Aku akan memanggilmu, Abian

195 12 0
                                    

"Meskipun ingatan tak lagi mengikat, namun hadirmu membuatku merasa aman dan terlindungi setiap waktu." Zeyvanno Chaiden de Bartles

***

Anya membantu pria asing itu meminum ramuan yang baru saja selesai dibuat oleh Nek Lastri. Pria itu masih terbaring lemah diatas ranjang yang berbalut dengan kasur tipis. Wajahnya masih pucat, namun sudah lebih baik daripada saat dia masih tidak sadarkan diri beberapa waktu lalu.

Beberapa saat setelah pria asing itu sadar, Anya meminta tolong pada Kang Satria untuk memanggil Nek Lastri yang ada di kebun. Karena dia cukup bingung jika harus menangani pria asing ini sendirian.

"Udah nggak sakit lagi kepalanya, Nak?" tanya Nek Lastri.

Pria itu menggeleng pelan dengan mata yang memandang kosong keatas.

"Sakit ketika saya bergerak," jawab pria itu.

"Nggak apa-apa, kamu jangan banyak bergerak dulu. Nanti tambah sakit," ujar Nek Lastri.

Pria itu hanya diam, bahkan sudah berulang kali Anya melambaikan tangan didepan matanya. Namun, tetap saja tidak ada respon sama sekali.

"Saya kenapa?" tanya pria itu.

Sejak tadi dia selalu bertanya hal itu, dia seperti orang bingung yang membuat Anya dan Neneknya juga bingung.

"Mas nggak ingat kenapa mas bisa begini?"

"Saya bahkan tidak tau saya siapa,"

Deg.

Anya dan Nek Lastri langsung saling pandang dengan wajah yang terkejut.

"Jadi mas nggak tau mas itu siapa? mas nggak ingat apa-apa?" tanya Anya dengan cepat.

Pria itu mengangguk pelan.

"Hei, jangan bohong dong mas," Anya jadi panik sekarang.

"Untuk apa saya berbohong, saya sendiri juga tidak mau ada kejadian seperti ini. Saya bingung," ungkap pria itu begitu lirih.

"Tapi, kenapa bisa nggak ingat apapun. Tadi sewaktu mas bangun, mas bilang sesuatu lo," ucap Anya kembali.

"Bilang apa?" tanya pria itu pula. Dia benar-benar seperti orang bingung sekarang.

Anya kembali terdiam, dia memandang Neneknya dengan cemas. Ya, bagaimana tidak cemas jika pria ini tidak mengingat apapun, lantas bagaimana cara mereka untuk memberitahu keluarganya. Mungkin jika dia hanya buta, Anya masih bisa membantu mencari alamat pria ini. Tapi jika pria ini lupa ingatan, bagaimana caranya dia bisa bertemu dengan keluarganya?

"Nek, gimana ini?" tanya Anya, sedikit berbisik pada Neneknya.

Nek Lastri menghela nafas, mau bagaimana lagi. Sepertinya mereka memang harus bersabar untuk merawat orang asing ini di rumah mereka.

"Kita tunggu sampai dia pulih dulu, jangan dipaksa. Dia baru bangun," ujar Nek Lastri.

Anya terlihat sedih, dia kembali memandang pria yang masih terbaring di atas ranjang itu. Memandang pria yang terlihat menyedihkan. Wajahnya terlihat bingung, takut, sedih, dan juga tertekan. Dan Anya tidak bisa memaksanya untuk mengingat apapun.

"Yasudah, nenek buat bubur dulu. Dia harus makan sedikit-sedikit," Nek Lastri berucap sembari beranjak dari kursinya. Berjalan keluar meninggalkan Anya bersama dengan pria itu berdua.

"Apa kamu pergi?" tanya pria itu, tangannya terlihat meraba-raba ke depan dan ke segala arah. Apalagi ketika mendengar suara langkah kaki yang menjauh. Dia terlihat ketakutan.

Anya langsung meraih tangannya, dan tentu saja genggaman tangan Anya itu membuat dia tenang kembali.

"Anya masih disini, itu nenek yang keluar. Dia mau buat bubur untuk mas," jawab Anya.

Pria itu langsung terdiam, namun tangannya terus menggenggam tangan Anya.

"Tolong jangan pergi, saya benar-benar takut. Ini gelap dan saya tidak tau apa-apa," pinta pria itu.

Mendengar ucapan pria itu, tentu saja membuat Anya merasa iba. Dia terluka parah, matanya terluka, dan dia lupa ingatan. Pasti itu adalah hal yang berat untuk pria ini. Sungguh, hidupnya benar-benar malang.

"Anya nggak akan pergi, Anya disini. mas yang tenang, mending mas istirahat dulu ya," ujar Anya.

Lelaki itu menggeleng pelan sembari berucap, "Bisakah kamu ceritakan siapa saya, dan kenapa saya tidak bisa melihat," pinta pria itu.

Anya menghela nafas pelan. Dia membenarkan posisi duduknya dan menghadap kearah pria tampan itu. Pria tampan yang mungkin jika dia sehat, dia pasti akan memiliki pandangan mata yang tajam, wajah yang sedikit angkuh, dan juga suara yang tegas. Tapi sekarang, dia tak lebih dari  seorang pria yang menyedihkan yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Anya juga nggak tau mas siapa. Anya menemukan mas di pinggir sungai dalam keadaan terluka parah. Jadi Anya bawa mas ke rumah Anya," ungkap Anya.

"Saya dipinggir sungai? terluka parah?" dia terdengar bergumam.

"Iya, Anya dan Nenek nggak bisa bawa mas ke rumah sakit. Kami nggak punya biaya. Jadi cuma bisa merawat mas di rumah satu bulan ini," ungkap Anya lagi.

Pria itu terdiam, genggaman tangannya di tangan Anya mulai melemah. Entah apa yang dia pikirkan. Namun, ketika Anya ingin menarik tangannya pria itu kembali menggenggam tangan Anya dengan kuat. Seakan-akan dia tidak ingin Anya pergi.

"Tidak apa-apa jika kalian tidak bisa membawa saya ke rumah sakit. Tapi, tolong, jangan tinggalkan saya sendirian. Setidaknya sampai saya mengingat siapa saya sebenarnya," pinta pria itu.

Anya tersenyum memandang pria itu. Dia mengusap punggung tangan pria itu dengan lembut membuat pria itu mengarahkan kepalanya kepada Anya.

"Anya nggak akan ninggalin mas. Mas tenang aja, mas aman disini. Ada Anya dan nenek yang akan menjaga dan merawat mas sampai sembuh. Semoga saja ingatan mas cepat pulih, jadi mas bisa cepat bertemu dengan keluarga mas," ujar Anya.

Pria itu mengangguk pelan,"Terimakasih, maaf jika saya selalu merepotkan kamu," ucapnya. Meski hatinya kini dipenuhi dengan rasa takut, gelisah, bingung, dan perasaan yang tak menentu, tapi entah kenapa pria itu percaya pada Anya. Dan begitu berharap jika ingatannya akan segera kembali.

"Jangan pikirkan apapun, sekarang yang terpenting mas harus sembuh dulu. Mas harus sehat, dan setelah itu kita bisa sama-sama mencari ingatan mas yang hilang," ujar Anya kembali.

Pria itu lagi-lagi mengangguk pelan.

"Ah iya, bagaimana Anya memanggil mas sekarang ya?" tiba-tiba Anya baru mengingat hal itu. Tidak mungkin jika dia memanggil pria itu tanpa nama terus bukan.

Namun, pria itu malah mengangguk pelan. "Terserah kamu, bahkan untuk mengingat nama saja saya tidak bisa," jawabnya begitu lirih.

Anya menepuk punggung tangan pria itu dengan lembut, "Jangan seperti itu, anggap saja mas sedang beristirahat dari segala pikiran dan kehidupan mas yang dulu. Bawa tenang supaya mas bisa cepat sembuh," ujar Anya.

Pria itu hanya terdiam, membuat Anya juga sebenarnya semakin iba melihatnya.

"Bagaimana jika Anya memanggil mas dengan nama... Abian?"

"Abian?" gumam pria itu.

"Ya, Abian, bagaimana?" tanya Anya kembali, entah kenapa nama itu yang terpikirkan di kepalanya sekarang.

"Ya, terserah kamu," jawab Abian.

"Itu bagus kok, dan mas bisa panggil aku Anya, mas juga sudah tau bukan nama Anya?"

"Anya," gumam pria itu.

MEMORI CINTA ZEYVANNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang