"pfftt-" Saga tidak bisa menahan diri, dia tersedak hingga batuk-batuk. Baru setelah dia menyambar es teh yang tiba-tiba nampak mengiurkan, barulah Saga bisa mengambil napas lega.
Di seberangnya, Graville memandang datar tingkah konyol pemuda itu.
"Kenapa Lo tanya? Dan kok bisa lo tau kalo pernah ada yang kesurupan?" Saga bertanya dengan penasaran. Teman barunya ini, yang sudah ia anggap sebagai adik, belum sehari berada di sekolah ini namun sudah mengetahui perkara yang sering terjadi di dalamnya.
Detik itu, senyum Graville terbit secara misterius.
"Karena gue diharuskan untuk tau."
"Ap-" Saga ingin bertanya lagi saat suara jeritan perempuan menggema di udara.
"AAAKKHH!!!"
Seisi kantin kaget. Tiba-tiba dari arah kiri, tepatnya beberapa meja dari arah kiri tempat Graville dan Saga duduk, seorang perempuan terlihat berlari kencang menuju kearah tertentu.
Lebih jelasnya lagi, ke arah Graville berada. Dan sial, bocah gagak itu terlambat menyadarinya sehingga kini dia tidak sempat menghindar dari sepasang tangan yang mencekik lehernya.
"Graville!" Saga dengan sigap bangkit untuk menolongnya, namun belum juga kakinya bisa melangkah, Graville sudah terlebih dulu memberi Saga satu isyarat untuk diam.
Saga mengerti meski berat, dia kemudian menyapu pandang ke sekelilingnya dimana banyak murid lain yang mendekat ingin membantu.
"Jangan ikut campur dulu!"
Graville memberi tatapan dingin pada perempuan yang masih mencekiknya. Sudah jelas, perempuan ini dirasuki.
"KAU TAU!! KALIAN TAU!! TAPI KENAPA TIDAK ADA YANG MAU MEMBANTUKU?!!" Perempuan itu menjerit, lalu mendesis marah. Graville dapat melihatnya, perasaan amarah, sedih, putus asa, dendam, semuanya berputar melalui ekspresinya.
"Hehe." Graville tertawa menanggapi, yang sangat tidak disangka para penonton yang hadir.
Bocah bermata merah itu kemudian menyentuh salah satu pergelangan tangan perempuan itu, menekan tepat pada titik nadi.
Detik berikutnya, perempuan itu tiba-tiba menjerit nyaring. Dia meronta kesakitan, tangan kanannya yang masih mencekik Graville terlepas begitu saja. Namun Graville tidak membiarkan tangan lainnya lepas dengan mudah.
Masih menekan denyut nadi perempuan itu, Graville menuntun tubuh yang dirasuki untuk berbaring.
"AKH!! LEPASKAN! SAKIT! SAKIT!!"
"Jane." Graville berkata dengan intonasi rendah.
Iris obsidian itu layaknya lubang hitam yang tidak berujung, meneteskan ketidakpedulian pada sosok yang kini menangis dan meraung, masih meronta.
"Dengar ini, Jane." Graville berlutut, "menolongmu itu hak ku, kemauanku. Ya, aku tau bagaimana kau mati. Lalu apa?" Itu sangat tidak berperasaan, Graville tau. Tapi di sisi lain, semua yang dikatakannya adalah benar.
Dia sangat benci ketika ada yang mengganggu ketenangannya. Dan satu entitas random ini dengan berani mencekik lalu menuntutnya?
"Pergi." Tangan Graville yang menekan nadi perempuan itu, melakukan gerakan mengurut dari pergelangan tangan, turun sampai pucuk jari-jemari.
Tubuh perempuan itu kejang, sementara bibirnya meraup oksigen sebanyak yang dia bisa. Seragam yang membalut tubuhnya juga basah karena keringat.
Perempuan itu pucat dan lelah.
Graville akhirnya bisa menghela nafas. Ngomong-ngomong, dia juga lelah. Energinya terbuang ketika bergesekan dengan energi yang tak kasat mata.
"Astaga El! Kamu mimisan!"
Graville sudah tidak heran lagi.
Tapi, tunggu. Siapa yang Saga panggil El?
Graville tidak bisa berpikir lebih jauh saat tubuhnya mendadak terbang, dan mendapati bahwa dirinya sudah tersangkut dalam gendongan koala Saga. Tidak memiliki pilihan selain melingkarkan kakinya di pinggang juga lengannya di leher Saga.
Mereka, lebih tepatnya Saga, berlari keluar menuju UKS. Meninggalkan suasana aneh yang menggantung di udara kawasan kantin bersama para penghuni yang diam tertegun.
•••
"Silakan kalo pengen menjauh, gue gak larang." Graville menghela napas.
Sudah lima belas menit mereka di UKS, saling diam dan canggung. Hidung Graville juga sudah tersumpal tisu, dia kini tengah berbaring di salah satu ranjang sementara Saga duduk di kursi samping ranjang.
Mereka sudah seperti itu setelah Saga memaksanya untuk diam saja, saat dia mulai membersihkan darah di hidung Graville.
Menanggung keheningan yang entah mengapa terasa menyesakkan, Graville mau tidak mau over thinking.
Apakah Saga juga ikut menjauhinya, sama seperti saudaranya dan orang lain?
Mengapa kau menanyakan hal yang sudah jelas. Kau memang ditakdirkan untuk sendirian, terimalah kenyataan itu.
Graville menerimanya. Dia memang pantas untuk dijauhi, diasingkan oleh dunia. Terutama Abang dan adiknya, dialah sumber kesengsaraan mereka. Kehadirannya hanya menjadi duri dalam kehidupan mereka.
Ya, kau hanya garam yang menambah penderitaan pada luka mereka. Jadi jangan menyia-nyiakan udara dan cepatlah mat-
"El! El, bernapas! Hey! Ugh, sial." Graville agak linglung. Meski terdengar jauh, dia tau itu suara Saga. Namun itulah yang membuatnya bingung. Mengapa Saga masih disini? Bukankah dia sudah pergi?
"... Saga?" Dengan suara yang amat lirih, Graville mencoba menegaskan penglihatannya.
Napasnya bahkan tersendat, sampai batuk-batuk.
"El! Baby ... bisa denger Abang?" Graville tersentuh oleh kekhawatiran yang menetes dalam suara Saga, tapi ...
"Abang?"
Graville, yang telah berada di pangkuan Saga, mengernyit. Serius? Mereka berada pada usia yang sama, atas dasar apa Saga dengan tidak tau malu menyebut dirinya Abang?
"Gue bukan adek Lo."
Saga terkekeh, "emang bukan. Tapi mulai detik ini, Lo adek gue." Klaimnya sembarangan, kemudian mendaratkan kecupan ringan di hidung Graville.
"Mana bisa gitu!" Graville cemberut. Dia memberontak ingin turun, namun lengan yang melingkari pinggangnya mencegahnya melakukan itu. Ugh, bagaimana Saga memiliki kekuatan lengan sebesar ini? Graville semakin merengut kesal.
"Ya bisa dong. Asal Lo tau, gue lebih tua satu bulan dibanding lo. Jadi udah seharusnya Lo panggil gue Abang."
"Dih, ogah!" Saga sontak tertawa, menikmati wajah kesal Graville yang tidak ada seram-seramnya. Mata bulat berwarna hitam itu gagal total dalam membuat kesan intimidasi. Justru, Graville jadi terlihat seperti boneka.
Sangat menggemaskan.
Namun, walau Saga ingin momen ini tidak berakhir dengan cepat, dia harus tetap mengingat tujuan awalnya.
"Jadi, jawab jujur El. Kenapa lo bisa mimisan, dan kenapa tadi lo sampai mengalami serangan panik?"
• • • • •
T B C !
![](https://img.wattpad.com/cover/354467096-288-k666951.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Take My Hand
TerrorGraville bisa melihat apa yang semesta sembunyikan. Itu bukan keinginannya. Graville merupakan anak tengah dari tiga bersaudara. namun semua saudaranya membencinya atas peristiwa di masa lalu. itu juga bukan keinginannya. tapi, hei, siapa bilang Gra...