jieun yang tiba-tiba alhasil pesan balasan untuk Jiyeon gagal terkirim. Gadis itu menerobos ke ruangannya tanpa mengetuk pintu lebih dulu, tentu saja Jungkook terkejut. Bukankah Jieun sedang sibuk bulan madu?
"Heh—apa yang kau lakukan di sini?! Bukannya harusnya kau terbang hari ini ke Venice?! Aku sudah menyiapkan paket honeymoon paling mahal dan terbaik di sana."  Sergah Jungkook, namun Jieun diam saja. Matanya memerah, bibirnya bergetar, hatinya sungguh bergejolak. Merasa sikap Jieun aneh, pria itu pun mendekat. "Ada apa?"
Tangis Jieun akhirnya pecah, dia tidak mampu lagi menahan semuanya. Jungkook dibuat semakin heran karenanya, tidak mengerti mengapa Jieun tiba-tiba menangis pilu seperti itu. "Hei—apa yang terjadi hmm?"
Jieun tidak menjawab dia terus menangis, dipeluknya Jungkook erat berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit nyatanya tidak sama sekali. Jungkook yang kebingungan akhirnya membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya, sampai dia merasa tenang. Satu jam berlalu, Jieun akhirnya berhenti menangis. Matanya benar-benar bengkak.
Jungkook memberikan air mineral namun Jieun meminta wine, "Apa kau sudah bisa menjelaskan apa yang terjadi? Jujur saja aku benar-benar bingung."
Setelah menghabiskan satu gelas wine, Jieun pun menceritakan apa yang sudah terjadi di malam pertamanya. Sungguh mendengar hal tersebut Jungkook ikut emosi, bagaimana tidak jika Jimin benar-benar sudah kelewat batas apalagi yang dia sebut adalah nama istrinya. Jungkook cemburu dan murka, sama seperti yang Jieun rasakan.
"Aku tidak tahu lagi, rasanya duniaku telah runtuh Jungkook. Aku tidak pernah bisa mendapatkan hati Jimin, hatinya masih dipenuhi Jiyeon hingga saat ini. Kenapa ini harus terjadi padaku?!"
"Aku tidak bisa memaafkan Jimin kali ini, dia sudah keterlaluan!" Ungkap Jungkook menggebu, batinnya dipenuhi amarah.
"Apa yang akan kau lakukan hmm?" Tanya Jieun dengan mata yang masih bengkak.
"Kau tidak perlu tahu, kau sendiri mau apa sekarang?"
Jieun meminum wine di tangannya lagi, "Entahlah… yang jelas saat ini, aku tidak mau melihat wajahnya. Terlalu sakit." Ponsel Jieun berbunyi bersamaan dengan berakhirnya kalimatnya barusan. Gadis itu hanya diam melihat nama 'My Jimin' tertera di layar ponselnya. Detik berikutnya gadis itu mematikan benda persegi panjang tersebut. "Jungkook—boleh aku bertanya?"
"Hmm."
"Apa istimewanya Jiyeon sehingga Jimin tergila-gila padanya? Ya, aku tahu dia sangat cantik, diluar itu apa kelebihannya. Aku—aku bahkan jauh lebih baik dari semua hal tentangnya. Lalu kenapa? Kenapa Jimin tidak bisa mencintaiku?!"
"Cinta bukan kita yang menentukan Jieun. Cinta bukan tentang siapa yang lebih baik." Jungkook sadar betul mengapa sulit melupakan seorang Park Jiyeon, sebab gadis itu membuat siapa pun akan merasa nyaman termasuk Jungkook. Jadi dia paham betul apa yang Jimin rasakan, namun sikap tidak gentle Jimin pada Jieun tidak bisa ditoleransi. Jika tidak mencintai Jieun kenapa memaksakan diri bersama gadis itu? Sungguh Jungkook tidak terima nama istrinya disebut dalam hal tidak senonoh, itu berarti Jimin juga membayangkan Jiyeon saat melakukan hal tersebut bukannya Jieun. Brengsek! Rasanya Jungkook ingin meledak tiap kali memikirkan hal itu. "Tapi, perbuatan Jimin sungguh di luar batas."
