Anya kembali berlari kerumah, wajahnya terlihat lelah dan berkeringat karena dari klinik dia berlari dengan cepat menuju keujung desa.
Wajah lelahnya menyiratkan kebahagiaan yang begitu mendalam, apalagi ketika Dian berkata jika Anya bisa membawa neneknya ke klinik. Tentu saja Anya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ya, meskipun dia harus berdebat dengan Desita dan beberapa warga yang ada disana. Apalagi jika bukan karena mereka yang tidak menyukai Anya. Namun, Anya beruntung karena Dian masih berpihak padanya.
"Nenek! Mas Abi!" teriak Anya dari luar rumah. Bahkan belum lagi masuk kedalam rumah namun suara teriakannya sudah terdengar sampai ke kamar Nek Lastri.
Abi bahkan sampai terkejut mendengar itu, "Kenapa Anya berteriak begitu?" gumam Abian, namun masih terdengar ditelinga Nek Lastri.
"Kamu seperti tidak tahu Anya saja," jawab Nek Lastri masih terdengar lemah. Tubuh tuanya kelelahan dan mungkin penyakitnya yang kumat lagi.
Benar saja, tidak lama kemudian, Anya sudah masuk kedalam kamar Nek Lastri. Nafasnya terengah-engah, bahkan dia sampai tertunduk sebentar untuk mengambil udara sebanyak-banyaknya.
"Ada apa An? Apa ada sesuatu?" tanya Abian.
"Nggak, Anya cuma mau bawa Nenek ke klinik. Di sana lagi ada pengobatan gratis," jawab Anya. Dia berjalan menuju kearah neneknya yang mulai beranjak untuk bangun dari tempat tidur.
"Kok tumben?" tanya Nek Lastri.
Anya membantu Nek Lastri untuk duduk, "ada dokter magang di sana Nek, mungkin dia yang jadi relawan dan bantu mbak Dian di klinik. Kata mbak Dian, Anya boleh bawa nenek kesana," jawab Anya.
"Nenek jadi bisa berobat," sahut Abian pula.
"Iya benar, mas," jawab Anya.
"Selama nenek hidup, baru kali ini ada dokter yang magang di desa ini. Mengadakan pengobatan gratis pula," ucap Nek Lastri.
"Entahlah nek, anggap saja dia orang baik yang hari ini bisa bantu nenek untuk berobat," sahut Anya.
"Sekarang kita pergi ya," ajak Anya sembari memakaikan jaket tebal ditubuh neneknya. "Tadi Anya udah minta tolong Kang Satria untuk antar nenek pakai motornya, jadi nenek gak akan capek dijalan," kata Anya lagi.
Nek Lastri hanya mengangguk pelan, dan kini Anya beralih pada Abian. "Mas Abi nggak apa-apa di rumah sebentar kan Mas. Kami nggak lama kok, mungkin siang nanti udah pulang kalau keadaan nenek udah baikan," pamit Anya.
Abian mengangguk pelan, "Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja," jawab Abian,
Anya tersenyum dan mengangguk pelan. Setelah selesai berkemas, dia dan Nek Lastri langsung pergi ke klinik di antar oleh kang Satria. Meninggalkan Abian sendirian di rumah. Sebenarnya Anya tidak tega membiarkan Abian di rumah sendiri seperti ini. Namun, dia akan sedikit kesulitan jika membawa Abian juga. Apalagi keadaan Nek Lastri yang juga sedang tidak baik.
Hingga setengah jam kemudian, mereka sudah tiba di klinik. Beruntungnya klinik sudah tidak terlalu ramai lagi, meskipun masih tetap ada beberapa orang yang mengantri. Namun, Anya bisa membawa neneknya masuk kedalam untuk di periksa dokter magang itu.
"Heh, harusnya gak perlu lah datang-datang ke klinik, cuma buat susah aja," sindir Desita yang berdiri di depan pintu ruangan dokter. Anya dan Nek Lastri hanya memandangnya saja tanpa ingin menimpali perkataan menyakitkan itu. Mereka sudah biasa dengan ucapan gadis angkuh ini.
"Selamat pagi, Nek. Sakit apa?" Dian langsung membantu Anya merebahkan Nek Lastri di atas ranjang.
"Badan nenek panas, mbak. Dia juga menggigil kedinginan," jawab Anya.
"Sudah sering?" tanya dokter Raga pula.
Anya langsung menyingkir saat Raga mendekat dan mulai memeriksa Nek Lastri.
"Kadang kalau nenek udah kecapean sering kumat dokter. Bahkan sampai menggigil kuat," ungkap Anya. Dia memandang wajah tampan dokter Raga. Tampan, bersih dan juga tinggi. Tapi jika di perhatikan tidak setampan Abian-nya. Abian lebih manly, lebih dingin, dan lebih... gagah.
Oh ya ampun, kenapa Anya jadi mengingat Abian di rumah? Semoga saja pria itu tidak melakukan sesuatu yang membahayakan.
"Nenek terkena malaria, mungkin karena kebersihan lingkungan yang kurang terjaga dan daya tahan tubuhnya yang sudah lemah," ungkap Dokter Raga.
"Bahaya nggak dokter?" tanya Anya begitu cemas.
Dokter Raga tersenyum tipis dan menggeleng pelan, "Tidak, kalau segera di tangani dengan baik. Untuk sekarang biar nenek istirahat disini dulu ya. Nanti kalau sudah turun demamnya baru boleh dibawa pulang," ujar Dokter Raga.
"Kapan itu dokter?" tanya Anya. Dia benar-benar mengkhawatirkan Abian yang dia tinggal di rumah seorang diri. Meski dia seorang pria, namun Abian tidak bisa melihat, jika terjadi sesuatu padanya siapa yang akan menolong?
"Jika keadaan nenek sudah membaik, mungkin sore sudah bisa pulang," jawab Dokter Raga.
Anya menghela nafas pelan dan hanya bisa mengangguk pasrah. Jika sore, mungkin dia akan pulang sebentar nanti untuk melihat Abian di rumah. Perasaan Anya tidak nyaman meninggalkan pria itu seorang diri.
"Nenek istirahat dulu sebentar ya, bawa tidur." ujar dokter Raga pada Nek Lastri.
"Iya, Dokter." Nek Lastri hanya bisa mengangguk pasrah. Tubuhnya sudah lemah dan dia memang butuh istirahat sekarang.
Setelah memeriksakan keadaan Nek Lastri, mereka membiarkan wanita tua itu tertidur dengan tangan yang sudah diinfus oleh Raga.
Kini Anya kembali mengikuti Dian yang sedang menyiapkan obat-obatan untuk pasien yang datang. Sedangkan Dokter muda itu masih sibuk memeriksa pasien lainnya. Sepertinya dia cukup sibuk sekarang. Terbukti pasien yang tidak pernah ada habisnya. Sepertinya mereka memang sengaja untuk datang kemari. Apalagi dengan keluhan yang tidak terlalu parah.
Ya, apalagi jika bukan karena dokter muda tampan ini.
"Anya bersyukur banget mbak, mbak dan dokter mau mengobati nenek," ucap Anya.
Dian tersenyum lembut dan mengangguk pelan. "Kamu gak usah khawatir, ini kan klinik umum. Semua bebas mau berobat disini," ungkap Dian.
"Tapikan mbak tahu sendiri bagaimana Anya dan Nenek dimusuhi warga disini," Anya berucap dengan sedikit berbisik.
Namun, perawat cantik itu hanya tersenyum dan menggeleng pelan. "Itu urusan mereka dengan kamu, sedangkan saya, tugas saya disini melayani siapa saja yang datang," jawab Dian.
"Terima kasih banyak ya, mbak. Mbak baik banget," ucap Anya dengan mata yang berkaca-kaca. Ya, dia merasa hanya kang Satria dan mbak Dian saja yang begitu baik padanya. Selebihnya hanya menganggap Anya dan Neneknya bagai sampah yang begitu hina.
Dian hanya tersenyum dan mengusap lengan Anya dengan lembut. Dan setelah itu dia kembali membantu Dokter Raga untuk melayani pasien yang lainnya.
Sudah hampir tengah hari, dan Anya masih berada di klinik. Entah kenapa perasaannya selalu saja mengingat Abian. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melihat pria itu.
Anya menitipkan Nek Lastri pada kang Satria. Sedangkan dia pulang sendiri ke rumah.
Hari sudah siang, dan Abian pasti belum makan. Itu yang membuat Anya begitu khawatir. Dia berjalan ke rumah dengan cepat. Bahkan tanpa beristirahat sama sekali. Hingga tidak lama kemudian, dia tiba di rumah papan kecil mereka.
"Mas Abi!" seru Anya sembari masuk kedalam rumah. Rumah terlihat sepi, entah dimana pria itu berada. Apa di kamarnya?
"Mas Abi!" panggil Anya lagi. Dia masuk kedalam kamar Abi, namun tidak dia temukan pria itu di sana. Hingga akhirnya Anya memutuskan untuk pergi ke belakang rumah, perasaannya benar-benar tidak enak sekarang. Dan benar saja. ketika tiba dibelakang rumah, dia langsung terkejut ketika melihat pria itu.
"Astaga Mas Abi!"
![](https://img.wattpad.com/cover/357369752-288-k479477.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORI CINTA ZEYVANNO
RomanceAkibat kecelakaan parah yang dia alami membuat seorang Zeyvanno Chaiden de Bartles harus rela kehilangan ingatan dan penglihatannya. Bukan hanya itu saja, dia juga harus kehilangan keluarga dan kehidupannya. Beruntungnya ada seorang gadis baik hati...