22. Tolong Bertahan

63 1 0
                                    

Hallo
Assalamu'alaikum
Gimana kabar kalian?
Semoga kabar baik yaaa...

.
.

Hasbunallah wa Ni'mal Wakil Ni'mal Maula Wani'mannasir.

Subhanallah walhamdulillah wala ilaha ilallah wallahu akbar.

Laa ilaaha illa Anta, subhanaka innii kuntu minaz zalimin.

La haula wa la quwwata illa billahil'aliyyil azhimi.

.

Innallaha idza ahabba qouman ibtalahum
(Sesungguhnya Allah kalau sudah cinta kepada seorang hamba maka akan diberi ujian).
.

Malam itu juga, Umi Nisa dibawa ke Rumah Sakit. Arsha, Aleesha, Akila, dan Shaki yang menemani. Sedangkan Kyai Habsi masih mengisi kajian di luar kota sejak sore hari. Saat Umi Nisa dibawa ke ruang ICU, Arsha hanya bisa menangis, dan Aleesha sibuk menenangkannya. Sama halnya dengan Arsha, Shaki juga menangis, tapi cowok itu berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Shaki mengambil duduk dengan jarak yang cukup jauh dari Arsha. Cowok itu terus berdzikir agar hatinya tenang, walau sesekali air matanya menetes.

"Mau minum, Gus?" Akila menyodorkan sebotol air mineral.

Shaki yang semula menundukkan kepalanya, kini mendongak guna melihat siapa yang berdiri di depannya. Tersenyum, itu ekspresi yang Shaki tunjukkan saat mengetahui bahwa yang berdiri didepannya adalah Akila.

"Terima kasih." Shaki menerima air mineral tersebut. Entah haus karna habis menangis atau bagaimana, Shaki meminumnya hingga hanya tersisa setengah botol saja.

"Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Gus." Akila berbalik badan, siap untuk melangkahkan kakinya, namun tak jadi karna Shaki kembali bersuara dan membuat Akila kembali berbalik menatap cowok itu.

"Boleh temani saya sebentar?"

Meski sedikit ragu, Akila menganggukkan kepalanya. Ia pikir tak masalah jika menemani Shaki sebentar. Lagian disana juga ramai. Shaki menepuk kursi kosong disebelahnya, mengisyaratkan agar Akila duduk disana.

"Umi kapan sadarnya ya?" Dari nada bicaranya terdengar jelas bahwa Shaki diselimuti perasaan sedih.

"Cepat atau lambat, Umi Nisa pasti sadar, Gus. Gus Shaki harus yakin."

"Saya sudah kehilangan Ibu saya, kalau sampai kehilangan Umi lagi, rasanya..." Shaki menundukkan kepalanya. Umi Nisa sudah seperti Ibu kandungnya sendiri, dan merasa takut kehilangan adalah sebuah hal yang wajar.

"Saya harus bagaimana? Tadi Dokter sudah mengatakan bahwa harapan Umi untuk bertahan sangat tipis."

"Gus, manusia tidak ada yang tau kapan kita akan meninggal. Bisa saja prediksi Dokter tadi itu salah."

Beberapa tahun lalu, Umi Nisa sempat mengalami stroke ringan. Hingga kali ini terdapat pembekuan darah di otak. Pembekuan darah di otak juga dapat membahayakan nyawa jika tidak segera ditangani.

Shaki memijat pelipisnya, mungkin cowok itu pusing dengan keadaan sekarang.

"Shaki!"

Shaki mencari orang yang memanggil namanya. Didapatinya tak jauh dari mereka, ada Kyai Habsi yang berjalan ke arahnya dengan langkah lebar.

"Abi?"

"Dimana Umi mu sekarang, Nak?" Tanya Kyai Habsi saat sudah berdiri didepan Shaki.

Shaki, cowok itu tak mampu menjawab dan hanya memeluk kyai Habsi dan menangis disana.

Langit Senja [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang