Chapter 13 - When Darkness Means Something Else

20 0 0
                                    

Aku duduk di depan laptop. Wajah serius menatap layar yang menyala terang di tengah ruang tamu yang gelap. Deadline besok pagi, tetapi setengah pun belum selesai. Mataku masih semangat. Mungkin karena kafein yang baru saja kutenggak. Sesekali aku menaikkan kacamata yang melorot.

Sesekali pula dentingan notifikasi facebook berbunyi, membuat lagu yang sedang kuputar mengecil. Karena merasa terganggu, aku membukanya sebentar untuk mematikan notifikasi. Laman utama membuatku melupakan sedikit tugas kuliahku. Berbahaya memang membuka browser ketika sedang fokus. Aku jadi tenggelam di dalamnya.

Sebenarnya, tidak ada yang menarik dari laman facebook itu. Hanya saja aku yang sedang bosan menganggap sedikit hiburan itu penting. Mataku sudah merasa cukup lelah melihat warna dan garis.

Lama-lama aku semakin terbuai hingga lupa waktu. Ketika sadar, tenggorokanku terasa kering dan botol minumku kosong. Aku berjalan menuju dapur. Letak dapur berhadapan dengan taman belakang. Kolam ikan lurus di samping pintu, sementara dispenser langsung bersebelahan dengan taman. Aku mengisi botol minum, menunggu hingga penuh, tidak menyadari kegelapan di sampingku. Walau aku merasakan energi pekat yang tidak seperti biasanya. Aku menoleh. Taman itu ditutupi kegelapan. Bahkan lampu taman terlihat seperti tidak menyala. Gelap total, dan terasa hampa.

Aku kembali ke ruang tamu. Jantungku mulai sedikit berdebar tetapi masih merasa tidak ada yang aneh. Sampai ketika aku duduk, terdengar suara melengking yang kencang. Ia berbunyi "ngiiiiiiiiiiiiiing" dengan nada yang konstan dan sangat lama. Seperti dengungan bunyi sepi—yang ketika kamu menutup telinga, bunyi itu tidak dapat dihindari seakan ia muncul dari dalam kepalamu.

Sebuah panggilan di layar laptop membuyarkan semua kejadian itu. Seorang pria yang sedang cukup dekat denganku mengajak untuk video call. Pria itu juga sama sepertiku, yang orang-orang sebut sebagai 'indigo'. Aku mengangkat teleponnya dan kami berbincang untuk beberapa menit karena aku harus kembali mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tetapi, suara lengkingan itu masih berada di dalam kepalaku, membuat aku sulit untuk berkonsentrasi.

"Di sana gelap banget, ya?" kata pria yang wajahnya masih terpampang di layar laptop. "Coba kamu lihat lagi ada apa di sana." Suaranya tenang tetapi membuat bulu kuduk naik. Aku terpaku, mengetahui ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang berdiam di taman itu dan menjadikannya sangat gelap. Awalnya tidak terlihat apa pun, seperti kanvas berwarna hitam pekat. Semakin lama aku memperhatikannya, aku melihat sebuah bayangan tinggi dan besar. Tingginya melebihi atap rumahku yang berlantai dua.

Aku menarik napas, mendapati bayangan hitam itu ternyata penuh dengan bulu-bulu seperti rambut. Sehelai bulunya bahkan lebih panjang dari rambutku yang sudah melebihi pinggang. Di bawah bulu-bulu itu, tersisip cakar seperti kucing namun sangat besar. Ternyata, itu adalah sebelah kaki genderuwo. Sebelah kaki itu berpijak di taman rumahku, sementara kaki satunya berpijak di tanah kosong sebelah rumahku. Bayangkan betapa besar makhluk itu ....

Suara melengking kembali terdengar di telingaku, kali ini lebih pilu. Seolah lengkingan itu adalah sebuah tangisan. Tak lama kemudian, sinar lampu rumahku kembali terang. Makhluk itu sudah pergi dengan sendirinya.

Aku berpamitan dengan pria baik yang sudah menemaniku selama kejadian itu, berusaha melanjutkan kembali mengejar deadline yang tertunda. Rasanya sudah Lelah menghadapi kejadian itu, tetapi aku tidak boleh menyerah dengan kehidupan nyataku bukan? Hehe ....

Indigo's LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang