"Terima kasih tumpangannya, tuan." Ucap Graville ketika mobil Kalandra berhenti di depan pekarangan rumahnya. Bocah itu masih bisa tersenyum meski gurat lelah terpancar di wajah imutnya.
Melihatnya, Kalandra melayangkan tangannya, menepuk surai gagak yang begitu halus dirasakannya, "bukan masalah. Lagipula, ini sebagai bentuk terima kasih saya, karena kamu sudah membantu saya menyelesaikan kasus Jennifer." Pria itu lantas terkekeh gemas saat Graville dengan manis mengerucutkan bibirnya kesal.
Gagak kecil yang menggemaskan. Kalandra bisa mati jika terus seperti ini, sangat tidak baik untuk jantungnya.
"Mau jadi putraku?" Tawaran itu terlontar secara spontan, ditambah dengan seulas senyum menggodanya yang entah mengapa terlihat sama dengan anaknya. Sama-sama menyebalkan.
Graville kan jadi kesal, "gak mau." Setelah itu, dia langsung memalingkan muka.
Tau jika jawaban bocah itu merupakan akhir diskusi mereka, Kalandra melepaskan tawa ringan.
"Oke, oke. Jangan marah, hm?" Bujuk pria berstatus duda itu sembari telunjuknya menoel-noel pipi gembil Graville, menahan hasrat untuk mencubit atau memakannya.
"Ish!" Jari-jari pendek namun agak gemuk Graville bergerak menepis gangguan tersebut, sementara tangan lainnya membuka pintu mobil, "humph! El pergi."
Kalandra lagi-lagi dibuat tertawa, "dah~ sekali-kali ikut Sagara pulang," Graville mengabaikannya, terus berjalan menuju pintu rumahnya.
Dan dia baru sadar ketika suara mesin mobil termakan oleh jarak, presensi seorang pria berbalut kemeja hitam yang lengannya dilipat sampai siku, duduk di kursi teras rumah.
Seketika itu, tungkai Graville seakan telah dipaku, menancap jauh ke dalam tanah. Iris obsidian-nya semakin keruh karena emosi yang tak mampu dibendung.
Pupil mata Graville bergetar. Disusul jari-jarinya sebelum mengepal.
Orang itu, pria kemeja hitam, keduanya saling menatap satu sama lain.
"K-kakak ..." Bisik Graville, lirih suaranya dibawa oleh angin, memasuki indera pendengaran sang empu.
"Dari mana?" Kurangnya emosi pada suaranya, membuat tubuh Graville menegang.
Dia bisa merasakan telapak tangannya berkeringat, meski begitu, Graville sebisa mungkin mengendalikan dirinya,
"... sekolah," Graville ragu-ragu, "kakak ... ke sini?" Kenapa? Adalah apa yang sebenarnya ingin dia tanyakan.
Untuk waktu yang singkat, Graville melihat sang kakak membeku, sebelum mulai memperlihatkan sebuah senyum miring, "tujuan awal saya adalah ingin melihat apakah mayatmu sudah membusuk. Tapi nampaknya ..." Pria itu menelisik Graville dari atas sampai bawah dengan sorot mata dinginnya, "masih sehat, ya?"
Begitu saja, kaca retak yang tak lain hati Graville kini hancur berkeping-keping.
Hahaha ... hah ...
Sungguh, apa yang Graville harapkan. Kakak sulungnya bertanya tentang keadaannya sambil tersenyum sayang? Konyol. Bodoh sekali dia masih berharap. Tentu saja kakaknya itu masih membencinya, bagaimana Graville bisa lupa? Semua ini salahnya. Kebahagiaan mereka terenggut itu karena dirinya.
Bagaimana Graville bisa tidak tau diri, dengan berharap segalanya baik-baik saja?
Memalukan. Aku heran kenapa kau masih hidup, mengetahui betapa menjijikkan keberadaanmu?
"Maaf."
Maaf, maaf, maaf. Selalu seperti itu, tidak berguna. Mereka pasti bosan mendengarnya dari mulutmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take My Hand
HorrorGraville bisa melihat apa yang semesta sembunyikan. Itu bukan keinginannya. Graville merupakan anak tengah dari tiga bersaudara. namun semua saudaranya membencinya atas peristiwa di masa lalu. itu juga bukan keinginannya. tapi, hei, siapa bilang Gra...