[]0.9 : Tsunami Fakta

860 115 1
                                    

"Arghh!! Bocah sialan ini!" Sepasang tangan terulur hendak mencekik Graville, namun lagi-lagi sebuah usaha yang sia-sia. Setelah memisahkan pistol dengan pemiliknya, Graville yang menyadari lehernya dalam bahaya pun langsung membungkuk lalu ganti menendang aset yang menggantung diantara selangkangan pria itu.

Tanpa ragu, bocah itu melesatkan tendangan sekuat tenaga dan tepat sasaran.

"AAARGGHH!!" Alhasil, pria itu kini meringkuk kesakitan, meraung sembari memegang miliknya.

Humph, Graville, si pemecah telur, mendengus puas sebelum seulas senyuman bak malaikat suci tersemat di bibirnya. Berani sekali tangan kotor itu ingin menyentuhnya. Dan, apakah mencekik orang lain sedang menjadi trend sekarang? Kenapa selalu dia?

Untuk waktu yang singkat, Graville diam-diam mempertanyakan bagaimana dia bisa hidup sampai detik ini.

"Ngeri juga, lo cil." Indra maju dan berhenti di samping Graville, bergidik ngeri. Padahal bukan dia yang di tendang, tapi efeknya menular padanya.

Shh, entah mengapa, pisangnya juga ikut ngilu.

"Lo mau juga?" Tawar Graville dengan kalem nan baik hati, "gratis kok, tenang aja."

"..." Indra lebih baik mati daripada merasakan rasa sakit itu.

"Tahan dia."

"Apa lo juga tau, kenapa dia ada disini?" Indra bertanya begitu dirinya berhasil mengikat kedua tangan pria itu menggunakan dasi.

"L-lepaskan saya sialan," sang pria memberontak, menggeliat, hingga menendang-nendang agar dapat melonggarkan cekalan Indra, namun sekali lagi usahanya harus gagal. Sebab, selang beberapa detik, satu tinjuan mendarat di pipinya. Meninggalkan bekas memar ungu, tanda bahwa kepalan tangan Indra sakitnya bukan kaleng-kaleng.

"Diem njing! Ribet banget, elah!" Sebut Indra gila karena berkata seperti itu setelah memberikan bogeman pada seorang pria yang juga merupakan guru olah raganya itu.

Indra tidak peduli. Karena dia telah memutuskan untuk percaya pada sosok anak kecil yang ternyata sepantarannya yang belum genap dua puluh empat jam mereka bertemu. Jika bocah ini, Graville, menyuruhnya menahan gurunya itu, maka itu hanya berarti satu hal. Gurunya ini entah bagaimana terlibat dalam semua kejadian yang menimpa mereka sepanjang hari ini.

Lagipula, pria ini jugalah yang telah menembaknya meski meleset. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menyakitinya.

"Ya." Graville mengangguk. Faktanya, dia tau semua hal tentang orang yang tengah menatapnya murka itu.

Graville merasakan bibirnya membentuk seringai. Gigi taringnya yang kontras dengan yang lain membuatnya tampak lebih kejam.

"Dani Ferdinand. Tiga puluh tujuh tahun, guru olah raga, satu istri dua anak, pemakai narkoba, melakukan tindak KDRT pada keluarga." Seringai Graville kian melebar ketika melihat respon yang diberikan sesuai ekspektasinya.

Dani, seorang guru olah raga AHS sekaligus pelaku penembakan, merasa tubuhnya kaku dan mulai berkeringat dingin. Amarah yang terpancar di matanya segera tersapu oleh ketakutan.

Bagaimana-bagaimana dia bisa tau?!!

Dari mana dia tau? Apa seseorang memberitahunya? Tapi itu tidak mungkin, Dani yakin dia berhasil bermain bersih. Lalu ... lalu bagaimana bisa bocah tidak dikenal ini bisa tau hal-hal yang hanya dia yang tau?!

Graville sendiri secara imajiner bisa melihat roda gigi otak pria itu berputar laju. Itu semakin membuat keadaan semakin lucu, dia tidak sanggup menahan tawanya.

Indra, yang selam ini menjadi semacam bodyguard yang berperan sebagai penjaga tahanan, tersentak sekaligus merinding. Bocah itu bahkan lebih menyeramkan dibanding seonggok titan nyata ataupun wanita menyeramkan di ruang OSIS tadi.

Patra maupun Alaric juga merasakan hal yang sama.

"Namun~ yang membuatku tertarik adalah kasus pemerkosaan baru-baru ini, yang membuat korban bunuh diri ternyata hanyalah sebuah rekaan. Menarik, kan? Ha ha ha!"

"APA?!!"

Graville tertawa lepas. Bukan karena respon kompak yang dilayangkan Indra dan Patra, melainkan karena wajah pias Dani membuatnya tergelitik.

"Ya! Korban, yang kita ketahui namanya Jane, kematiannya ternyata bukan karena bunuh diri. Tapi dibunuh! Dan tebak, siapa pelakunya?"

Indra ragu-ragu, "pak Dani?"

Segera, Graville bertepuk tangan girang, "Indra sangat pintar~"

"BERANINYA KAU MENUDUHKU, BAJINGAN KECIL!! PUNYA BUKTI APA KAU?!! AKU AKAN MELAPORKAN TUDUHAN KOSONGMU KE POLISI!" Dani tidak bisa menahan mulutnya untuk mulai menggonggong.

Sebagian besar dirinya percaya diri dengan keyakinannya akan tidak adanya bukti kejadian itu. Dia telah melakukan pengamatan serta pemilihan waktu yang tepat dimana tidak akan ada saksi saat itu.

Dan yang terpenting, yang juga merupakan suatu kelegaan terbesarnya, CCTV lorong lantai dua, dimana ruang musik berada pada waktu itu sedang rusak. Ruang musik sendiri tidak memiliki CCTV yang mengintai, semakin meningkatkan kepercayaan diri Dani bahwa kemungkinan adanya bukti adalah nol persen.

"Bukti?" Memiringkan kepalanya, senyum Graville bersinar cerah, "jangan khawatir, aku tidak akan membongkar kedok mu jika tidak ada bukti di tanganku. Terima kasih atas kepedulian mu." Kata-kata manis namun kejam yang keluar dari bibir mungil Graville seketika membuat Dani tersedak hingga ingin batuk darah.

Setelah itu, Graville memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana, mengambil ponselnya yang kini dalam keadaan menyala. Masih dengan senyum yang tak kunjung luntur, Graville berkata lagi saat bibirnya sudah dekat dengan speaker ponsel, "jadi cepat kemari, dan dapatkan buktinya, tuan Kalandra."

"Dua menit. Graville Lucian, semua tuduhan akan menjadi pertanggung-jawaban. Harap ingat."

Tut.

Panggilan berakhir disana.

Kepuasan yang belum habis Graville rasakan, semakin bertambah melihat tubuh Dani bergetar ketakutan.

Tidak ada satupun dari mereka yang menyangka kalau Graville akan secepat itu melibatkan kepolisian. Namun pertanyaannya sekarang adalah, sejak kapan? Tidak ada yang menyadari-bahkan Alaric yang sedari awal berada di belakang bocah itu-kapan Graville membuka ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Wow, emejing." Indra terkesan sekaligus ngeri.

"Shh," apa? Kenapa dengan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam dadanya ini?

'sial, jangan sekarang, jingan!' Graville tidak siap menerima rasa sakit itu membuat tubuhnya sedikit oleng, sambil mencengkram dadanya.

"Ugh-"

"Oy, bocah! Lo kenapa?!"

"Graville! Ric! Cepet tolongin dia! Astaga, darahnya banyak banget!"

Graville batuk darah. Lebih tepat jika menyebutnya muntah darah melihat betapa banyaknya darah yang terjun keluar dari mulutnya.

Semua orang panik termasuk Indra, sehingga tanpa disadarinya, kuncian tangannya pada lengan Dani melonggar.

Tidak ingin membiarkan kesempatan emas begitu saja, Dani sekuat tenaga menendang Indra hingga terpental beberapa meter ke belakang. Kemudian mengambil sebuah pisau lipat dari sakunya, sebelum berlari kearah Graville.

"GRAVILLE! AWAS!!"

-•||•||•||•-

Yang bener aje. Udah lewat beberapa chapter, dan latarnya masih sama ಡ ͜ ʖ ಡ

Nikmati aja ya, bolo :)

Oh, chapter ini juga merupakan draf terakhir saya, jadi untuk chapter berikutnya mungkin akan keluar agak lama (。ノω\。)

Jangan bosen menunggu yaa :)

Voment nya juga bolo~ gratis kok, sama kayak kalian baca Graville 😌

Dah~

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang