Amarta memang ada urusan di ruang lukis. Dia berencana mengundang kenalannya untuk melakukan sebuah kolaborasi, menciptakan karya di satu kanvas yang sama untuk tujuan bersenang-senang. Meskipun umurnya dan kenalannya terpaut satu tahun, menurut mereka, hal itu tidak ada hubungannya ketika mereka memiliki kecintaan yang sama besarnya terhadap melukis.
Dan begitulah kesepakatan dibuat.
Semuanya berjalan lancar. Sampai saat Amarta tiba-tiba merasakan sakit pada perutnya, bersamaan dengan dorongan untuk melakukan pekerjaan besar. Dia pun izin pergi ke toilet, meninggalkan kenalannya yang sibuk memberi warna pada kanvas.
Amarta mengira sudah dua puluh menit ketika dia selesai, dan begitu dia membuka pintu ruang lukis, pemandangan inilah yang menyapa visinya.
Temannya, Will, merangkul bahu seorang gadis yang ternyata adalah Lucia. Amarta memandangi kekacauan gadis itu, lalu beralih ke sudut ruangan. Di mana terdapat Sagara yang duduk di lantai bersama ...
Amarta seketika melotot tak percaya.
Itu kenalannya! Tapi mengapa kondisinya babak belur?! Apa? Apa yang terjadi? Amarta hanya pergi selama dua puluh menit!
Lalu, Amarta tersadar dari renungannya saat teriakan dari beberapa arah menusuk gendang telinganya. Pemuda itu menolehkan kepalanya,
Dan tidak butuh waktu lama untuk mata itu kembali melotot, kali ini lebih lebar dan diisi dengan amarah.
Di sana, Amarta mendapati kakak kecilnya tersungkur dengan bibir berdarah!
Sialan, Amarta kecolongan!
Kemudian, adegan berlanjut seperti yang sudah diketahui.
Hingga sampailah kita ke masa kini.
"Pa maksod?" Amarta mengernyit bingung, tidak tau kemana pernyataan sang kakak ini membawa pikirannya.
Tolong, ini bahkan belum habis sepuluh menit sejak kedatangan Amarta. Pemuda malang itu juga tidak mengharapkan kakak tersayangnya yang paling imut sedunia akan datang ke sekolahnya, dan dipukuli!
Apa-apaan. Setidaknya, beri adikmu ini pencerahan. Amarta tidak mengerti apapun yang terjadi!
"Ata, pinjem HP, dong." Graville tampaknya tidak berniat untuk memberi penjelasan apapun pada Amarta, bertanya dengan manis sambil menodongkan telapak tangannya.
Amarta menampilkan senyum di luar, namun di dalam, pemuda itu mengusap dadanya sabar.
Tidak masalah .. apapun untuk kakak kecil kesayangannya.
Amarta kemudian merogoh saku celananya,
Nihil.
Keningnya mengerut. Ke mana—
Oh. Tunggu, Amarta baru ingat.
Adik dari Graville itu mulai berjalan.
Tujuannya adalah jajaran kanvas polos yang berdiri bersebrangan dengan pintu. Semua anggota ektra akan meletakkan kanvas mereka di sana setiap selesai melukis.
"Bisa-bisanya gue lupa," gumam Amarta saat dirinya menyingkirkan kanvas-kanvas itu. Dia baru berhenti setelah melihat ponselnya.
Ternyata, terdapat sebuah rak di balik barisan kanvas. ponsel Amarta berada di sana, bersandar pada sebuah gelas yang memang sengaja diletakkan di sana.
Diambilnya ponsel miliknya itu, mematikan kamera video, sebelum memberikannya pada Graville.
"Nih," Graville menerimanya dengan seringai lebar.
"Kameramu nyala ya?" Gagak kecil itu dengan ringan bertanya.
Amarta mengangguk. Perhatiannya hanya fokus pada Graville sehingga melewatkan perubahan yang terjadi pada ekspresi beberapa orang tertentu akibat perbuatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take My Hand
TerrorGraville bisa melihat apa yang semesta sembunyikan. Itu bukan keinginannya. Graville merupakan anak tengah dari tiga bersaudara. namun semua saudaranya membencinya atas peristiwa di masa lalu. itu juga bukan keinginannya. tapi, hei, siapa bilang Gra...