"Permisi, mau pesan apa?" Meja nomor 21 adalah meja terakhir yang Graville layani. Setelah itu, dia bisa istirahat selama sepuluh menit sebelum kembali bekerja.
Membayangkan dia bisa duduk sambil minum minuman para dewa (kopi), Graville tidak bisa menahan senyum.
"Eh, lo bukannya yang tadi di kantin, ya?" Luntur. Senyum berseri Graville menghilang ketika delapan pasang mata menyorot kearahnya.
"Oh! Yang di cekek itu, kan!" Pemuda lain menimpali seraya menunjuk Graville seolah telah menemukan rahasia dunia.
"Tolong, katakan pesanan anda, pelanggan terhormat." Si Raven tersenyum manis mempertontonkan gigi taring nya, sementara jari kecilnya yang memegang pulpen mengetuk-ngetuk buku catatan untuk setiap pesanan.
Hei, dia mencoba menjadi profesional disini. Tolong bekerja sama.
"A-ah... Ahem!" Pemuda kedua gelagapan, nyengir canggung. "Tolong, karaage dua, fries satu, cold espresso satu, cold frappuccino satu, deluxe hot chocolate satu."
"Tapi! Cia mau americano kayak Abang Max!" Satu-satunya gadis diantara kumpulan lelaki merengek protes, yang jujur, terdengar geli di telinga Graville. Mana cempreng lagi suaranya.
"Gak boleh. Perutmu nanti sakit."
"Tapi Abang~ hiks C-Cia maunya hiks itu..." gadis itu, Cia, justru mulai menangis.
Sial.
Graville bak orang-orangan sawah menonton drama kecil tergelar di depannya. Bagaimana dua dari tiga pemuda itu layaknya pangeran berusaha menenangkan gadis yang kini sesenggukan. Dan semua itu karena keinginannya tidak terpenuhi.
Sial.
Graville ingin cepat-cepat pergi dan mendapatkan kopinya sendiri.
'tidak, tunggu sebentar lagi kekasihku. Satu menit lagi.'
"Permisi."
Begitu saja, semua mata tertuju padanya. Bagus.
"Pesanannya?" Akhiri drama ini, dan cepat pastikan pesanan kalian! Graville juga manusia, dia lelah.
"...itu saja." Graville memandang lelaki terakhir yang sejak awal diam dan merasakan keinginan untuk mencibir.
Dalam hati tentunya. Diluar, dia tetap mempertahankan senyum-palsu- profesionalnya.
"Dicatat. Mohon ditunggu." Tersenyum untuk terakhir kalinya, Graville kemudian sedikit menundukkan kepala sebelum benar-benar pergi. Tidak menyadari keheningan canggung yang tercipta di meja tersebut karena dirinya.
Akhirnya. Hanya tinggal menyerahkan list pesanan ini, dan Graville bisa berduaan dengan kekasihnya.
•••
"Graville! Nyanyi dong!!" Teriak entitas random berwujud perempuan yang langsung dibenci Graville karena mengganggu me time nya bersama kopi kesayangan.
"Nah, iya cil! Kangen suara lo nih!" Sahut lelaki berjaket hitam, semakin memperdalam cemberut di wajah remaja mungil itu.
"Nyanyi!"
"Nyanyi!"
"Nyanyi!"
Tak!
Graville yang sudah tidak tahan, lantas meletakkan dengan kasar cup kopi nya.
Ah ya, pemilik cafe ini sengaja menyediakan ruangan terbuka khusus pegawai sebagai tempat istirahat pada jam tertentu seperti Graville sekarang. Letaknya di dekat panggung sehingga kini, Graville bisa merasakan panas di punggungnya karena betapa tajamnya para monster-pelanggan-itu menatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take My Hand
HorrorGraville bisa melihat apa yang semesta sembunyikan. Itu bukan keinginannya. Graville merupakan anak tengah dari tiga bersaudara. namun semua saudaranya membencinya atas peristiwa di masa lalu. itu juga bukan keinginannya. tapi, hei, siapa bilang Gra...