Jieun menangis lagi, rasa sakitnya masih begitu jelas terasa di dada.
"Jungkook—tolong bawa aku pergi, ke tempat Jimin tidak bisa menemukanku." Tangis gadis itu kembali pecah, sungguh Jungkook tidak tega melihat kondisi gadis itu. Pasti sangat menyakitkan bagi Jieun, dia tahu betul apa yang gadis itu rasakan.
Disisi lain, Jiyeon masih setia menunggu Jungkook dengan penuh suka cita. Dia sudah menata kebutuhan piknik dengan begitu cantik, tidak sabar bertemu dengan sang suami. Namun Jungkook tidak kunjung datang, sudah dua jam dia menunggu. Pesannya pun hanya dibaca oleh pria itu, tidak dibalas sama sekali. Jiyeon mendadak gusar, lelah menunggu ditambah perutnya telah keroncongan sebab belum makan apapun sejak pagi tadi. "Kemana sih Jungkook?!" Jiyeon meraih ponselnya menghubungi sang suami namun tidak ada jawaban dari pria itu, "Apa pekerjaannya masih banyak?"
Jiyeon memutuskan untuk menunggu sebentar lagi, mungkin saja Jungkook sedang meeting dengan klien penting sehingga tidak bisa diganggu. Tampaknya hari itu Jiyeon tidak beruntung, hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya bahkan tidak memberikan kesempatan pada Jiyeon untuk berkemas. Alhasil gadis itu pasrah, membiarkan semua makanan yang telah dibuat basah kuyup—termasuk tubuhnya. Jujur saja gadis itu kecewa sebab Jungkook tidak segera datang sehingga piknik mereka kacau balau. Dengan langkah gontai, Jiyeon berlindung di bawah pohon guna menghindari hujan yang semakin lebat.
"Apa tidak sebaiknya Anda turun sekarang? Nona Jiyeon basah kuyup." Ujar seseorang dari balik kemudi mobil, seorang pria yang ada di kursi belakang tersenyum.
"Tunggu sebentar lagi, aku ingin melihat apakah Jiyeon masih akan menunggu suaminya."
"Ah, baiklah. Aku hanya tidak tega melihat Nona Jiyeon kehujanan begitu."
"Jangan khawatir, dia gadis kuat." Pria itu kembali tersenyum sembari menatap Jiyeon dari jendela mobilnya meski hatinya tercabik mendapati Jiyeon rela hujan-hujanan demi menunggu pria lain.
Tubuh Jiyeon menggigil, dia keinginan. Namun otaknya terus saja menyuruh untuk terus menunggu Jungkook, bagaimana jika suaminya itu datang kesana dan dia tidak ada? Sungguh tubuhnya terasa lemas, antara dingin dan lapar ditambah rasa kecewa bercampur jadi satu. Dia mencoba menghubungi Jungkook sekali lagi namun tidak juga ada jawaban, gadis itu pun mengirim pesan untuk sang suami. Jiyeon tidak tahan lagi, mendadak kepalanya pusing dan perutnya mual. Akhirnya gadis itu ambruk ke tanah—tidak sadarkan diri. Pria yang sejak tadi memantau Jiyeon terkejut, buru-buru dia turun dari mobil dan segera mengangkat tubuh Jiyeon memasuki mobilnya.

***
Jieun baru saja tertidur pulas, Jungkook mendesah panjang dan lega. Sejak tadi gadis itu hanya menangis membuat Jungkook bingung harus berbuat apa, berbagai macam cara dia lakukan untuk menghibur cinta pertamanya tersebut namun tidak ada yang berhasil. Syukurlah Jieun sudah terlelap, jadi dia pun bisa beristirahat.
Setelah menyelimuti Jieun, Jungkook memutuskan untuk keluar dari kamar dimana Jieun berada. Saat ini keduanya berada di villa yang tahun lalu Jungkook beli, pria itu memeriksa ponselnya dan saat itu dia baru menyadari banyak panggilan dari Jiyeon. Shit! Dia baru ingat memiliki janji dengan istrinya itu, pria itu segera menghubungi Jiyeon namun nomornya tidak aktif. Rasa bersalah pun mulai menyelimuti hati pria tampan itu, bisa-bisanya dia melupakan Jiyeon. Apa sang istri masih menunggu dirinya? Pikiran Jungkook mendadak kalut, tidak mungkin Jiyeon masih menunggu bukan ketika hari telah berubah menjadi gelap?
Jungkook meraih kunci mobilnya, pikirannya tidak akan tenang sebelum memastikan sendiri Jiyeon baik-baik saja. Namun begitu keluar dari pintu villa, dia dikejutkan dengan kehadiran Jimin di sana. Sungguh rasanya Jungkook ingin segera menghajar sahabatnya itu setelah apa yang dia lakukan namun sekuat tenaga pria itu menahan emosinya.
"Dimana Jieun?" Sergah Jimin tanpa basa-basi, Jungkook tersenyum sinis.
"Kenapa kau mencari istrimu di sini?"
"Lokasi ponselnya ada di sini, menyembunyikan istri orang lain adalah perilaku loser."
Jungkook terkekeh meremehkan, "Lalu apa sebutan untuk seseorang yang menyebut nama istri orang lain saat orgasme huh?! Bangsat? Bajingan?!"
Jimin terdiam, bahkan Jungkook sudah tahun soal hal tersebut. Ya, tentu saja Jieun terbuka soal apapun pada sahabat baiknya. "Itu diluar kendaliku, aku sungguh tidak sengaja."
Jungkook makin emosi mendengar jawaban Jimin, maka tanpa babibu pria itu menyerang Jimin dengan sebuah pukulan telak di wajah hingga Jimin tersungkur ke tanah. "Bedebah! Tidak sengaja dengkulmu! Kau tidak akan mungkin bisa menyebut namanya secara tidak sengaja jika otakmu tidak selalu berpikir tentangnya. Kau—kau belum move on dari istriku brengsek!" Jungkook menarik kerah kemeja Jimin, "Kau masih menyimpan perasaan untuk istriku! Iya kan?!"
Jimin tersenyum gambar, "Ya, kau benar. Aku memang belum bisa melupakan Jiyeon, aku sudah berusaha namun tidak bisa. Jiyeon adalah cinta pertama yang sangat berharga bagiku."
"Bedebah!" Jungkook kembali menghantam Jimin, kali ini pria itu melawan, keduanya pun terlibat perkelahian sengit. Mendengar keributan di luar, Jieun terbangun dari tidurnya. Maka gadis itu berjalan keluar guna melihat apa yang terjadi. Terkejutlah Jieun ketika melihat Jungkook dan Jimin adu jotos.
"Kenapa kau menikahi Jieun jika hanya untuk memberinya luka sialan!" Ungkap Jungkook penuh emosi, dirinya berhasil menyudutkan Jimin kembali di bawah kuasanya. Jieun menghentikan langkahnya, penasaran dengan perdebatan mereka. Dia bersembunyi di balik dinding.
"Bagaimana denganmu huh?! Kau pikir aku tidak tahu jika kau masih mencintai Jieun hingga sekarang! Kau selalu mencintainya sejak kita SMA hingga sekarang, lalu tiba-tiba kau menikah dengan Jiyeon. Apa itu masuk akal?!"
Jieun terkejut bukan main mendengar pernyataan Jimin barusan, apa dia tidak salah dengar? Jungkook mencintainya sejak SMA? Apa maksudnya?
"Kau mencoba mencari pembenaran dengan mengungkit masa lalu huh?!"
"Aku hanya bicara fakta, kau dan aku sama saja. Cinta pertama kita sama-sama sulit dilupakan, jadi jangan menyudutkanku!" Jungkook sangat kesal namun apa yang Jimin katakan ada benarnya, Jieun tetaplah berharga bagi Jungkook hingga saat ini. "Bagaimana jika kita bertukar saja, berikan Jiyeon padaku maka aku akan serahkan Jieun padamu."
Jungkook benar-benar marah mendengar perkataan Jimin, "Bedebah gila!" Pria itu memukuli Jimin berkali-kali tanpa jeda. "Kau pikir mereka barang?! Lagipula aku tidak akan pernah menyerahkan istriku padamu, atau pada siapa pun!"
Jieun yang tersadar Jimin dalam bahaya segera menghampiri keduanya, sebab Jungkook seperti kerasukan setan memukuli suaminya. "Hentikan Jungkook! Kau bisa membunuh Jimin!"
Jungkook menghentikan aksinya, dia kalap. Jieun segera menolong Jimin, walau bagaimana pun pria itu adalah suaminya yang masih sangat dia cintai. "Kau tidak apa-apa?" Jimin hanya mengangguk lemah, merasa masih marah Jungkook meninggalkan keduanya begitu saja.
"Kenapa kalian bertengkar?"
"Semua karena kau kabur dariku."
Jieun menunduk sedih, hatinya masih sakit namun dia akan membuang egonya. "Ayo kuobati." Gadis itu memapah Jimin memasuki villa, sejujurnya Jimin merasa begitu menyesal atas perbuatannya—padahal Jieun sudah begitu baik padanya bahkan saat ini gadis itu tetap berada di sisinya. Semua kacau berkat mulut laknatnya, bukan hanya Jieun dia pun mengacaukan hubungannya dengan Jungkook. Kenapa juga dia harus berkata demikian tadi, Jimin terbawa emosi dia tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Sayangnya, Jieun pun telah mendengar semuanya dan hatinya benar-benar kacau. Gadis itu lebih banyak diam, bahkan saat mengobati luka-luka Jimin.
"Aku tahu maaf tidak akan mengubah apapun, maaf tidak menyembuhkan lukamu. Tapi, aku hanya ingin kau tahu aku sangat menyesal Jieun atas semuanya. Semoga kau mau memberiku kesempatan." Jieun diam saja tetap fokus mengobati luka-luka sang suami, padahal dia pun berdarah di dalam sana.
Rasa bersalah Jungkook semakin besar ketika melihat piknik yang Jiyeon siapkan masih utuh di tempat janjian mereka, hanya saja semua telah basah kuyup berantakan akibat hujan. Setelah memastikan Jiyeon tidak di sana, pria itu segera pulang ke rumah berharap menemukan Jiyeon di sana dan segera minta maaf. Namun, sayangnya semua tidak sesuai harapannya nyatanya Jiyeon belum pulang sama sekali.
"Dimana Jiyeon, kenapa kau pulang sendirian? Bukankah kalian piknik hari ini?" Sungguh pertanyaan kakek bak bumerang untuk Jungkook, lalu dimana istrinya berada saat ini?
"Jiyeon belum pulang?"
"Kau ini bagaimana? Ditanya malah balik tanya. Memangnya kalian tidak pulang bersama?"
Jungkook sangat kalut, dia menghubungi Jiyeon lagi namun masih tidak aktif kini bukan hanya rasa bersalah namun juga cemas memenuhi kepala dan hati Jungkook.

***

Jiyeon membuka matanya perlahan, pandangannya kabur berubah menjadi begitu jelas. Tampak langit-langit berwarna putih menyambut indera. Tunggu—dia merasa tidak asing akan suasana ruangan dimana dia berada saat ini, tampak familiar dan beberapa memori yang tercipta di sana menguap ke udara.
Deg'jantung Jiyeon berdebar kencang, dia menggeleng gamang pastilah dia sedang bermimpi. Mana mungkin dia berada di tempat tersebut. Maka, Jiyeon menelisik sekitar, tempat itu masih sama persis tidak ada yang berubah. Gadis itu lantas bangun, menepuk pipi dengan sebelah tangan. Sakit! Jiyeon mengaduh.
Jantungnya semakin berdebar tatkala menyadari dia tidak sedang bermimpi namun benar-benar berada di kamar sang mantan, kamar Cha Eunwoo. Kenangan indah itu mulai memenuhi kepala Jiyeon, dia dulu sering bercumbu di ruangan itu  bahkan tidur bersama di atas tempat tidur yang kini Jiyeon pijak, bahkan sepreinya masih sama seperti dulu. Gadis itu menggeleng tidak percaya, bagaimana bisa dia ada di sana?!
Pintu kamar terbuka dan Jiyeon nyaris terjungkal akibat terkejut, sosok tampan itu akhirnya muncul dengan senyuman dewa yunani miliknya.
"Sudah bangun?" Sapa Eunwoo, di tangannya dia membawa nampan berisi makanan dan obat.
"Kau?! Kenapa aku bisa ada di sini? Kau menculikku?!" Sergah Jiyeon, dia hendak bangkit namun sadar salah satu tangannya tertahan. Mata Jiyeon membulat ketika menyadari sebelah tangannya terborgol di sisi tempat tidur. "Apa-apaan ini?! Kau sungguh menculikku?!" Marah gadis itu, "Lepaskan aku!"
Eunwoo hanya tersenyum, "Tolong jangan salah paham Jiyeon, aku tidak punya niat jahat apalagi sampai menculikmu."
"Lalu ini apa?! Kenapa kau memborgol tanganku hah?!" Sungguh saat ini Jiyeon dilanda ketakutan luar biasa, lagi-lagi Eunwoo tersenyum manis sekali.
"Aku terpaksa melakukan itu agar kau tidak kabur, aku hanya ingin kau mendengarkanku Jiyeon. Itu saja, agar semua kesalahpahaman di antara kita selesai."
Jiyeon mendesah frustrasi, "Apa maksudmu dengan kesalahpahaman? Kita bahkan tidak punya urusan apapun!"
Tatapan Eunwoo berubah sendu, sungguh Jiyeon tidak berdaya akan tatapan yang dulu membuatnya jatuh cinta tersebut. "Tolong dengarkan aku sekali saja Jiyeon,  setelah itu kau bebas membenciku."
Jiyeon berpikir dia tidak punya pilihan lain selain menuruti Eunwoo, "Baiklah, tapi tolong lepaskan borgolnya! Ini sungguh tidak nyaman tahu!" Protes Jiyeon, respon Eunwoo hanya terkekeh.
"Tidak sampai aku selesai menjelaskan semuanya Jiyeon, aku tahu betul watakmu. Kau pasti akan menghajarku lalu kabur setelah borgolnya lepas."
Jiyeon mengumpat tertahan, sial sekali Eunwoo tahu apa yang dia pikirkan. "Kumohon, mengertilah Jiyeon…"
"Terserah kau saja." Jiyeon membuang pandangan asal, enggan menatap Eunwoo. Pria itu tersenyum, dia yakin Jiyeon akan mengerti setelah mengetahui kebenarannya.
"Sebelumnya, aku minta maaf atas semua hal yang kulakukan padamu, dulu ataupun kini.  Aku meninggalkanmu begitu saja di hari pernikahan kita—sejujurnya aku pun tidak mau melakukannya. Aku terpaksa Jiyeon." Jiyeon menatap Eunwoo di akhir kalimatnya, "Aku tidak sedang membuat alasan agar kau memaafkanku, aku juga tidak berharap mau memaafkanku setelah mendengar hal yang terjadi sebenarnya. Aku hanya ingin kau tahu fakta di masa lalu, agar kau tidak berpikir aku sengaja ingin meninggalkanmu."
"Kau terlalu berbelit-belit Eunwoo."
"Maafkan aku, sulit untuk mengungkapkan semuanya.  Sejujurnya aku bingung harus mulai dari mana." Eunwoo tersenyum perih, Jiyeon hanya menatap datar. "Kau tahu ayah tiriku bukan?"
"Ya."
"Setelah ibu meninggal, kupikir kami tidak memiliki hubungan kekeluargaan lagi. Namun nyatanya, dia terobsesi menjadikanku penerusnya. Ayah tiriku mandul, jadi dia tidak bisa memiliki penerus sampai kapan pun. Tapi, karena aku anak dari istrinya dia menganggap aku pantas untuk mewarisi semua usahanya. Aku menolak tapi dia tidak bisa menerima penolakanku. Dia menggunakan berbagai cara untuk membujukku, selalu gagal. Sampai suatu hari, dia mengancam akan menyulitkan hidupmu, menghancurkan mimpimu. Tidak hanya kau, ayahmu juga akan dihancurkan jika aku menolak menjadi pewarisnya." Jiyeon terkejut mendengar pengakuan Eunwoo, "Awalnya aku tidak peduli, namun ketika kau kalah dalam lomba fotografi antar kampus padahal kau harusnya menjadi pemenang. Saat itulah aku sadar, ayahku bisa melakukan apa pun. Uang dan kekuasaan bisa menghancurkan segalanya." Lagi-lagi Jiyeon terkejut, dia sempat begitu sedih kalau itu. Pemenang lomba tidak lebih baik dari karyanya namun dia kalah. Sekarang Jiyeon paham, dia telah dicurangi.
"Sampai pada hari pernikahan, ayahku memintaku ikut dengannya ke London. Aku sudah bilang akan menurutinya setelah menikah namun dia tidak mengizinkan. Aku tidak boleh menikah sebelum berhasil menjadi penerus. Terpaksa aku pergi saat itu Jiyeon, tanpa sempat menjelaskan apapun. Kalau tidak, ayah tiriku telah menyiapkan rencana jahat untuk memfitnahmu dan ayahmu. Aku tidak punya pilihan."
Perasaan Jiyeon campuran aduk, jika yang Eunwoo katakan benar itu berarti pria itu terpaksa pergi demi melindunginya. "Maksudmu, ayah tirimu merencanakan semuanya hanya agar kau menjadi penerusnya?"
"Iya Jiyeon, dia bahkan menjelaskan secara detail bagaimana dia akan menghancurkanmu dan ayahmu. Dia berencana membuatmu menjadi mantan pembully saat SMA dan ayahmu dibuat seperti polisi yang menerima suap, semua direncanakan begitu detail hingga aku tidak sanggup membayangkan bagaimana kehidupan kalian jika rencana itu benar-benar terjadi."
Jiyeon kehabisan kata-kata, gadis itu sungguh tidak menyangka ternyata mantan kekasihnya itu jauh lebih menderita saat itu. "A—aku tidak tahu harus merespon bagaimana." Ya, siapa yang tidak bingung jika berada di posisi Jiyeon saat ini, mengetahui kebenaran masa lalu disaat dia telah merelakan semuanya dan mulai kehidupan baru. Eunwoo berjongkok di hadapan Jiyeon, membelai pipi gadis itu lembut penuh kasih sayang. Tak lupa senyuman mematikan miliknya mampu membuat sendi-sendi Jiyeon melemas.
"Kau tidak perlu merespon apapun, kau percaya padaku saja sudah cukup Jiyeon. Satu hal yang harus kau tahu, aku tidak pernah berniat meninggalkanmu apalagi menyakitimu. Jika ada orang yang paling mencintaimu di dunia ini melebihi apapun bahkan dirinya sendiri, itu adalah aku Jiyeon."
Kata-kata Eunwoo begitu menyentuh, namun keadaan telah berubah dia tidak mungkin kembali pada pria itu. "Semua masih sangat membingungkan bagiku, Eunwoo. Lagipula, keadaan sudah berubah—aku sudah menikah."
"Aku tahu pernikahan tanpa cinta bukan? " Mata Jiyeon melotot, seolah mengatakan bagaimana Eunwoo bisa tahu? Pria itu terkekeh. "Aku tahu semua apapun yang kau lakukan selama aku tidak ada, aku bahkan mengetahui bahkan yang tidak kau tahu." Mendengar hal tersebut Jiyeon mendadak merinding.
"Jadi selama ini kau memata-matai hidupku?"
Eunwoo tersenyum, "Lebih tepatnya menjagamu dari jauh. Itu caraku bertahan hidup, mengobati rindu."
Menjaga apanya! Jelas-jelas yang Eunwoo lakukan tersebut adalah bentuk stalker secara elit.
"Cincin itu—aku sudah membuangnya di Sungai Han, kenapa bisa kau temukan lagi?"
Eunwoo tersenyum, "100 penyelam kukerahkan hanya untuk menemukan cincin itu."
"Gila!"
Jiyeon benar-benar tidak habis pikir Eunwoo sampai melakukan hal semacam itu, "Aku gila karenamu Jiyeon."
"Ah, bisakah kau lepas borgolnya sekarang?"
"Tentu."
Eunwoo meraih kunci dan membuka borgol di tangan Jiyeon, semua masalah di antara mereka telah usai. "Aku boleh pergi kan?"
Wajah Eunwoo berubah kecewa, "Setelah mendengar semuanya apa kau masih akan kembali pada suamimu?"
"Heh?"
"Kau mau kembali pada pria brengsek yang membuatmu menunggu hingga kehujanan dan pingsan?"
"Jangan menyebutnya brengsek, namanya Jeon Jungkook."
Eunwoo tersenyum miris, hatinya tentu saja perih. "Apalagi sebutan yang pantas untuk pria sepertinya?! Istrinya menunggu tapi dia malah asyik dengan gadis lain."
"Apa maksudmu?"
Eunwoo mengambil tab miliknya kemudian menyerahkan pada Jiyeon, "Suamimu lebih memilih bersamanya di villa daripada menemuimu."
Jiyeon terkejut bukan main melihat kebersamaan Jungkook dan juga Jieun, hatinya mendadak nyeri dan kecewa luar biasa. "Kau pasti belum tahu kan? Lee Jieun adalah cinta pertama Jungkook saat SMA, dia tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun selama ini lalu tiba-tiba menikah denganmu."
Jiyeon menatap Eunwoo begitu dalam, kenapa pria itu bisa sampai tahu sejauh itu bahkan mengenai privasi seseorang. "Kau tahu dari mana tentang semuanya?"
"Jiyeon, informanku sangat detail jika memberikan fakta. Kau tidak perlu ragu akan kebenarannya."
Wajah Jiyeon mendadak muram setelah mengetahui bahwa Jieun adalah cinta pertama suaminya, pantas saja gadis itu begitu dekat dengan Jungkook. Hati Jiyeon seperti retak di dalam sana, dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Apakah dia sudah jatuh cinta pada Jungkook?
"Jiyeon, apa kau sungguh mencintai suamimu?" Tanya Eunwoo lagi, Jiyeon kembali menatap pria itu seperti orang linglung. "Eh?"
"Aku bilang apa kau mencintai Jungkook?"
Jiyeon lantas terdiam, kelu untuk menjawab sebab dia pun masih belum mengerti mengenai perasaannya. Kediaman Jiyeon membuat Eunwoo tersenyum perih, dia yakin hati gadis itu telah dimiliki yang lain—Jeon Jungkook.



[M] Acquiesce | JJK√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang